Ditulis oleh : Teguh
Rohana Kudus, nama yang saya kenal saat pertama kali menginjakkan kaki di Koto Gadang, Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, pada tahun 2008 lalu. Namanya diabadikan menjadi nama sebuah jalan di nagari itu.
Pada usia hampir menginjak 88 tahun, Rohana pun beristirahat dengan
tenang pada tanggal 17 Agustus 1972. Perjuangannya yang berkobar tak
serta merta padam, bahkan akhirnya diakui dengan beberapa penghargaan
yang ia terima setelah keberpulangannya menghadap Sang Pencipta. Tepat
dua tahun setelah ia wafat, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat
menganugerahinya penghargaan sebagai “Wartawati Pertama Indonesia”.
Hampir 13 tahun kemudian, tepatnya tanggal 9 Februari 1987, pada Hari
Pers Nasional ke-3, Menteri Penerangan Harmoko menganugerahinya
penghargaan sebagai “Perintis Pers Indonesia”, dan pada tahun 2008 yang
lalu, pemerintah Indonesia menganugerahkan “Bintang Jasa Utama”
kepadanya. (Sumber: http://annisarangkuti.wordpress.com)
[Sumber : http://www.harianhaluan.com/]
Artikel Terkait :
Rohana Kudus, nama yang saya kenal saat pertama kali menginjakkan kaki di Koto Gadang, Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, pada tahun 2008 lalu. Namanya diabadikan menjadi nama sebuah jalan di nagari itu.
Sepanjang hidupnya, ia terus aktif dalam kegiatan
belajar dan mengajar, sembari mengusung cita-citanya untuk mengubah
paradigma masyarakat Koto Gadang yang mendiskriminasi kesempatan
pendidikan antara kaum laki-laki dengan kaum perempuan.
Emansipasi yang ditawarkan dan dilakukan Rohana tidak
menuntut persamaan hak antara kaum perempuan dengan laki-laki, namun
lebih kepada pengukuhan fungsi alamiah perempuan itu sendiri secara
kodratnya. Untuk dapat berfungsi sebagai perempuan sejati sebagaimana
mestinya juga butuh ilmu pengetahuan dan keterampilan, maka dari itu
diperlukan pendidikan untuk perempuan.
Sebuah definisi tentang emansipasi yang sederhana dan
mulia. Suatu kesimpulan dari pemikiran Rohana yang membuat saya berpikir
kembali akan arti emansipasi yang selama ini agaknya sudah kebablasan.
Sebelum itu, tak sekalipun saya pernah mendengar
namanya. Seingat saya, saya tidak pernah membaca sejarah hidupnya di
buku-buku pelajaran Sejarah sejak saya SD dulu. Entah saya yang kurang
tahu karena masih sedikit membaca atau memang namanya tidak tertulis di
buku-buku pelajaran sejarah.
Yang pasti, perkenalan dengannya melalui referensi yang
saya dapat di dunia maya, mengungkapkan sosoknya yang ternyata luar
biasa. Siapa sangka, ternyata ia juga adalah sosok “Kartini” yang lahir
dan memperjuangkan hak-hak perempuan untuk memperoleh pendidikan, di
tanah kelahirannya, Koto Gadang. Ia lahir di sana pada tanggal 20
Desember 1884, 5 tahun setelah Kartini lahir di Jepara. Bisa dikatakan, Rohana dan Kartini adalah pejuang hak-hak perempuan Indonesia di
masanya, di tanah yang berbeda.
Rohana adalah putri pertama pasangan Moehammad Rasjad
Maharadja Soetan dan Kiam. Nama besarnya ternyata sering disandingkan
dengan Soetan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia, yang juga
merupakan adik tirinya. Ia pun adalah sepupu dari H. Agus Salim, seorang
jurnalis dan pernah menjabat sebagai Menteri Luar Negeri di masa
pemerintahan Orde Lama, dan juga dipanggil dengan sebutan Mak Tuo (Bibi)
oleh penyair terkenal Chairil Anwar, sang “binatang jalang”. Sungguh
sebuah kekerabatan dari beberapa nama besar yang senantiasa tertoreh
dalam sejarah politik dan sastra Indonesia.
