|
Oleh Reza A.A Wattimena
Dosen Filsafat Politik di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang belajar di München, Jerman
Ketika ditanya, apa hal yang perlu diperbaiki, supaya
Indonesia bisa menjadi bangsa yang lebih baik, kebanyakan orang akan
menjawab: pendidikan. Mereka berpikir, ketika semua orang Indonesia bisa
mendapatkan pendidikan bermutu, maka kemampuan sumber daya manusia akan
meningkat, dan ini akan bisa memperbaiki situasi Indonesia. Saya setuju
dengan pendapat ini. Pertanyaan berikutnya adalah, pendidikan macam apa
yang kita perlukan?
Pendidikan Apolitis
Jawaban yang kerap muncul adalah, pendidikan sains dan
pendidikan moral. Pendidikan sains lalu disamakan dengan pendidikan
fisika, matematika, kimia, dan biologi. Sementara, pendidikan moral
disamakan dengan pendidikan agama. Pada titik ini, saya amat tidak
setuju.
Pendidikan sains, dengan beragam cabangnya, tentu
diperlukan. Pendidikan moral dan pendidikan agama tentu juga diperlukan.
Namun, cara mengajarnya harus diubah. Dengan kata lain, paradigma
mengajarnya harus diubah, sehingga bahan yang diajarkan juga ditafsirkan
dengan cara yang sama sekali baru.
Pada hemat saya, pendidikan Indonesia sedang sakit, dan penyakit yang diderita adalah penyakit apolitis (eine apolitische Bildung). Apolitis berasal dari dua kata yang a, yang berarti anti, atau tidak/tanpa, dan politik, yang berasal dari bahasa Yunani kuno, Politikos,
yang berarti segala sesuatu yang terkait dengan warga negara.
Pendidikan yang apolitis berarti pendidikan yang tidak ada hubungannya
dengan hal-hal kewarganegaraan.
Artinya, pendidikan terputus dari keprihatinan sosial
politik. Ia hanya terfokus pada soal ketrampilan untuk bisa bekerja di
perusahaan-perusahaan. Ia hanya terfokus untuk mengabdi pasar dan agama,
dan tidak pernah mempertanyakan peran pasar dan agama tersebut.
Pendidikan seolah-olah adalah barang netral yang tak ada hubungannya
dengan pertarungan sosial politik di luar kelas. Inilah penyakit
pendidikan kita di Indonesia.
Krisis Pendidikan
Pendidikan juga hanya dilihat sebagai hubungan antar murid
dan guru, seolah masyarakat di luar tak mempengaruhi proses pendidikan
di dalam kelas. Penelitian-penelitian di dalam ilmu pendidikan pun
mengabaikan pengaruh keadaan sosial politik yang ada di luar kelas. Ia
menjadi penelitian yang netral dan basi, serta nyaris tak berguna,
karena tak bisa menangkap kenyataan yang ada dari proses politik dan
kekuasaan di luar kelas yang juga mempengaruhi dunia pendidikan.
Di sisi lain, pendidikan juga menjadikan segala bentuk tes
sebagai ukuran dan tujuannya. Singkat kata, orang belajar, supaya ia
bisa lulus tes. Titik. Pendidikan menjadi begitu sempit dan dangkal,
karena mengabaikan kekayaan sekaligus kerumitan diri manusia. Ia juga
menjadi impoten, karena mengabaikan pengaruh sosial politik yang ada.
Konsep tes pun lalu juga disempitkan semata sebagai sebuah
upaya untuk memuntahkan ulang apa yang telah dikatakan oleh guru dan
buku. Seorang anak dianggap murid yang baik, ketika ia bisa membeo apa
kata buku, atau apa kata gurunya. Tes lalu menjadi proses cuci otak.
Pendidikan semacam ini tidak akan pernah memperbaiki keadaan Indonesia,
melainkan justru memperparah kerusakan moral dan politik yang ada.
Sikap Kritis dan Kreativitas
Pendidikan yang apolitis ini juga membunuh sikap kritis.
Padahal, sikap kritis ama diperlukan, supaya orang bisa peka pada
keadaan yang salah, lalu berusaha mempertanyakan dan memperbaikinya.
Sikap kritis juga diperlukan, supaya orang bisa memilih pemimpin yang
baik, terutama menjelang pemilu 2014 nanti. Dengan kata lain, sikap
kritis adalah prasyarat dari warga negara yang baik di dalam masyarakat
demokratis, seperti Indonesia.
Seperti dijelaskan oleh Julian Nida-Rümelin dalam bukunya yang berjudul Philosophie einer humanen Bildung, pendidikan yang inhumanis (unmenschliche Bildung) juga
mengancam kreativitas berpikir. Padahal, kreativitas adalah kunci dari
kemajuan budaya dan ekonomi suatu bangsa. Pendidikan yang inhumanis,
sejauh saya mengerti, juga berarti pendidikan yang apolitis, yakni
pendidikan yang mengabaikan pengaruh sosial politik. Pendidikan yang
apolitis juga menghancurkan kreativitas itu sendiri.
Pendidikan yang apolitis adalah pendidikan yang tidak
relevan. Ia menciptakan robot-robot patuh yang tidak mampu berpikir
kritis dan kreatif. Ia juga menghasilkan robot-robot yang mampu
menghafal buku dan kata-kata guru, tetapi tidak mampu membuat terobosan
yang penting bagi perkembangan budaya, seni, dan teknologi itu sendiri.
Tak heran, di Indonesia, penemuan amat sedikit, karena kreativitas dan
sikap kritis, yang merupakan kunci dari terobosan baru, dibunuh oleh
dogma budaya, dogma agama dan sikap apolitis dari birokrasi pendidikan.
Pendidikan yang apolitis, pada akhirnya, membunuh
peradaban itu sendiri, dan hal-hal yang membentuk peradaban itu, seperti
budaya, seni, dan ekonomi. Pendidikan politis menjadi noda bagi
peradaban. Ia menciptakan ahli yang tak punya rasa kemanusiaan dan
kepedulian pada keadaan masyarakatnya. Ia menghasilkan manusia-manusia
arogan, tanpa cita rasa dan hati nurani.
Pendidikan yang “Politis”
Peter Leuprecht, di dalam tulisannya Überlegungen zum internationalen Schutz der Menschenrechte, menyebut hal ini sebagai ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang tanpa hati nurani (gewissenlose Wissenschaften und Technologie).
Ini terjadi, menurut saya, karena pendidikan sains dan teknologi
diputus dari analisis sosial politik di luar kelas, yang menghasilkan
keprihatinan pada keadaan masyarakat yang ada. Ketika ilmu pengetahuan
kehilangan hati nurani, maka ia berubah wujud menjadi senjata untuk
memanipulasi manusia dan menghancurkan alam, tempat manusia hidup.
Di dalam artikelnya yang berjudul Bildung und Herrschaft, Überlegungen zur Bildungsreform vor der Jahrhundertwende,
Gernot Koneffke menegaskan, bahwa pendidikan yang apolitis justru
menjadi tempat untuk melestarikan beragam bentuk ketidakadilan yang ada,
mulai dari diskriminasi sampai dengan kesenjangan sosial yang besar
antara yang kaya dan miskin. Pendidikan yang apolitis membuat siswa
menjadi tidak peka pada keadaan yang ada di depan matanya. Ia membuat
pendidikan menjadi steril, dan karena itu juga melestarikan, dan juga
memperbesar, masalah-masalah sosial yang ada.
Ia lebih lanjut juga menegaskan, bahwa pendidikan harus
punya peran yang kritis terhadap keadaan sosial politik masyarakat. Di
dalam kelas, anak diajak untuk berpikir dan berdiskusi terkait dengan
persoalan-persoalan politik yang ada di luar kelas. Bahkan akan sangat
baik, jika anak diajak terlibat langsung dalam satu gerakan sosial, dan
melakukan aksi bersama, entah demonstrasi atau kampanye atas satu isu
sosial yang dianggapnya penting.
Pendidikan, demikian kata Koneffke, harus menjadi kegiatan
untuk merefleksikan keadaan politik yang ada di luar kelas. Ia mengubah
siswa sungguh menjadi warga negara yang terlibat. Ia mempertanyakan
krisis dan masalah-masalah sosial yang ada, serta berusaha mengusahakan
alternatif jalan keluar yang mungkin. Dalam konteks ini, pendidikan
berperan aktif di dalam proses perubahan sosial masyarakat.
Hal yang sama juga dinyatakan oleh Jean Anyon di dalam bukunya yang berjudul Marx and Education.
Percuma kita memperbaiki metode mengajar guru di kelas dengan
model-model yang baik, ketika situasi sosial politik dan ekonomi
masyarakat di luar kelas kacau balau. Dengan kata lain, percuma kita
memotivasi guru, jika di luar kelas sedang terjadi perang dan konflik
yang mengacaukan masyarakat. Maka, kata Anyon, pendidikan harus
berbicara soal keadaan sosial politik masyarakat, karena pendidikan
tidak pernah bisa dilepaskan dari faktor-faktor sosial politik yang ada.
Bukan dipolitisir!
Pendidikan yang memiliki aspek politis bukanlah pendidikan yang dipolitisir. Yang terjadi di Indonesia adalah, pendidikan justru dijadikan proyek politik untuk melakukan korupsi, kolusi, maupun nepotisme antar pejabat negara dan perusahaan-perusahaan bisnis, mulai dari perusahaan alat tes sampai dengan penjual kertas. Pendidikan yang bersifat politis justru hendak secara kritis mempertanyakan praktek-praktek pendidikan yang dipolitisir tersebut.
Beberapa contoh mungkin bisa memperjelas. Ketika mengajar biologi, kita tidak hanya berdiskusi soal sistem pencernaan hewan, tetapi mengapa hewan-hewan tertentu punah dari muka bumi ini, dan apa peran manusia di dalam proses itu. Ketika mengajar soal gizi dan pertanian, kita tidak hanya berdiskusi soal bibit unggul, tetapi juga mengapa petani hidup miskin di Indonesia, dan apa yang bisa kita lakukan tentang masalah itu. Ketika mengajar soal ekonomi dan akuntansi, kita tidak hanya sibuk mengajarkan pembukuan terbuka atau tertutup, tetapi bagaimana perusahaan-perusahaan milik negara dan swasta di Indonesia membuat pembukuan ganda, guna menipu masyarakat luas.
Inilah esensi pendidikan politis. Ketika semua mata pelajaran dan sekolah menggunakan paradigma pendidikan politis ini, maka saya yakin, langkah untuk memperbaiki Indonesia bisa segera dimulai. Siswa menjadi warga negara yang peka dan mau terlibat di dalam pelbagai upaya untuk menyelesaikan masalah-masalah bangsa. Utopi? Saya rasa tidak.
[Sumber: http://rumahfilsafat.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar