Oleh : Ibnu Hamad
Kepala Pusat Informasi dan Humas Kemdikbud
Konvensi Ujian Nasional (UN) usai dilaksanakan
oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) dari tanggal 26
sampai dengan 27 September 2013. Konvensi diikuti sekitar 300 peserta
dari berbagai kalangan. Disamping perwakilan guru dan kepala sekolah
jenjang pendidikan dasar dan menengah negeri dan swasta, hadir juga
wakil-wakil dari lembaga swadaya masyarakat pendidikan dan masyarakat
peduli pendidikan.
Turut pula dalam konvensi ini para wakil dari
dewan pendidikan, komite sekolah, dan asosiasi yang bergerak di bidang
pendidikan. Perwakilan dinas pendidikan dan dinas agama baik di tingkat
pusat, provinsi, serta kabupaten/kota juga mengikuti konvensi ini.
Konvensi menyepakati bahwa UN tetap dilaksanakan,
sebagai pelaksanaan satu dari dari 8 (delapan) standar pendidikan
nasional, yaitu standar evaluasi. Para peserta juga sepakat bahwa
penyelenggaraan UN harus kredibel, reliabel, dan akuntabel.
Memenuhi Semua Aspirasi
Konvensi itu sendiri dilakukan guna mengakhiri
kontroversi mengenai UN. Ada kalangan yang menginginkan UN hanya untuk
pemetaan bukan untuk kelulusan. Sementara kalangan lain menghendaki UN
dapat digunakan untuk seleksi masuk ke jenjang pendidikan yang lebih
tinggi, bahkan sebagai dasar untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Kontroversi itu sepertinya tak ada ujungnya.
Padahal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 2013 yang merupakan
penyempurnaan atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan, disebutkan bahwa fungsi UN itu ada empat:
(a) untuk pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan; (b) salah
satu penentu kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan
pendidikan; (c) dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya; dan
(d) bahan pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam
upaya meningkatkan mutu pendidikan.
Dengan demikian, sesungguhnya pasal 68 PP 32/2013
tersebut telah merangkum semua aspirasi publik, baik kalangan yang
menginginkan UN sebagai alat pemetaan, untuk kelulusan, untuk seleksi
masuk ke jenjang pendidikan berikutnya, maupun sebagai dasar untuk
meningkatkan kualitas pendidikan.
Pada dasarnya keempat fungsi itu juga merupakan
satu kesatuan karena bersifat saling melengkapi. Lazimnya, yang namanya
ujian apapun namanya tentu selalu dikaitkan dengan isu kelulusan. Kalau
hanya untuk pemetaan, namanya pasti bukan ujian melainkan sensus atau
survey. Sebaliknya, data untuk menentukan kelulusan dapat digunakan
untuk pemetaan bahkan sebagai dasar seleksi masuk ke jenjang pendidikan
di atasnya. Tentu saja data untuk kelulusan juga bisa dipakai sebagai
bahan pengambilan keputusan untuk melakukan intervensi peningkatan mutu
pendidikan.
UN dan Mutu Pendidikan
Di tengah-tengah kontroversi itu ada yang
menyatakan bahwa UN tidak berhubungan dengan peningkatan mutu
pendidikan. Sudah bertahun-tahun dilaksanakan UN, tapi mutu pendidikan
kita selalu kalah dari negara-negara lain. Jadi mengapa harus ada UN?
Awam pun tahu, UN-nya sendiri pasti tidak akan
meningkatkan mutu pendidikan. UN seperti jenis evaluasi lainnya tidak
langsung meningkatkan mutu. Tapi dari UN, dan jenis evaluasi lainnya,
kita bisa melihat atau mengetahui kualitas pendidikan. Dari hasil
evaluasi, kita selanjutnya dapat menentukan tindakan apa yang mesti
dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan: apakah isi
pembelajarannya yang harus diperbaiki; prosesnya; kompetensi
lulusannya; pendidik dan tenaga kependidikannya; sarana dan
prasarananya; pengelolaannya; ataukah pembiayaannya.
Lagi pula, darimana kita tahu bahwa mutu
pendidikan kita selalu kalah dari negara-negara lain? Dari hasil UN
itulah kita dapat membandingkannya. Sebagai contoh, UN tahun 2012,
dengan komposisi soal mudah 10%, sedang 80%, dan sukar 10%, dengan nilai
rata-rata 5,5 sebagai syarat lulus, tingkat kelulusan UN kita mencapai
99,50%. Sementara, tahun 2013, dengan komposisi soal mudah 10%, sedang
70%, dan sukar 20%, dengan nilai rata-rata masih tetap 5,5 sebagai
syarat lulus, tingkat kelulusan UN kita menurun sedikit 99,48%.
Tampak di sana, ada penurunan sebesar 0,02% ketika
ditambah 10% soal yang sukar. Bagaimana jika komposisi soal dirubah,
katakanlah yang mudah 10%, sedang 40%, dan sukar 50%, dengan nilai
rata-rata tetap 5,5 sebagai syarat lulus. Bagaimana pula andaikan
komposisi soalnya 50% sedang dan 50% sukar, dengan nilai rata-rata
tetap 7 sebagai syarat lulus?
Masalahnya di sini bukan pada tingkat kelulusan
yang menurun jika soal yang sukarnya ditambah; melainkan pada kemampuan
para peserta UN mengerjakan soal-soal sukar tersebut. Sebab, berkaca
pada negara-negara yang disebut tinggi mutu pendidikannya, kemampuan
peserta didik dalam mengerjakan soal-soal yang sukar cenderung tinggi.
Sebaliknya, negara-negara yang disebut rendah mutu pendidikannya,
kecenderungan peserta didiknya hanya mempu mengerjakan soal-soal yang
mudah bahkan di bawahnya lagi (Lihat pula Gambar 1 di bawah ini).
Lantas, seperti apakah mutu peserta didik kita
berdasarkan penguasaanya pada setiap mata pelajaran. Analisis terhadap
hasil UN 2013 dalam bidang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) menunjukkan
kemampuan yang belum terlalu tinggi, seperti tampak dalam Gambar 2.
Hasil yang relatif sama juga berlaku pada analisis
terhadap hasil UN 2013 dalam bidang Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)
seperti ditunjukkan oleh Gambar 3.
Kita (tidak) dapat membayangkan, seperti apa rupa
dua gambar kompetensi di atas, seandainya komposisi soalnya bukan
formula mudah 10%, sedang 70%, dan sukar 20% seperti yang dipakai dalam
UN 2013. Bagaimana jika soalnya separuh sedang separuh mudah atau
malahan seluruhnya sukar? Karenanya, UN bukan hanya perlu untuk
pemetaan, akan tetapi lebih penting lagi sebagai dasar bagi pengambilan
kebijakan untuk perbaikan mutu pendidikan.
Dari Kelulusan ke Indeks Kompetensi
Oleh sebab itu pula, pada tahun-tahun mendatang,
isu mendasar dalam UN tidak lagi pada kelulusan akan tetapi pada indeks
kompetensi sekolah bahkan kompetensi masing-masing mata pelajaran yang
di-UN-kan. Boleh saja kelulusan UN sebuah sekolah mencapai 100%. Bahkan
boleh saja nilai rata-rata UN-nya di atas rata-rata nasional. Tetapi,
bagaimana dengan indeks kompetensi setiap mata pelajarannya?
Sebagai ilustrasi, saya gunakan hasil analisis
sembilan kompetensi mata pelajaran sosiologi pada SMAN 1 Babat, Kab.
Lamongan, pada UN 2013. Baik diketahui, dalam UN 2013 SMAN 1 Lamongan
menduduki peringkat tertinggi di tingkat nasional. Nilai akhir UN-nya
melebihi rata-rata nasional. Namun, seperti apakah penguasaan para
peserta didik terhadap kompetensi mata pelajarannya. Dalam Gambar 4
berikut, kami contohkan analisis kompetensi mata pelajaran Sosiologi di
sekolah ini.
Dengan diperolehnya data sepeti tampak dalam
Gambar 4 tersebut, disimpulkan SMAN 1 Babat Lamongan adalah salah satu
contoh SMA yang capaian kompetensi sekolahnya relatif tinggi berdasarkan
hasil UN. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah
seluruh guru mapel yang diUNkan telah bersertifikasi, dan sekolah
tersebut memiliki lab yang lengkap, seperti lab. bahasa, lab. biologi,
lab. kimia, dan lab. Komputer. Sedangkan untuk rekomendasinya adalah
pemerintah daerah dapat menggunakan sekolah ini sebagai sekolah
percontohan bagi peningkatan mutu sekolah khususnya di Provinsi Jawa
Timur.
Sebagai akibatnya jika tak ada UN kita tidak bisa
membandingkan kualitas pendidikan dengan di negara lain, baik yang
komposisi soal mudahnya lebih banyak dan syarat kelulusannya yang lebih
rendah maupun dengan negara yang komposisi soal lebih sukarnya yang
banyak dan syarat kelulusannya yang lebih tinggi dari negara kita.
Untuk ilustrasi sekolah yang peringkat UN-nya di
bawah rata-rata nasional kita ambil SMAS PGRI 28 Lubuk Pakam, Kab. Deli
Serdang. Dari sembilan kompetensi pada Mapel matematika Program IPS,
SMAS PGRI 28 Lubuk Pakam, Kab. Deli Serdang, Prov. Sumatera Utara,
kompetensinya masih dibawah capaian Nasional, bahkan Provinsi Sumatera
Utara.
Untuk SMAS PGRI 28 disimpulkan merupakan salah
satu contoh sekolah yang kompetensinya relatif rendah, yaitu pada mata
pelajaran Bahasa Indonesia IPA/IPS, Matematika IPA, Fisika, Kimia,
Biologi, Ekonomi, Sosiologi, dan Geografi. Kondisi ini terjadi antara
lain disebabkan jumlah guru tidak sebanding dengan jumlah rombongan
belajar (46), serta guru mata pelajaran yang di UN kan belum lengkap.
Kepada SMAS ini direkomendasi untuk meningkatkan
jumlah guru agar sebanding dengan rombongan belajar, serta melengkapi
jumlah guru mata pelajaran yang di UN kan, melengkapi sarana dan
prasarana laboratorium, serta mengikutsertakan guru dalam berbagai
pelatihan terkait peningkatan kompetensi Bahasa Indonesia IPA/IPS,
Matematika IPA, Fisika, Kimia, Biologi, Ekonomi, Sosiologi, dan
Geografi.
Penutup: Data sebagai Dasar Kebijakan
Sudah semestinya Badan Penelitian dan Pengembangan
(Balitbang) Kemdikbud memiliki analisis kompetensi setiap sekolah
bahkan setiap mata pelajaran. Kita semua berhak untuk mengaksesnya.
Berdasarkan data ini, setiap pihak terutama sekolah yang bersangkutan
terlebih guru-guru mata pelajaran yang di-UN-kan khususnya dapat berkaca
untuk memperbaiki diri guna meningkatkan mutu pendidikan.
Para pemangku kepentingan pendidikan dapat
menjadikan data tersebut dalam pengambilan kebijakan sesuai dengan skala
prioritas yang ditunjukkan oleh hasil analisis. Dengan berbasis pada
data lapangan, intervensi yang dilakukan niscaya lebih efektif dan
efisien. Perlu ditambahkan di sini bahwa sekolah-sekolah yang UN-nya
jujur merupakan pihak yang beruntung: karena diagnosanya tepat, maka
resepnya pun akan tepat. Sebaliknya, sekolah-sekolah yang UN-nya tidak
jujur akan mengalami kurugian karena tidak menunjukkan masalah yang
sebenarnya sehingga intervensi kebijakannya pun tidak akan tepat.
Sedangkan untuk pihak-pihak yang sementara ini
keberatan dengan UN dapat pula memanfaatkan data tersebut untuk
memonitor upaya peningkatan mutu pendidikan. Ketimbang mempermasalahkan
aspek legal –yang dianggap telah final oleh Kemdikbud—lebih baik mereka
menjadikan data hasil analisis UN sebelumnya sebagai bahan perbandingan
terhadap analisis UN berikutnya: langkah-langkah perbaikan apakah yang
telah ditempuh di antara dua UN dan bagaimanakah outcome-nya? Dengan cara seperti itu, insya Allah akan bermanfaat (^)
[Sumber : http://www.kemdikbud.go.id/]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar