GURU SEJATINYA TETAP KUNCI DALAM PROSES PEMBELAJARAN. NAMUN, SEBAGAI AGEN PERUBAHAN, GURU DITUNTUT HARUS MAMPU MELAKUKAN VALIDASI MEPERBAHARUI KEMAMPUANNYA, SESUAI DENGAN TUNTUTAN ZAMAN AGAR TIDAK TERTINGGAL

Loading...
 

Rabu, 16 September 2015

Kemajuan dan Keselamatan

Oleh: Daoed Joesoef
Alumnus Universite' Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne

Ada dugaan bahwa niat pemerintah mengadakan investasi kereta api cepat ala Jepang atau Tiongkok sebagai usaha memasuki era kecepatan.

Hal ini benar sejauh kebijakan itu dilakukan dalam konteks ”dromokrasi”, suatu kekuatan yang tidak kelihatan, tetapi cukup berkuasa mendorong manusia bertindak serba cepat. Sama halnya dengan istilah ”demokrasi”, ”dromokrasi” dibentuk dari dua kata Yunani, yaitu dromos berarti ’kecepatan’ (speed) dan kratos berarti ’pemerintahan’ (rule). Analog dengan istilah ”demokrasi”, maka kata ”dromokrasi” bermakna ’the government of the speed, by the speed, for the speed’.

Kekuasaan dromokrasi sudah berlaku sejak dua ribu tahun sebelum Kristus. Para Firaun (Pharao) Mesir sudah menggunakan ”pengait” dan ”cambuk” sebagai lambang kekuasaan dan pemerintahan. Dengan mengait orang menahan, dengan cambuk orang menggerakkan. Jadi, pemerintahan sudah lama mengacu pada aturan. Mengatur berarti menggerakkan, mengendalikan, dan menertibkan.

Penciptaan benda yang disebut ”roda” dan pemikiran mengukur ”pi” (n), yaitu perbandingan antara garis tengah dan lingkaran roda, membuat satu lompatan besar di tingkat kecepatan. Abad XIX membangun industri kecepatan. Dalam perspektif sejarah, penerbangan angkasa luar merupakan lanjutan dari penemuan roda tersebut. Jika masa prasejarah adalah ”berjalan” dan masa sejarah ”menggelinding”, sekarang ini adalah proto sejarah dari ”terbang”. Dengan terbang, orang mampu bergerak lebih cepat daripada suara dan masih terus berusaha melaju secepat gerakan cahaya.

 

 

Isra dan Miraj adalah gerakan dromokratis yang dinarasikan oleh agama Islam, pada tanggal 27 Rajab, 16 abad yang lalu. Isra adalah perjalanan malam yang ditempuh Rasulullah dari Masjidil Haram di Mekkah ke Masjidil Aqsa di Jerusalem, berjarak kira-kira 1.350 kilometer. Miraj merupakan perjalanan lanjutan di malam yang sama ke angkasa luar menuju Sidratul Muntaha tempat dia menerima perintah dari Allah tentang kewajiban bershalat. Waktu yang dia perlukan untuk sampai ke sana, dengan melewati berbagai galaksi di jagat raya, diperkirakan sebanyak 10 miliar tahun cahaya. Berarti dia perlu kendaraan yang kecepatannya melebihi kecepatan cahaya (300.000 kilometer per detik). Dalam narasi tadi kendaraan Rasulullah disebut berkecepatan ”kilat” (Buraq atau Barqun).

Kalau dahulu jarak dan ruang menghabiskan waktu, berkat kecepatan waktu menelan jarak dan ruang. Mengetahui hal ini, pemerintah kita sejak kemerdekaan telah berusaha menciptakan ”kecepatan” berupa bandara di setiap pelosok Tanah Air. Namun, langkah yang serba spektakuler ini tidak memenuhi dromokrasi. Ternyata yang dibangun itu hanya sarana dan lambang kecepatan, bukan sekali-kali ”kecepatan” itu sendiri. Tanpa kesadaran berdromokrasi, penikmatan ”gerak-cepat” itu tidak tanpa biaya tak terduga, berupa penghamburan dana, kerja tumpang tindih, kehilangan waktu, tumpukan kejengkelan dan kecelakaan, yang jauh lebih besar daripada seharusnya.

Kita lupa bahwa makanan enak dapat dibeli, tetapi makan enak tidak. Kasur empuk dapat dibeli, tetapi tidur enak tidak. Buku ilmu pengetahuan dapat dibeli, tetapi sang pembaca tidak otomatis menjadi ilmuwan sejati. Untuk kualifikasi intelektual ini diperlukan ”spirit ilmiah” dan ini pasti tidak dapat dibeli, harus dikembangkan sendiri berdasarkan kesadaran.

Kesadaran yang diniscayakan oleh dromokrasi itu terutama mengenai hakikat dari faktor-faktor yang menentukan jalannya dromokrasi, pada pokoknya berupa: berpikir integratif (perencanaan terpadu, interdisipliner, interkoneksitas), kebijakan energi, kesadaran waktu dan ruang. Unsur ”waktu”, misalnya, menentukan sekali keberhasilan dromokrasi berhubung bersama-sama dengan ”jarak”, ialah yang dijadikan pengukur perkembangannya. Adapun perilaku kita pada umumnya masih dikuasai oleh ”jam karet”.

Miopia waktu

Manusia Indonesia kelihatan mengalami gangguan dalam ber-”waktu”. Jangka pendek sering dianggap sebagai horizon pasti dan cenderung bergerak dari jangka pendek ke immediate, dari horizon tertutup ke tidak adanya horizon, hingga terpaku pada ”waktu riil”: jarak temporal sebesar nol derajat.

Miopia waktu lalu membuat kehidupan bersama dikuasai oleh ”tirani urgensi”, yang mendesakkan cara kerja dadakan. Dengan dalih just on time, tirani urgensi dengan gaya pendadakannya membuat kriteria aksi yang simpel—fleksibilitas dan adaptasi—menjadi absolut dalam pengambilan keputusan. Keputusan ini bisa saja membuahkan manfaat sesaat, terutama di bidang politik yang dikuasai oleh parpol dan politikus oportunis.

Dalih just on time dari tindakan mendadak itu sendiri bukan berarti ia dilakukan tepat waktu, sesuai jadwal. Sesuatu yang sampai dianggap urgen sebenarnya sudah sangat terlambat—when it is urgent, it is already too late. Maka, tirani urgensi membiasakan merespons langsung tanpa analisis cukup hingga kebijakan pemerintahan menjadi suatu rangkaian adaptasi pasif immediate terus-menerus. Aksi pemerintahan yang diambil guna mengatasi kelumpuhan tadi selalu berupa tindakan spektakuler yang serba cepat.

Jadi, investasi kereta api cepat dilakukan bukan karena kesadaran adanya ”dromokrasi”, melainkan sebagai reaksi terhadap penjajahan miopia waktu. Adapun sikap pemerintah dalam keadaan apa pun seharusnya bersifat antisipatif sebab ”to govern is to foresee”. Berarti selalu berusaha ”to foresee the present in order to build the proper future of the nation-state”.

Etika masa depan

Etika masa depan lahir dari kesadaran bahwa setiap makhluk akan menjalani sisa hidupnya di masa depan bersama dengan makhluk hidup lain yang ada. Maka, manusia, selaku khalifatullah di bumi, bertanggung jawab tidak hanya atas dirinya, tetapi juga terhadap makhluk lainnya itu. Berarti masa depan menuntut manusia untuk tidak mengelakkan tanggung jawab atas konsekuensi dari setiap aksi yang dilakukannya sekarang ini, termasuk langkah yang dia tahu harus diambil, tetapi tetap tidak dia lakukan.

Berhubung tanpa adanya etika masa depan di masa lalu, di masa sekarang segala sesuatu sudah terasa serba terlambat, etika masa depan menuntut manusia mempunyai pula visi prospektif. Ini adalah sikap intelek yang melihat sesuatu di masa depan bukan sebagai realitas tersembunyi yang sudah eksis dan dapat ditemukan dengan menggunakan aneka metode ilmiah yang sesuai, melainkan lebih berupa hasil yang telah diprakirakan oleh aksi-aksi yang kita lakukan dengan sengaja, sistematik, dan terarah sebelumnya.

Jadi, sikap prospektif dibangun berdasarkan postulat bahwa manusia terpanggil untuk membangun masa depannya sendiri dan adanya kebebasan manusia dalam menghadapi hal-hal mendatang, beraneka ragam, tidak pasti, dan serba kompleks. Maka, kemampuan antisipatif dan pikiran prospektif hendaknya dijadikan prioritas bagi orang/lembaga yang merasa terpanggil untuk mengambil keputusan. Hal ini jelas memerlukan riset, tetapi pasti sangat relevan bagi pembentukan kekuatan guna membebaskan diri dari cengkeraman faktor ”tirani urgensi”, untuk menolak adaptasi ”waktu riil”, demi menentang kebijakan just on time.

Kontrak kealaman

Sepintas lalu tidak ada alasan untuk khawatir bahwa anak cucu kita tidak bisa hidup bahagia di bumi Indonesia yang terkenal kaya dengan sumber alamnya. Namun, berhadapan dengan aneka jenis eksploitasi alam yang rakus demi keuntungan yang serba instan, kita harus membuat suatu kontrak kealaman, a natural contract, yang menyatakan ”the does and the don’t” dan harus kita taati dalam memanfaatkan alam demi keselamatan (survival).

Selama ini sumber alam dianggap sebagai warisan nenek moyang dan karena itu generasi sekarang merasa berhak penuh menguras semuanya guna memenuhi kebutuhan sekarang dengan menyerahkan begitu saja kepada generasi mendatang menemukan sendiri solusi masalah yang diakibatkan oleh pengurasan itu. Akibat kerakusan ini sudah terasa sekarang: polusi, kehancuran ekologis, penandusan, longsor dan banjir, pemanasan global, penyusutan cadangan air tanah, kerusakan lapisan ozon, dan kepunahan berbagai jenis flora dan fauna akibat pembabatan hutan seenaknya.

Lebih daripada seabad yang lalu, Alexis de Focqueville, filosof politik Perancis, telah mengingatkan ”a democratic power is never likely to perish for lack of strength or of its resources, but it may very well fall because of the misdirection of its strength and the abuse of its resources”. Dan di negeri tercinta ini memang terjadi ”salah arah eksploitasi alam” serta ”penghamburan pemanfaatannya”.

Maka, dengan penyalahgunaan koleksi terbesar dari kekayaan alam berlimpah yang pernah ada di sepotong geografi, Indonesia kini menghadapi a now or never situation dalam keselamatan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara hingga kiamat.

Revolusi mental

Revolusi yang sekarang gencar dicanangkan ini seharusnya meliputi anggapan bahwa kekayaan sumber alam yang ada merupakan ”pinjaman” belaka dari generasi sekarang kepada generasi mendatang yang seharusnya bisa dikembalikan dalam keadaan terawat dan relatif siap pakai.

Jangan lagi kita kacaukan hakikat ”teknologi” dan ”ilmu pengetahuan”. Jangan lagi menganggap status martil sama dengan test-tube. Sudah waktunya kita menyadari bahwa peralatan yang dipakai guna membelah gunung dan merusak pantai adalah perpanjangan dari sekaligus pikiran dan otot. Ilmu pengetahuan boleh dibiarkan bebas karena ia ”mencari” kebenaran, tetapi teknologi hanya merupakan means guna ”menerapkan” kebenaran. Dan justru penerapan ini membutuhkan kontrol filosofis dan keseimbangan antara kearifan dan concern for posterity.

Kita tidak mungkin mengubah/memperbaiki masa lalu. Dengan opsi yang cenderung menyempit, kita tetap berkewajiban membentuk masa depan. Maka, demi penanganan masa depan yang menjanjikan, negara perlu melaksanakan tugas hakikatnya yang selama ini terabaikan, yaitu ”membangun jiwa” sebelum ”membangun badan” Tanah Air, seperti yang diamanatkan oleh himne nasional ”Indonesia Raya”. Berarti kiat bernegara sinonim dengan keterampilan membangun jiwa. Statecraft is sosulcraft. Negara-Bangsa yang merdeka bukan lagi sekadar suatu ”lokalitas fisik”, melainkan suatu ”mindset”. []

Sumber : KOMPAS, 14 September 2015

Tidak ada komentar:

e-Newsletter Pendididkan @ Facebook :

Belanja di Amazon.com :

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.

PANDUAN VERIFIKASI AKUN PAYPAL ANDA KE REKENING BANK ANDA [KLIK DISINI]