GURU SEJATINYA TETAP KUNCI DALAM PROSES PEMBELAJARAN. NAMUN, SEBAGAI AGEN PERUBAHAN, GURU DITUNTUT HARUS MAMPU MELAKUKAN VALIDASI MEPERBAHARUI KEMAMPUANNYA, SESUAI DENGAN TUNTUTAN ZAMAN AGAR TIDAK TERTINGGAL

Loading...
 
Tampilkan postingan dengan label Opini - Refleksi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Opini - Refleksi. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 29 Juni 2019

Apabila menyontek sudah seperti hal yang biasa..,



Kondisi Indonesia saat ini menurut saya sangat buruk, dimana Indonesia mengalami berbagai masalah, baik dikalangan masyarakat maupun dikalangan pejabat. Dikalangan masyarakat baik remaja maupun orang dewasa banyak terjadi penyimpangan misalnya banyaknya pelajar yang tawuran, mencuri bahkan menyalahgunakan narkoba. Dikalangan para pejabat penyimpangan pun banyak terjadi, banyaknya para pejabat yang korupsi, manfaatkan kekuasaannya untuk kepentingannya sendiri. Masalah-masalah tersebut menghambat kemajuan bagi Indonesia sendiri.

Penyebab dari semua masalah diatas salah satunya adalah mulai pudarnya kejujuran yang dimiliki bangsa Indonesia. Akhir-akhir ini kejujuran sudah mulai ditinggalkan, baik kejujuran kepada diri sendiri ataupun kejujuran terhadap orang lain. Untuk mengatasi permasalahan-permasalah yang sekarang ini banyak terjadi di Indonesia salah satunya yaitu dengan menanamkan kejujuran pada bangsa Indonesia. Pentingnya suatu kejujuranadalah karena sikap tidak jujur, sangat buruk dampaknya pada bangsa ini jika ketidak jujuran sudah dianggap sebagai hal yang sudah biasa. Dapat dilihat dari realita yang terjadi di negeri ini, khususnya di dunia pendidikan, dimana menyontek sudah seperti hal yang biasa. Semua orang sepakat menganggap bahwa menyontek itu adalah suatu hal yang buruk, tetapi semua orang tidak dapat mengelak dari situasi-situasi yang membawanya untuk melakukan menyontek.

Rabu, 03 April 2019

Mampukah Pendidikan Kita Beradaptasi dengan Revolusi Industri 4.0?


"Revolusi Industri 4.0" - Studium Generale KU-4078 oleh : Rektor ITB : Prof. Dr. Ir. Kadarsah Suryadi, DEA, Rabu, 27 Maret 2019


Oleh: Diyan Nur Rakhmah

Klaus Schwab dalam bukunya The Fourth Industrial Revolution (2016) mengemukakan tentang Revolusi Industri Generasi Keempat (Revolusi Industri 4.0) yang ditandai dengan kelahiran artificial intelegent pada ragam bentukan produk yang dapat bekerja layaknya fungsi otak manusia yang dioptimalisasikan.

Otomasi dan pengambilalihan bidang kerja yang dimekanisasi melalui perangkat digital menjadi keniscayaan dan mengarahkan pada praktik-praktik bidang kerja yang berpusat pada eliminasi 'berkedok' efisiensi tenaga kerja manusia sebagai muaranya.

Ragam 'kecerdasan buatan' tersebut di antaranya adalah super komputer, robot pintar, kendaraan tanpa pengemudi, dan lain sebagainya. Konsep Revolusi Industri 4.0 ini menemukan pola dan mekanisme kerja baru ketika disruptif teknologi hadir begitu cepat yang secara bertahap mendominasi sendi kehidupan dan keseharian manusia.

Tuntutan Revolusi Industri 4.0

Revolusi Industri 4.0 merupakan perubahan strategis dan drastis tentang pola produksi yang mengolaborasikan tiga dimensi utama di dalamnya, yakni manusia, teknologi/mesin, dan big data.

Dalam banyak literatur, kunci dari era industri generasi keempat ini bukan lagi berkisar pada ukuran atau besaran perusahaan atau organisasi, tetapi kelincahan dan sifat adaptif yang dimiliki untuk dapat bertahan dalam iklim kompetitif dan dinamis menghadapi perubahan yang bergerak melesat.

Soft skills dan transversal skills menjadi modal penting bagi generasi yang hidup dan menjadi pelaku perubahan di era revolusi industri tersebut.

Selasa, 30 Oktober 2018

Guru Berbicara Politik, Dia Berpolitik?