Kiprahnya sendiri sebagai seorang pejuang hak-hak
perempuan untuk mendapatkan kesetaraan pendidikan dengan laki-laki,
sudah dimulai sejak ia berusia sangat muda, saat ia mengajarkan
teman-teman kecilnya membaca pada usia 8 tahun. Kemampuan baca tulis itu
ia peroleh tanpa melalui pendidikan formal. Sejak kecil, ia rajin
belajar pada Ayahnya, seorang pegawai pemerintah Belanda yang selalu
membawakan Rohana bahan bacaan dari kantornya.
Nama “Kudus” yang disandangnya adalah nama belakang
sang suami, Abdul Kudus, yang menikahinya pada saat ia berusia 24
tahun. Ketika itu ia sudah kembali ke kampung halamannya di Koto Gadang
dan berniat mewujudkan cita-citanya untuk membebaskan kaum perempuan
terutama dari diskriminasi perolehan kesempatan pendidikan, dengan
mendirikan sebuah sekolah keterampilan khusus perempuan.
Sekolah itu bernama Sekolah Kerajinan Amai Setia, yang
didirikannya pada tanggal 11 Februari 1911. Di sekolah ini ia
mengajarkan banyak hal seperti, membaca, menulis, keterampilan mengelola
keuangan, budi pekerti, pendidikan agama, bahasa Belanda, sampai
keterampilan menjahit, menyulam, membordir, dan merenda, yang hasil
kerajinannya ini diekspor ke Eropa. Ini menjadikan sekolah Rohana
berbasis industri rumah tangga yang anggotanya semua perempuan yang
pertama di Minangkabau.
Selain mengajar dan fasih berbahasa Belanda, Rohana
juga gemar menulis puisi dan artikel. Tak terlihat bahwa ia sebenarnya
tak berpendidikan tinggi. Tutur katanya mencerminkan kecerdasan dan
keberaniannya dalam memperjuangkan hak-hak kaum perempuan di
kampungnya. Nama dan kiprahnya pun menjadi pembicaraan hangat di
kalangan kaum kolonial. Berita perjuangannya ditulis di surat kabar
terkemuka Belanda dan disebut sebagai perintis pendidikan perempuan
pertama di Sumatera Barat.
Pada akhirnya Rohana pun berbagi cerita dan cita-cita
tentang perjuangannya tersebut dengan menerbitkan surat kabar perempuan
pertama di Indonesia pada tanggal 10 Juli 1912, yang diberi nama
“Sunting Melayu”. Dinamakan surat kabar perempuan pertama karena
pemimpin redaksi, redaktur dan penulisnya, semua adalah perempuan.
Surat kabar ini tidak hanya membahas masalah wanita, tetapi juga masalah
politik dan kriminal yang terjadi di ranah Minang.
Selang beberapa waktu kemudian, ia pun pindah ke
Bukittinggi. Di sini, ia mendirikan “Rohana School”, yang terkenal
sampai ke daerah lain di luar Bukit Tinggi. Tak heran, banyak murid yang
bersekolah di sini. Hal ini disebabkan nama Rohana sudah cukup populer
karena hasil karyanya yang bermutu dan eksistensinya sebagai pemimpin
redaksi “Sunting Melayu” tak diragukan lagi. Ia pun ditawari menjadi
pengajar di sekolah Dharma Putra, yang muridnya tidak hanya perempuan.
Selain karena kepopulerannya, tawaran mengajar ini juga dikarenakan
kemampuannya dalam menguasai bidang agama, bahasa Belanda, politik,
sastra, dan jurnalistik serta kepiawaiannya dalam hal kerajinan
tangan.
Ia juga sempat merantau ke Lubuk Pakam dan Medan. Di
sana ia mengajar dan memimpin surat kabar “Perempuan Bergerak”. Kembali
ke Padang, ia menjadi redaktur surat kabar “Radio”, yang diterbitkan
Tionghoa-Melayu di Padang dan surat kabar “Cahaya Sumatera”. Kiprahnya
tak hanya di bidang pendidikan.
Seiring perkembangan zaman yang semakin maju, cita-cita
Rohana pun tunai sudah. Para perempuan Koto Gadang masa kini adalah
perempuan-perempuan berpendidikan tinggi yang sukses dalam berbagai
bidang. Di balik kesuksesan itu, tetap terselip harapan agar para
perempuan ini tidak melupakan perannya sebagai perempuan kodrati.
[Sumber : http://www.harianhaluan.com/]
Artikel Terkait :
Artikel lainnya, klik :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar