GURU SEJATINYA TETAP KUNCI DALAM PROSES PEMBELAJARAN. NAMUN, SEBAGAI AGEN PERUBAHAN, GURU DITUNTUT HARUS MAMPU MELAKUKAN VALIDASI MEPERBAHARUI KEMAMPUANNYA, SESUAI DENGAN TUNTUTAN ZAMAN AGAR TIDAK TERTINGGAL

Loading...
 

Sabtu, 21 April 2012

Rohana Kudus, Pengukuh Kodrat Perempuan

Ditulis oleh : Teguh  


Rohana Kudus, nama yang saya kenal saat pertama kali menginjakkan kaki di Koto Gadang, Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, pada tahun 2008 lalu. Namanya diabadikan menjadi nama sebuah jalan di nagari itu.

Sepanjang hidupnya, ia terus aktif dalam kegiatan belajar dan mengajar, sembari mengusung cita-citanya untuk mengubah paradigma masyarakat Koto Gadang yang mendiskriminasi kesempatan pendidikan antara kaum laki-laki dengan kaum perempuan.
 
Emansipasi yang ditawarkan dan dilakukan Rohana tidak menuntut persamaan hak antara kaum perempuan dengan laki-laki, namun lebih kepada pengukuhan fungsi alamiah perempuan itu sendiri secara kodratnya. Untuk dapat berfungsi sebagai perempuan sejati sebagaimana mestinya juga butuh ilmu pengetahuan dan keterampilan, maka dari itu diperlukan pendidikan untuk perempuan.
 
Sebuah definisi tentang emansipasi yang sederhana dan mulia. Suatu kesimpulan dari pemikiran Rohana yang membuat saya berpikir kembali akan arti emansipasi yang selama ini agaknya sudah kebablasan.
 
Sebelum itu, tak sekalipun saya pernah mendengar namanya. Seingat saya, saya tidak pernah membaca sejarah hidupnya di buku-buku pelajaran Sejarah sejak saya SD dulu. Entah saya yang kurang tahu karena masih sedikit membaca atau memang namanya tidak tertulis di buku-buku pelajaran sejarah.
 

Yang pasti, perkenalan dengan­nya melalui referensi yang saya dapat di dunia maya, mengung­kapkan sosoknya yang ternyata luar biasa. Siapa sangka, ternyata ia juga adalah sosok “Kartini” yang lahir dan memperjuangkan hak-hak perempuan untuk memperoleh pendidikan, di tanah kelahirannya, Koto Gadang. Ia lahir di sana pada tanggal 20 Desember 1884, 5 tahun setelah Kartini lahir di Jepara. Bisa dikatakan, Rohana dan Kartini adalah pejuang hak-hak perempuan Indonesia di masanya, di tanah yang berbeda.
 
Rohana adalah putri pertama pasangan Moehammad Rasjad Maharadja Soetan dan Kiam. Nama besarnya ternyata sering disanding­kan dengan Soetan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia, yang juga merupakan adik tirinya. Ia pun adalah sepupu dari H. Agus Salim, seorang jurnalis dan pernah menja­bat sebagai Menteri Luar Negeri di masa pemerintahan Orde Lama, dan juga dipanggil dengan sebutan Mak Tuo (Bibi) oleh penyair terke­nal Chairil Anwar, sang “binatang jalang”. Sungguh sebuah kekeraba­tan dari beberapa nama besar yang senantiasa tertoreh dalam sejarah politik dan sastra Indonesia.
 
Kiprahnya sendiri sebagai seorang pejuang hak-hak perempuan untuk mendapatkan kesetaraan pendidikan dengan laki-laki, sudah dimulai sejak ia berusia sangat muda, saat ia mengajarkan teman-teman kecilnya membaca pada usia 8 tahun. Kemampuan baca tulis itu ia peroleh tanpa melalui pendidikan formal. Sejak kecil, ia rajin belajar pada Ayahnya, seorang pegawai pemerintah Belanda yang selalu membawakan Rohana bahan bacaan dari kantornya.
 
Nama “Kudus” yang disandang­nya adalah nama belakang sang suami, Abdul Kudus, yang meni­kahinya pada saat ia berusia 24 tahun. Ketika itu ia sudah kembali ke kampung halamannya di Koto Gadang dan berniat mewujudkan cita-citanya untuk membebaskan kaum perempuan terutama dari diskriminasi perolehan kesempatan pendidikan, dengan mendirikan sebuah sekolah keterampilan khusus perempuan.
  
Sekolah itu bernama Sekolah Kerajinan Amai Setia, yang didiri­kannya pada tanggal 11 Februari 1911. Di sekolah ini ia mengajarkan banyak hal seperti, membaca, menulis, keterampilan mengelola keuangan, budi pekerti, pendidikan agama, bahasa Belanda, sampai keterampilan menjahit, menyulam, membordir, dan meren­da, yang hasil kerajinannya ini diekspor ke Eropa. Ini menjadikan sekolah Rohana berbasis industri rumah tangga yang anggotanya semua perempuan yang pertama di Minangkabau.
 
Selain mengajar dan fasih ber­bahasa Belanda, Rohana juga gemar menulis puisi dan artikel. Tak terlihat bahwa ia sebenarnya tak ber­pen­didikan tinggi. Tutur katanya men­cerminkan kecerdasan dan kebe­raniannya dalam memper­juangkan hak-hak kaum perempuan di kam­pungnya. Nama dan kiprah­nya pun menjadi pembicaraan hangat di kalangan kaum kolonial. Berita perjuangannya ditulis di surat kabar terkemuka Belanda dan disebut sebagai perintis pendidikan perem­puan pertama di Sumatera Barat.
 
Pada akhirnya Rohana pun berbagi cerita dan cita-cita tentang perjuangannya tersebut dengan menerbitkan surat kabar perempuan pertama di Indonesia pada tanggal 10 Juli 1912, yang diberi nama “Sunting Melayu”. Dinamakan surat kabar perempuan pertama karena pemimpin redaksi, redaktur dan penulisnya, semua adalah perem­puan. Surat kabar ini tidak hanya membahas masalah wanita, tetapi juga masalah politik dan kriminal yang terjadi di ranah Minang.
 
Selang beberapa waktu kemu­dian, ia pun pindah ke Bukittinggi. Di sini, ia mendirikan “Rohana School”, yang terkenal sampai ke daerah lain di luar Bukit Tinggi. Tak heran, banyak murid yang bersekolah di sini. Hal ini disebab­kan nama Rohana sudah cukup populer karena hasil karyanya yang bermutu dan eksistensinya sebagai pemimpin redaksi “Sunting Melayu” tak diragukan lagi. Ia pun ditawari menjadi pengajar di sekolah Dhar­ma Putra, yang muridnya tidak hanya perempuan. Selain karena kepopulerannya, tawaran mengajar ini juga dikarenakan kemam­puannya dalam menguasai bidang agama, bahasa Belanda, politik, sastra, dan jurnalistik serta kepia­waian­nya dalam hal kerajinan tangan.
 
Ia juga sempat merantau ke Lubuk Pakam dan Medan. Di sana ia mengajar dan memimpin surat kabar “Perempuan Bergerak”. Kembali ke Padang, ia menjadi redaktur surat kabar “Radio”, yang diterbitkan Tionghoa-Melayu di Padang dan surat kabar “Cahaya Sumatera”. Kiprahnya tak hanya di bidang pendidikan.
 
Seiring perkembangan zaman yang semakin maju, cita-cita Rohana pun tunai sudah. Para perempuan Koto Gadang masa kini adalah perempuan-perempuan berpendidikan tinggi yang sukses dalam berbagai bidang. Di balik kesuksesan itu, tetap terselip harapan agar para perempuan ini tidak melupakan perannya sebagai perempuan kodrati.
 
Pada usia hampir menginjak 88 tahun, Rohana pun beristirahat dengan tenang pada tanggal 17 Agustus 1972. Perjuangannya yang berkobar tak serta merta padam, bahkan akhirnya diakui dengan beberapa penghargaan yang ia terima setelah keberpulangannya menghadap Sang Pencipta. Tepat dua tahun setelah ia wafat, Peme­rintah Provinsi Sumatera Barat menganugerahinya penghargaan sebagai “Wartawati Pertama Indo­nesia”. Hampir 13 tahun kemudian, tepatnya tanggal 9 Februari 1987, pada Hari Pers Nasional ke-3, Menteri Penerangan Harmoko menganugerahinya penghar­gaan sebagai “Perintis Pers Indonesia”, dan pada tahun 2008 yang lalu, pemerintah Indonesia menga­nugerahkan “Bintang Jasa Utama” kepadanya. (Sumber: http://anni­sarangkuti.wordpress.com)

[Sumber : http://www.harianhaluan.com/]

Artikel Terkait :

Artikel lainnya, klik :

Tidak ada komentar:

e-Newsletter Pendididkan @ Facebook :

Belanja di Amazon.com :

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.

PANDUAN VERIFIKASI AKUN PAYPAL ANDA KE REKENING BANK ANDA [KLIK DISINI]