Oleh : Bonefasius Sambo 
           Penulis Kompasiana


[ Video Ilustrasi : Kumpatran ]

Bagi saya ini pertanyaan kritis. Pertanyaan yang perlu dijawab mungkin harus pakai referensi hukum dan dilanjutkan dengan diskursus biar bisa jelas dan terang.

Kalau seorang guru yang aktif berbicara politik kadang ia dituduh melakukan praktik politik atau memiliki afiliasi dengan kelompok tertentu. Apakah benar?

Seharusnya kita melihat konten, konteks dan momentum pembicaraan baru kita membuat kesimpulan. Jangan langsung menuduh.

Jika politik yang seharusnya menjadi diskursus dalam konteks pendidikan dianggap tabuh bagi seorang guru (PNS) maka saya yakin ada sikap pembiaran dari guru ketika politik menempuh jalur pragmatisme dan ketika politik membangun budaya permisif.

Jumat, 02 Juni 2017

Mengenang 1 Juni


Oleh: Andi Achdian

Ibu saya suka bercerita, melukis dan menembang. Itu dilakukannya saat menghabiskan waktu luang ketika langit mulai berwarna jingga keemasan. Suatu sore saya duduk di sampingnya. Lalu ia menuturkan sebuah kisah tentang tradisi lama nenek moyangnya. Tugas kita di dunia adalah mengabdi pada negara, agama dan rakyat jelata. Begitulah kira-kira terjemahan kasarnya. Ia menyampaikan dengan pribahasa yang diiringi nada merdu dari tembang kesukaannya.

Saya kira setiap keluarga Indonesia memiliki kisah-kisahnya sendiri tentang kebajikan sosial yang patut dilakukan sebagai anggota masyarakat. Keluarga adalah tempat awal kebajikan sosial itu diajarkan. Kemudian dilanjutkan di sekolah, madrasah, ataupun ketika kumpul-kumpul keluarga. Sebuah buku yang ditulis Hildred Geertz menyampaikan dengan indah kebiasaan kehidupan keluarga Jawa di rumah-rumah mereka. Semua keluarga Indonesia memiliki kebajikan sosial yang mereka ajarkan untuk setiap anak-anaknya dari buaian sampai remaja.

Selasa, 21 Maret 2017

Mendidik Karakter

Oleh: Mohammad Nuh

TRANSMISI nilai-nilai kebaikan adalah kerja peradaban. Sejarah mengingatkan kita bahwa perabadan tak selamanya tumbuh. Kadang bangkit, kadang runtuh. Ia meruntuh saat moral merosot—kala suatu masyarakat gagal mewariskan kebaikan-kebaikan utama—kekuatan karakternya—kepada generasi barunya. (Lance Morrow)

Pagi yang cerah, murid-murid kelas IV turun ke sawah untuk melihat proses pengolahan padi. Mulai dari menuai, merontokkan, menjemur, hingga menggiling padi. Mereka bersemangat dan bergembira, berjalan menyusuri pematang sawah, bertegur sapa dengan petani.

Ketika sampai di sawah, mereka membantu petani menuai padi dengan menggunakan sabit. Batang padi yang sudah dipotong dikumpulkan di pinggir sawah, lalu diangkut ke lapangan. Siswa melihat bagaimana petani merontokkan padi kering dalam karung berukuran kecil yang memungkinkan diangkut oleh siswa. Satu per satu mereka bergantian memanggul karung padi itu ke tempat penggilingan.

Saat berada di tempat penggilingan, spontan Akbar bertanya kepada gurunya. “Bu Guru, berarti kita harus melepaskan dan meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tidak baik ya?”

Senin, 28 November 2016

Guru itu Digugu dan Ditiru

Oleh : Itje Chodidjah

Slogan guru digugu dan ditiru ini ini memiliki makna yang dalam bagi kehidupan seorang guru. Landasan falsafah di balik slogan ini adalah bahwa  sosok seorang guru dapat dipercaya dan ditiru. Hal ini mengisayaratkan bahwa dalam berbagai kegiatan kehidupan, masyarakat berharap guru sebagai tauladan. Ketika di sekolah guru menjadi panutan bagi siswanya.

Dalam konteks sekolah, guru dipercaya karena diharapkan guru akan selalu menyampaikan pengetahuan dan ketrampilan yang bermanfaat bagi kehidupan siswanya baik secara akademis maupun pribadi. Guru juga diharapkan bertingkahlaku sesuai dengan azas moral dan adat istiadat setempat. Secara komulatif diharapkan hasil pendidikan di sekolah dengan anak didik yang berasal dari berbagai keluarga yang berlatar belakangnya berbeda akan menjadi kelompok masyarakat yang madani.

Sekolah yang penyenggaraannya harus dipimpin oleh para guru memiliki peranan penting bagi tumbuh kembangnya masyarakat. Tingkah laku yang muncul di masyarakat mau tidak mau tetap diwarnai oleh apa yang dianut oleh para guru, yang didalamnya ada kelompok kepala sekolah dan pengawas sekolah, dalam menyelenggarakan proses mendidik.

Bertanggung jawab

Ketika seseorang memutuskan untuk mengambil profesi menjadi guru, maka ia harus memahami bahwa ia sedang memutuskan untuk menjadi bagian dari  kehidupan individu-individu yang dididiknya. Secara bawah sadar, anak didik yang bernaung di kelasnya berharap banyak bahwa mereka akan mendapat berbagai pengetahuan dan kemampuan untuk bekal hidupnya. Harapan tersebut tentu saja juga merupakan harapan orang tua, masyarakat, dan negara.

Sabtu, 15 Oktober 2016

Sekolah 24 Jam, untuk Apa

Oleh: Daoed JOESOEF

Kebijakan pendidikan berupa full day schooling sebaiknya dibatalkan. Menerapkan kebijakan berkonsep mentah di bidang pendidikan sama saja dengan membuat semua peserta didik menjadi kelinci percobaan, mengotak-atik masa depan negara-bangsa melalui anak-anak yang lugu tak berdaya. Jangan mempermainkan pendidikan hanya bersendikan kekuasaan formal.

Tanggapan harfiah full day schooling, yaitu siswa berada sehari penuh di sekolah, harus ditolak karena membebaskan orangtua dari tugasnya mendidik anak- anaknya sendiri. Rumah adalah home, sekolah kedua dan orangtua adalah guru kedua anak di rumah. Anak butuh family education. Ada nilai-nilai kekeluargaan khas yang pantas kita hormati kalau kita tidak mau negara kita menjadi totaliter.

Di samping family education, anak-anak Indonesia, selaku warga dari negara-negara yang merdeka, memerlukan pula formal education. Ia berupa proses pembelajaran nasional yang mengembangkan mereka dari makhluk menjadi warga negara terbaik dan yang terbaik dalam diri warga negara-to cultivate the best citizens and the best in citizens. Berarti yang kita perlukan adalah education, bukan schooling. Schooling memang beda dengan education. Mengidentikkan kedua nomenklatur kerja ini bisa dan sudah mengacau pelaksanaan pendidikan selama ini.

Kamis, 11 Agustus 2016

Full Day School atau Bete School?

Oleh : Haidar Bagir
Ketua Yayasan Sekolah-Sekolah Lazuardi 


"... Kegagalan akademik siswa bukanlah dikarenakan tidak adanya/kekurangan upaya oleh sekolah, melainkan justru akibat 'ulah' sekolah." John Holt dalam How Children Fail

PENDIDIKAN, tidak seperti pendapat orang-orang seperti John Locke (teori tabula rasa), pada dasarnya bukanlah penanaman atau pengisian, melainkan aktualisasi potensi siswa. Sudah sejak berabad lalu, dengan puitis Plutarch menyatakan, "Pikiran bukanlah bejana untuk diisi, tapi api untuk dinyalakan." Di zaman modern, Paulo Freire menolak apa yang disebutnya sebagai banking concept of education, yang di dalamnya siswa dianggap sebagai 'celengan' yang harus diisi guru.

Pandangan yang sejalan juga diungkapkan para ahli seperti Steven Pinker, Sir Ken Robinson, dan Noam Chomsky. Dalam metode banking, peserta didik bukan saja dianggap sebagai celengan kosong, ke dalam celengan itu pun dijejalkan terlalu banyak 'uang receh'. Bukan hanya banyak, malah tak banyak bermakna bagi kebutuhan siswa.

Selasa, 09 Agustus 2016

Pedidikan yang Apolitis


Oleh : Reza A.A Wattimena

Dosen Filsafat Politik di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang belajar di München, Jerman

Ketika ditanya, apa hal yang perlu diperbaiki, supaya Indonesia bisa menjadi bangsa yang lebih baik, kebanyakan orang akan menjawab: pendidikan. Mereka berpikir, ketika semua orang Indonesia bisa mendapatkan pendidikan bermutu, maka kemampuan sumber daya manusia akan meningkat, dan ini akan bisa memperbaiki situasi Indonesia. Saya setuju dengan pendapat ini. Pertanyaan berikutnya adalah, pendidikan macam apa yang kita perlukan?

Pendidikan Apolitis

Jawaban yang kerap muncul adalah, pendidikan sains dan pendidikan moral. Pendidikan sains lalu disamakan dengan pendidikan fisika, matematika, kimia, dan biologi. Sementara, pendidikan moral disamakan dengan pendidikan agama. Pada titik ini, saya amat tidak setuju.

Pendidikan sains, dengan beragam cabangnya, tentu diperlukan. Pendidikan moral dan pendidikan agama tentu juga diperlukan. Namun, cara mengajarnya harus diubah. Dengan kata lain, paradigma mengajarnya harus diubah, sehingga bahan yang diajarkan juga ditafsirkan dengan cara yang sama sekali baru.

Senin, 01 Agustus 2016

Jalan Guru

Oleh : Iwan Pranoto
(GURU BESAR ITB SERTA ATASE PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DI KBRI NEW DELHI, INDIA)
Bagi negara dengan mutu pengajaran di sekolah masih rendah, tak menguntungkan menceraikan perguruan tinggi dari pendidikan dasar dan menengah. Di zaman ini, perjalanan karier seorang guru -- dari sebelum mengajar sampai saat mengajar—senantiasa berhubungan dengan perguruan tinggi.
Tersebutlah seorang profesor kimia yang tak senang saat mengetahui bagaimana cara anak kandungnya diajar kimia di sekolah. Maka, kemudian sang profesor minta bertemu dengan guru kimia anaknya tersebut untuk menegur dan hendak ”mengajari” bagaimana seharusnya mengajarkan kimia. Saat bertemu, sang profesor kaget karena ternyata guru kimia itu bekas mahasiswanya sendiri. Kejadian ini dikutip di laporan ”Educating Teachers of Science, Mathematics, and Technology” keluaran National Research Council, 2001.
Kisah ini, pertama, mengingatkan para dosen dan perguruan tinggi bahwa mahasiswanya ada yang akan menapaki jalan guru. Perlu disadari, tak semua mahasiswa di perguruan tinggi akan menjadi peneliti, rekayasawan, arkeolog, apoteker, pengacara, sejarawan, manajer, atau politisi. Sebagian insan menetapkan hati untuk menelusuri jalan guru saat ia studi di perguruan tinggi. Maka, semua perguruan tinggi, tanpa kecuali, bertanggung jawab dan berperan dalam merawat jalan guru. Terlebih karena saat ini institut keguruan dan ilmu pendidikan (IKIP) juga sudah tak ada lagi.
Kedua, pengajar perguruan tinggi berperan dan amat berdaya dalam menginspirasi mahasiswa untuk menjadi guru. Momen kegiatan akademik sarat perdebatan pemikiran mendalam serta argumen mencerahkan, semacam yang digambarkan di film Dead Poets Society, mengilustrasikan keindahan dan kenikmatan mengajar. Pengalaman intelektual macam ini kerap mengukir sukma mahasiswa dengan hasrat diri menapaki jalan guru.
Walau demikian, harus diakui bahwa banyak yang memilih jalan guru berdasar motivasi lebih rasional, seperti ekonomi. Akan tetapi, ada pula insan menapaki jalan guru karena alasan yang dianggap emosional dan romantis seperti di atas.

Kamis, 21 Juli 2016

Didiklah Anak-Anak Kami

Oleh: Doni Koesoema A 
Pemerhati Pendidikan dan Pengajar di Universitas Multimedia Nusantara,Serpong
APA sikap yang mestinya dimiliki orangtua saat mengantarkan anak-anak mereka ke sekolah di hari pertama?
Kolaborasi sekolah, rumah, guru, dan orangtua hanya akan efektif bila ada sikap percaya.
Orangtua percaya pada guru, sekolah, dan putra-putri mereka.
Hilangnya rasa kepercayaan dalam dunia pendidikan telah melahirkan berbagai persoalan yang justru menjauhkan para pendidik dari tugas utama mereka.
Tidak adanya kepercayaan antara orangtua dan guru telah memosisikan guru dan orangtua dalam keadaan yang saling berlawanan.
Guru memersepsikan orangtua tidak mau aktif terlibat dalam pendidikan.
Sebaliknya, orangtua menganggap guru tidak bertanggung jawab dalam mendidik anak-anak mereka ketika nilai akademis anak mereka rendah.
Ketidakpercayaan orangtua pada guru juga berimbas pada kepercayaan mereka pada lembaga pendidikan.
Ketidakpercayaan orangtua pada lembaga pendidikan bisa kita lihat dari maraknya fenomena les-les tambahan yang menjadi beban bagi anak-anak setelah mereka menjalani proses pendidikan di sekolah.
Bahkan, sampai pada tahap tertentu, putusnya rasa kepercayaan ditandai dengan maraknya berbagai macam persoalan yang menghadapkan para pendidik sampai ke ranah hukum, baik itu karena persoalan pendidikan biasa, kasus kekerasan, dan tindakan kriminal.
Ketidakpercayaan orangtua pada anak juga ditandai dengan maraknya sikap protektif yang berlebihan terhadap anak.

Roh keterlibatan

Anjuran Mendikbud Anies Baswedan agar orangtua menghantar putra putri mereka di hari pertama mungkin bagi beberapa orangtua bukan hal yang baru. Di desa-desa sudah ada kebiasaan ini.
Di kota besar, malahan ada orangtua yang menghantar anak-anak mereka bukan saja hari pertama, melainkan juga di hari-hari berikutnya.
Meskipun anjuran ini sangat klise, ada satu spirit utama yang ingin diangkat kembali, yaitu perbaikan kualitas relasi dan keterlibatan orangtua dalam pendidikan.
Menghantar anak bukanlah persoalan utama pendidikan kita saat ini.
Absennya kualitas kerja sama antara rumah dan sekolah sebagai roh utama pendidikan inilah yang perlu dihadirkan kembali.
Menghadirkan orangtua dalam pendidikan terangkum dalam satu konsep dasar, yaitu pelibatan publik.
Anies Baswedan merupakan satu-satunya mendikbud yang menggemakan kata pelibatan publik bagi seluruh pelaku dalam ekosistem pendidikan.
Ia melihat bahwa orangtua ialah pelaku utama peningkatan kualitas pendidikan.
Merekalah kunci utama perkembangan putra-putri mereka, baik secara mental, akademis, maupun spiritual.
Karena itu, simbolisme keterlibatan aktif ini ingin ia tampilkan secara nasional dengan mengajak para orangtua untuk menghantar putra-putri mereka ke sekolah di hari pertama.

Bukan simbolisme

Kolaborasi orangtua sekolah tidak boleh berhenti sekadar sebagai ritual dan simbolis.
Seolah-olah hanya dengan menghantar anak ke sekolah, orangtua sudah puas dan merasa terlibat dalam pendidikan putra-putri mereka.

Rabu, 13 Juli 2016

Renungan Pendidikan

Oleh : Harry Santosa


Tahun 1977, ternyata pernah ada konferensi pertama pendidikan Islam di Mekkah. Yang menarik, kesimpulan dari konferensi ini adalah bahwa masalah terbesar negeri negeri muslim bukan politik, ekonomi dsbnya tetapi adalah "the lost of adab", atau hilangnya adab.
Dalam konferensi itu juga disimpulkan bahwa penyebab terbesar hilangnya adab adalah para orangtua yang berhenti mendidik anak anaknya karena miskonsepsi tentang belajar dan bersekolah, miskonsepsi tentang pendidikan dan persekolahan termasuk miskonsepsi tentang ilmu dan adab.
Bagi kebanyakan orangtua, jika anak sudah bersekolah apalagi di sekolah full content agama, maka merasa tenang dan nyaman karena menganggap anaknya sudah menjalani pendidikan Islami dan dianggap sudah beradab dan berakhlak. Padahal menjalani persekolahan berbeda dengan menjalani pendidikan.
Para orangtua ini lupa bahwa bahwa tugas mendidik dan mengadabkan anaknya adalah di tangan orangtua. Dan mereka lupa bahwa mendidik adab dimulai dari menumbuhkan setiap potensi fitrah anak anak mereka. Dan semua itu dimulai di rumah.
Perlu diketahui bahwa, pendidikan memerlukan relasi dan kedekatan yang kuat, keteladanan dan atmosfir keshalihan yang berkesan, ketelatenan dan keikhlashan yang tulus, emphaty tinggi serta pemuliaan yang konsisten atas keunikan anak, semangat untuk terus memberikan idea menantang dan inspirasi yang hebat, dan itu semua hanya bisa diberikan oleh guru atau pendidik setingkat orangtua kandung.
Bagi orangtua yang menyerahkan sepenuh anaknya pada lembaga, barangkali di benak mereka, perintah wajib mencari ilmu (tholabul ilmu) pada tiap muslim seolah digantikan wajib mencari sekolah (tholabul madrosah). Mereka lebih pandai mencari sekolah daripada mendidik anak.

Selasa, 14 Juni 2016

Belajar Dua Semester Langsung Kerja




Sekolah yang satu ini memang cukup unik. Jika, umumnya sekolah diisi generasi penerus bangsa yang berprestasi, maka sekolah ini siswanya beruk semua.
Lelaki paruh baya bernama Jasman itu terdengar menghardik beruk betina yang lehernya diikat rantai. Ia sedang mengajar beruk memetik kelapa. Direntangnya sebatang bambu di antara cabang dua pohon yang bersisian, setinggi 1 meter dari permukaan tanah.
Di batang bambu itu, dua buah kelapa digantung. Beruk disuruh naik ke bambu yang terentang itu. Dengan sedikit tarikan pada rantainya, Jasman mengarahkan beruk ke kelapa yang tergantung. Diperintahnyalah si beruk memilin kelapa itu agar jatuh. Seakan mengerti perintah sang guru, beruk pun mendekati kelapa dan memutarnya hingga kelapa itu jatuh.
Begitulah, salah satu pelajaran atau latihan di sekolah beruk milik Jasman, yang terletak di Pasar Ternak, VII Koto Sungai Sarik, Kabupaten Padangpariaman.  Ada empat ekor beruk yang akan dilatih ketika itu. Dibutuhkan waktu 1-2 semester bagi beruk untuk belajar, hingga benar-benar memiliki kepandaian memetik kelapa. Kebanyakan beruk yang dilatih berkelamin betina. Alasannya, menurut Jasman, sifat beruk betina lebih jinak dan mudah dilatih, sementara beruk jantan sering melawan dan agresif. Umur rata-rata beruk masuk sekolah ini 4-9 bulan.

Selasa, 07 Juni 2016

Psikolog: Jangan Berikan Uang pada Anak setelah Ujian

Uang merupakan nilai tukar dan jika diberikan sebagai bentuk hadiah, bisa mengubah pandangan anak terhadap uang tersebut. Akibatnya, anak bisa menggampangkan ketika ia hendak mendapatkan uang.
Sukses menghadapi ujian, seperti Ujian Nasional (UN) dengan nilai memuaskan pastinya membuat orang tua bangga. Namun, ketika berniat memberi anak hadiah sebagai bentuk apresiasi, tak disarankan berbentuk uang.
“Memberi anak hadiah uang sebagai bentuk apresiasi prestasinya, itu big no,” tegas psikolog anak dan remaja dari RaQQi – Human Development & Learning Centre, Ratih Zulhaqqi, MPsi, Senin (16/5/2016).

Rabu, 16 September 2015

Kemajuan dan Keselamatan

Oleh: Daoed Joesoef
Alumnus Universite' Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne

Ada dugaan bahwa niat pemerintah mengadakan investasi kereta api cepat ala Jepang atau Tiongkok sebagai usaha memasuki era kecepatan.

Hal ini benar sejauh kebijakan itu dilakukan dalam konteks ”dromokrasi”, suatu kekuatan yang tidak kelihatan, tetapi cukup berkuasa mendorong manusia bertindak serba cepat. Sama halnya dengan istilah ”demokrasi”, ”dromokrasi” dibentuk dari dua kata Yunani, yaitu dromos berarti ’kecepatan’ (speed) dan kratos berarti ’pemerintahan’ (rule). Analog dengan istilah ”demokrasi”, maka kata ”dromokrasi” bermakna ’the government of the speed, by the speed, for the speed’.

Kekuasaan dromokrasi sudah berlaku sejak dua ribu tahun sebelum Kristus. Para Firaun (Pharao) Mesir sudah menggunakan ”pengait” dan ”cambuk” sebagai lambang kekuasaan dan pemerintahan. Dengan mengait orang menahan, dengan cambuk orang menggerakkan. Jadi, pemerintahan sudah lama mengacu pada aturan. Mengatur berarti menggerakkan, mengendalikan, dan menertibkan.

Penciptaan benda yang disebut ”roda” dan pemikiran mengukur ”pi” (n), yaitu perbandingan antara garis tengah dan lingkaran roda, membuat satu lompatan besar di tingkat kecepatan. Abad XIX membangun industri kecepatan. Dalam perspektif sejarah, penerbangan angkasa luar merupakan lanjutan dari penemuan roda tersebut. Jika masa prasejarah adalah ”berjalan” dan masa sejarah ”menggelinding”, sekarang ini adalah proto sejarah dari ”terbang”. Dengan terbang, orang mampu bergerak lebih cepat daripada suara dan masih terus berusaha melaju secepat gerakan cahaya.

Sabtu, 22 Agustus 2015

Siswa Kita Perlu Memiliki Cita-Cita Yang Lebih Spesifik

Oleh : Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar
 
            Menjadi guru merupakan profesi yang menarik, karena seorang guru akan membantu perkembangan seorang siswa dari kurang cerdas menjadi cerdas, dari kondisi biasa-biasa saja menjadi pribadi yang luar biasa, atau dari seorang kualitasnya masih zero (kosong) hingga menjadi hero, seorang pahlawan, paling kurang seorang pahlawan dalam keluarganya. Untuk menggenjot mutu pendidikan, tiap lembaga pendidikan atau setiap negara memiliki strateginya masing-masing.
            Karena penduduk negara ini sangat banyak, sangat plural (majemuk) dan kualitas SDM juga berbeda maka pemerintah mendirikan beberapa sekolah pelayanan keunggulan. Sekolah yang biasa tetap menjadi perhatian, namun sekolah berlabel unggul dengan program khusus, didirikan untuk melayani siswa yang membutuhkan akselerasi (percepatan) dalam mengakses ilmu pengetahuan. Maka terbentuklah sekolah berlabel keunggulan seperti “SMA unggul, SMA Plus, Sekolah Percontohan, SMK Model, MAN Model, Sekolah Pembangunan, dll”.

Kamis, 20 Agustus 2015

Menyingkirkan Diskriminasi

 
 
Oleh : DIDIE SW

Kurikulumnya amat ketat dengan introduksi berbagai bahasa asing, tak kalah hebat dari pendidikan Eropa, dengan tingkat kegagalan yang tinggi bahkan untuk orang Belanda sendiri. Toh dengan mutu setinggi itu, putra In- donesia seperti Agoes Salim mampu tampil sebagai lulusan terbaik dari seluruh HBS yang ada; memberi bukti bahwa jika mendapat wahana pembelajaran yang baik, manusia Indonesia bisa berprestasi.

Kenanglah juga kualitas dan kuantitas penelitiannya. Eijkman, peraih Nobel Kedokteran (1929), melakukan penelitiannya di Indonesia, malah pernah menjadi direktur Stovia dan memimpin Laboratorium Anatomi Patologis dan Bakteriologi (berdiri 1886) di negeri ini. Hingga akhir 1930-an setidaknya telah berdiri 26 institut penelitian bereputasi tinggi. Ketika terjadi depresi ekonomi dunia pada 1930-an, banyak ilmuwan terbaik Eropa dan Amerika Serikat hijrah ke Indonesia dan menemukan apa yang mereka sebut sebagai the scientific paradise. Tidaklah mengherankan jika jurnal ilmu pengetahuan yang terbit di Indonesia waktu itu sangat terkenal di seantero dunia, terutama yang berkaitan dengan penelitian tanaman tropis. Bahkan, ketika Jepang masuk, sebuah perpustakaan di New York sengaja didirikan untuk terus mengoleksi karya-karya ilmiah dari Indonesia.

Ingat pula sejenak inisiatif pemerintah mendorong minat tulis dan baca. Pendirian Balai Pusta- ka (BP) dengan proyek penerje- mahannya pada 1917 memberi contoh hal itu. Apa pun agenda tersembunyi di balik pendiriannya, keberadaan BP berperan penting dalam penyediaan bahan bacaan yang murah bagi khalayak umum di Hindia. Selain itu, BP juga berfungsi sebagai medan permagangan bagi para pengarang bumiputra membuka jalan bagi keterpautan literati Hindia ke dalam semangat universal Respublica litteraria,Republik susastra dunia.
Tantangan rezim pendidikan dalam RI merdeka adalah bagaimana menyingkirkan diskriminasi dan memperluas kesempatan belajar, seraya tetap mempertahankan mutu pendidikan. Dalam kenyataannya keduanya tak selalu berjalan seiring. Tekan- an pada kuantitas sering kali mengorbankan kualitas.

Dimana Letak Intelektualitas Mahasiswa Bila Cendrung Game Kayak Anak SD ??

Oleh : Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar
        Bahwa bermain itulah adalah kegemaran seseorang dari usia balita hingga dewasa, malah ada hingga usia tua. Dalam sebuah teori tentang kebutuhan bermain, yang diungkapkan oleh Jean Piaget. Bermain adalah bagian dari kehidupan anak. Anak menghabiskan sangat banyak waktu buat bermain, lewat bermain anak akan memperoleh pengalaman dan pelajaran, hingga muncullah teori “learning by doing dan learning by playing”.
       Seiring dengan pertambahan usia maka, anak perlu diperkenalkan rasa tanggung jawab. Anak perlu dilibatkan dalam beraktivitas- melakukan kegiatan di rumah seperti: mencuci piring, menyapu rumah, melipat kain, menstrika pakaian, hingga membantu membersihkan motor ayah. Tentu saja orang tua musti mengerti dengan parenting- yaitu ilmu tentang menjadi orang tua yang baik- yang bisa menerapkannya buat mendidik keluarganya. Maka insyaallah keluarga mereka akan tumbuh menjadi keluarga yang cerdas dan bertanggung jawab.

Senin, 06 Juli 2015

Kebijakan Pendidikan Negara Maju Sebagai Cermin Untuk Mendongkrak Kualitas Pendidikan Indonesia

 
 
Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMA 3 Batusangkar- Peraih Predikat I Guru Berprestasi Nasional. 
            Setiap tahun lembaga independen dunia tentang pendidikan selalu memonitor tentang kualitas SDM bangsa-bangsa di dunia. Selalu ada versi negara terbaiknya, seperti tahun lalu ada versi “The best top ten nations in education quality”. Sepuluh negara terbaik dalam kualitas pendidikannya yaitu: Amerika Serikat, Polandia, Jerman, Perancis, Israel, Swedia, England, Korea Selatan, Jepang dan Kanada.
            Negera-negara tersebut bisa meraih predikat sebagai negara terbaik untuk kategori pendidikan karena kemajuan kualitas SDM masyarakatnya, mereka punya wawasan dan pengetahuan yang luas. Kondisi ini terbentuk karena faktor budaya membaca mereka yang sangat kuat. Juga karena kualitas Pendidikan Dasar dan Pendidikan Lanjutan mereka yang sangat bagus. Kemudian, kaum perempuan mereka, sebagai pembentuk kualitas keluarga, juga sangat menentukan. Inilah komponen dasar untuk menilai kualitas pendidikan  bangsa-bangsa di dunia.
            Selanjutnya bagaimana keunggulan pendidikan pada masing-masing negara tersebut, kita akan sorot secara singkat satu per-satu:

Sabtu, 04 Juli 2015

Ternyata Generasi Emas Itu Suka Meremehkan Tanah Air, Memuja Olah Raga Eropa dan Musik Korea Sangat Berlebihan

Oleh : Marjohan, M.Pd
Guru SMA 3 Batusangkar- Peraih Predikat I Guru Berprestasi Nasional. 
Email : marjohanusman@yahoo.com
 
            Saya merasa sangat beruntung bisa berjumpa langsung dengan Prof. Dr. Muhammad Nuh, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dalam kepemimpinan Presiden SBY. Kami para guru-guru berprestasi Indonesia memperoleh wejangan tentang rencana Pemerintah, melalui Kementrian P dan K untuk melahirkan generasi emas sebagai kado bagi hari Ulang Tahun Kemerdekaan  Republik Indonesia di tahun 2045 kelak.
            Menteri mengatakan bahwa saat itu bangsa kita akan menjadi bangsa yang sangat maju karena keberadaan Generasi Emas tersebut. Dikatakan bahwa antara tahun 2012 hingga 2045, kita menanam generasi emas tersebut. Indonesia akan mendapatkan bonus demografi yaitu jumlah usia penduduk produktif paling tinggi antara masa anak-anak dan orang tua. Generasi emas ini akan siap mengantarkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang bermartabat dan akan menduduki posisi berkualitas setara dengan bangsa-bangsa lainnya di dunia.  
“Bagaimana cara melahirkan generasi emas ini ?”
Pemerintah telah menyiapkan grand-design pendidikan. Pendidikan anak usia dini digencarkan dengan gerakan PAUDisasi. Kemudian pembangunan dan rehabilitas sekolah dan ruang kelas baru secara besar-besaran. Aka nada intervensi khusus untuk meningkatkan Angka Partisipasi Khusus  (APK) siswa SMA dan minimal para pekerja kita adalah lulus SMA.

e-Newsletter Pendididkan @ Facebook :

Belanja di Amazon.com :

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.

PANDUAN VERIFIKASI AKUN PAYPAL ANDA KE REKENING BANK ANDA [KLIK DISINI]