Oleh : Amedz
(Mahasiswa PTIQ Jakarta yang aktif di dunia aktivis)
Berlebihan
rasanya bila sekilas membaca judul tulisan ini, namun itulah fakta yang
semestinya ada apabila kita ingin dikatakan sebagai bangsa yang
menjunjung nilai-nilai perjuangan. Seperti diketahui, tiap bulan April,
kelahiran R.A. Kartini (21 April) diperingati secara nasional,
sementara banyak pahlawan wanita yang tidak kalah sumbangsih
perjuangannya dalam melawan penjajah dilupakan bahkan tidak dikenal oleh
generasi bangsa sekarang ini.
Sejauh mana peran Kartini dalam mengusir penjajah? Sebandingkah dengan perjuangan Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah yang terjun langsung ikut berperang melawan penjajahan di Aceh?
Coba telusuri sosok Martha Christina Tiahahu
yang gigih berjuang bersama Pattimura di Maluku, untuk mengusir
pendudukan pasukan (Belanda). Apabila dibandingkan dengan perjuangan
Kartini yang hanya sebatas perjuangan lewat tulisan, tentu tidak
sebanding dengan perjuangan Martha Christina Tiahahu yang
terjun di medan pertempuran. Kodratnya sebagai perempuan tidak
menyurutkan semangat juang dalam melawan tentara Kolonial meskipun
dilengkapi persenjataan canggih. Namun apa yang kita ketahui saat ini
tentang Martha Christina Tiahahu, sangat mungkin generasi sekarang tidak
banyak yang mengenal kepahlawanannya.
Ada lagi perempuan perkasa dari timur, Herlina Efendi
yang dianugerahi pending Cendrawasih Emas dari pemerintah RI atas
jasanya untuk membebaskan Irian Barat dari pendudukan kolonial Belanda.
Semestinya nama Herlina familiar dengan generasi kita apalagi mereka yang duduk di bangku pendidikan, kurikulum sejarah idealnya membahas biografi Herlina Efendi
secara detail tanpa manipulasi data. Kenyataannya banyak yang tidak
kenal dengan seorang Srikandi dari Papua ini. Sementara jasa beliau
telah ikut mengantarkan Irian menjadi jaya seperti sekarang.
Tinta sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia juga telah menuliskan nama Emmy Saelan sebagai pejuang kemerdekaan RI di Sulawesi Selatan. Bersama-sama R.W. Mongisidi, Emmy Saelan
dapat melumpuhkan kekuatan kolonial Belanda yang mempunyai persenjataan
lebih baik dengan taktik-taktik cemerlangnya. Bahkan Emmy Saelan berani
bunuh diri dengan cara meledakkan granat ditangannya sehingga
menewaskan beberapa serdadu Belanda yang ingin menangkapnya.
Seharusnya hari kematian Emmy Saelan ini
diperingati secara nasional agar generasi bangsa ini faham arti bunuh
diri yang dibenarkan agama. Bukan mati konyol karena bunuh diri dengan
alasan putus cinta, banyak utang, pengangguran, hidup miskin dan
alasan-alasan lainnya yang tidak substantial.
Uraian tersebut seharusnya mendorong kita semua untuk berpikir cerdas dan bijaksana, sudah tepatkah pemerintah menetapkan 21 April sebagai hari Kartini? Lalu bagaimana dengan pejuang-pejuang perempuan yang telah gugur di medan tempur? Kapan kita dapat mengenang mereka layaknya R.A. Kartini? Bukankah mereka jauh lebih besar pengorbanannya dibanding seorang R.A. Kartini? Silakan cari jawabannya dengan berdasar pada fakta sejarah, dan bukan dogma dari dongeng rekaan Kolonial.
Tersohornya
R.A. Kartini sebagai penggerak emansipasi wanita Indonesia sangat
mungkin terjadi akibat propaganda Orientalis-Belanda yang licik. Hal ini
dilihat dari upaya H.H. van Kol, C.Th. van Deventer, Snouck Hurgronje,
Estella Zeehandelaar, Ny. Abendanon dan lainnya yang merupakan aktifis
Orientalis-Belanda dalam mengekspos curhat Kartini melalui media dan
buku-buku untuk menebar pertentangan dan perpecahan (Devide at Impera).
Atau juga sebagai ajang akulturasi nilai-nilai budaya Belanda untuk
menjamah struktur nilai dan budaya Indonesia agar dapat tunduk
bersimpati kepada kolonial Belanda.
Apologetik
yang cukup sukses dari bangsa Belanda sehingga sampai sekarang meski
hampir seabad Indonesia merdeka, kuku-kuku Kolonialisme masih menancap
di tanah air kita ini. Kartini sebagai kader kolonial (karena banyak
berhubungan dengan tokoh Belanda saat itu) memiliki kegemaran curhat
yang sampai detik ini menjadi budaya generasi bangsa kita.
Sehingga
wajar jika Kartini menjadi pahlawan emansipasi karena kegemarannya yang
suka curhat. Sesuatu yang tidak dilakukan oleh Malahayati, Dewi
Sartika, Rohana Kudus, Laswi, Jo Paramitha, Siti Aisyah We Tenriolle,
Nyai Walidah Ahmad Dahlan, Ny. Sunarjo Mangunpuspito dan pahlawan wanita
lainnya ketika memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Tulisan
ini tidak bermaksud memojokkan siapapun, hanya menyayangkan jika
popularitas Kartini sebagai pencetus gerakan emansipasi wanita di
nusantara me-nafi-kan silsilah perjuangan perempuan lainnya yang jauh
lebih prestius sebelum masanya. Karena itu, sangat disesalkan jika
flatform perjuangan perempuan Indonesia terbatas pada starting-point
seorang sosok Kartini yang gemar curhat melalui suratnya. Sementara
Indonesia mempunyai segudang figur pahlawan perempuan yang kuat, piawai,
elegan, dan berbagai elemen superioritas lainnya.
Tidak
dapat dipungkiri jika bangsa Indonesia saat ini merupakan Negara
berpenduduk Islam terbesar di dunia dan sekaligus menjadi musuh utama
Yahudi, doktrin kesetaraan gender yang dibungkus emansipasi wanita
gencar dilakukan demi kehancuran umat dan bangsa ini.
Feminisme dan Kesetaraan Gender
Peringatan
hari Kartini juga sering digunakan kaum feminisme sebagai momentum
kebebasan wanita dari aturan hidup Sang Pencipta. Salah satu upaya
nyatanya adalah isu-isu RUU KKG (peraturan kesetaraan gender) yang
diusung kaum feminisme demi mewujudkan kesamaan untuk memperoleh akses,
partisipasi, kontrol dan manfaat antara perempuan dan laki-laki dalam
semua bidang kehidupan.
Kesetaraan
gender inilah senjata ampuh dalam menjajah Indonesia di era modern
sekarang, karena bila RUU KKG ini disahkan maka akan hilang institusi
Negara kita. Hilangnya institusi melumpuhkan fungsi-fungsi struktural
dalam suatu lembaga pemerintahan, sehingga kehancuran bangsa tidak dapat
terhindarkan. Salah ungkapan hadits “jika baik wanitanya maka jayalah Negara tersebut Sebaliknya jika buruk wanitanya maka hancurlah Negara tersebut.” Relakah kita jika Indonesia ini hancur atau dijajah lagi?
Strategi
Belanda dalam melumpuhkan generasi bangsa kita sudah memasuki berbagai
lini kehidupan. Selain paham gendernya yang terus merebak kini, sejak
dahulu Belanda juga melakukan ‘pembaratan’ pejabat elite pribumi melalui
dunia pendidikan. Masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam
memiliki idealisme yang tinggi, sehingga aktifis Orientalis-Belanda
memanfaatkan keragaman adat dan asosiasi kebudayaan yang ditopang oleh
pendidikan Barat untuk melemahkan idealisme tersebut. Hasilnya, fakta
sejarah bangsa kita banyak yang berisi rekayasa dengan tokoh-tokoh
pribumi yang telah menjadi boneka Orientalis-Belanda.
Itulah
strategi dan taktik nyata penjajah untuk menaklukkan bangsa kita.
Bahkan jika kita cermati, strategi mereka kini semakin canggih
dilakukan. Kader-kader orientalis dari kalangan “saudara kita” sudah
berjubel dan bergentayangan di mana-mana. Hegemoni bangsa kita yang
silau dengan peradaban Barat, langsung atau tidak langsung menyeret kita
ke bawah orbit peradaban yang sekuler.
Sangat
ironis, jika ada yang tidak sadar bahwa label kepahlawanan semu mampu
merusak pola pikir generasi bangsa, dan pada saat yang sama kita tetap
mengelu-elukan pahlawan-pahlawan tersebut atas perjuangan yang tiada
noktahnya jua. Lihat remaja putri atau kaum perempuan saat ini,
kehidupan yang bebas telah menyeret sebagian besar mereka dalam kubangan
seks bebas, aborsi, mabuk-mabukan, diskotik, mengumbar aurat, serta
kehidupan hedon lainnya. Bagi wanita karir yang kebetulan sukses dengan
gampangnya bergonta-ganti suami atau berselingkuh karena merasa telah
berjasa menghidupi diri dan keluarganya. Apakah ini yang dinamakan
produk emansipasi perempuan? Pantaskah bangsa Indonesia yang memiliki
norma budaya luhur mengadopsinya?
Distorsi
sejarah bangsa Indonesia sudah membentur tembok krusial dan saatnya
direformasi jika tidak ingin kita terus berada dalam dongeng klasik
karya Orientalis-Belanda. Generasi saat ini menanti dan merindukan
pencerahan nasional demi membuka wawasan berpikirnya membangun bangsa
berperadaban. Dan kurikulum pendidikan nasional memikul tanggung jawab
besar dalam proses aufklarung tersebut, karena bangku pendidikan adalah
tempat mendoktrin pemikiran yang efektif.
Sekali
lagi tulisan ini tidak ingin melukai perasaan siapapun, penghargaan
tetap kita berikan kepada Kartini baik yang terdahulu maupun
Kartini-kartini masa kini atas jasanya pada umat. Yang terpenting tidak
ada lagi diskriminasi hari atau apapun yang hanya mengkhususkan pada
seseorang, walau sebesar apapun pengorbanannya. layakkah kartini
diperingati?
[Sumber : http://www.kompasiana.com]
Artikel Terkait :
Artikel - berita dan informasi lainnya, klik :
[Sumber : http://www.kompasiana.com]
Artikel Terkait :
- Rohana Kudus, Pengukuh Kodrat Perempuan
- Andai Kartini Khatam Mengaji…
- AKHIR PEMIKIRAN IBU KARTINI
- Mitos Kartini dan Rekayasa Sejarah [download]
- Kyoiku Mama
- Women Womeni Lupus
- Kartini Tidak Butuh Nyanyian dan Kain Kebaya
Artikel - berita dan informasi lainnya, klik :
1 komentar:
-------------
اَلسَّلاَ مُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَ كَاتُهُ
--------------------------------
Tulisan Amedz sangat bagus, bagus untuk dijadikan nalisis sejarah.
Kita memang perlu bersikap kritis untuk mendapatkan fakta yang sesungguhnya.
Komentar saya ini ikut memberikan tambahan pemikiran untuk memahami sosok Kartini.
Tema yang diusung bila kita bicara tentang kartini adalah "Habis Gelap Timbulah Terang".
Tema itu tidak lebih dari pengembangan konsep "Pencerahan" yang sedang digalakan di daratan Eropa. Yang mana dalam fakta sejaran, bahwa Masyarakat Eropa merasa gelap setelah berkaca ke Timur Tengah. Mereka sangat tertarik dengan konsep "penyadaran" yang sumber rujukannya adalah wahyu. Tetapi mereka memakai istilah "pencerahan", karena tidak mau memakai wahyu sebagai panduannya. Konsep pencerahan mereka gagas berdasarkan kompromis rasional. Tidak bersandar kepada nilai agama manapun.
Di Indonesia konsep ini juga dikembangkan oleh pemerintahan Belanda. Karena kepintaranya sebagai penjajah dijadikanlah Kartini sebagai pelopornya.Sosok Kartini ditempatkan dalam bingkai Politik Balas Budi yang terkenal itu.
Yang penting kita sadari adalah, bahwa di daerah nusantara di dalam masyarakatnya sudah mengakar dan mejadi budaya nilai-nilai Islam. Karena mental Islam dianggap sebagai musuh utama bagi Belanda dalam menjalankan kepentingann politikya, maka kondisi itulah yang diberi makna "Gelap".
Dengan memberikan pendidikan ala Eropa kepada sejumlah putri-putri Nusantara ini, dan memang setelah tampak gejala tumbuhnya kebebasan meraka(terbebas dari Norma Islam)maka dimunculkanlah istilah "habis Gelap timbulah terang" disimbolkan melalui tangan kartini.
Sekarang kita tidak dapat menutup mata, bahwa kebebasan pengikut Kartini memang sudah kebablasan.Karena memang mendapatkan dukungan yang luar biasa dari umat Islam terutama dari mereka yang tidak menyadarinya.
Posting Komentar