GURU SEJATINYA TETAP KUNCI DALAM PROSES PEMBELAJARAN. NAMUN, SEBAGAI AGEN PERUBAHAN, GURU DITUNTUT HARUS MAMPU MELAKUKAN VALIDASI MEPERBAHARUI KEMAMPUANNYA, SESUAI DENGAN TUNTUTAN ZAMAN AGAR TIDAK TERTINGGAL

Loading...
 

Minggu, 04 November 2012

Pelajaran dari Ayam dan Monyet tentang Tawuran

Oleh : Irfan Amalee

Kaget dan sedih menyimak twit “Dalam Setahun 82 Pelajar Tewas Akibat Tawuran” (Liputan6). Betapa sedih sahabat dan keluarga dari 82 orang yang malang itu. Saya berempati pada mereka. Saya Kaget, tahu-tahu sudah 82? Kenapa kita tidak bisa mencegahnya ketika jatuh korban pertama agar tidak jadi yang kedua, hingga kita biarkan hingga angka 82? atau akan terus biarkan menjadi angka 102, 1002, dst.
Berbagai komentar berseliweran Facebook dan twitter. Ada yang menyalahkan sistem pendidikan, guru dan sekolah, atau pendidikan di rumah. Saya juga tak tahu jawabanya jika ditanya siapa yang salah (atau lebih tepatnya “apa” yang salah). Kenapa anak-anak SMA yang seharusnya duduk manis sebagai pelajar yang budiman tiba-tiba jadi garang hingga tega membunuh orang? Saya betul-betul penasaran. Mari kita tanyakan pada monyet dan ayam.

1. Cerita ayam

Beberapa bulan lalu saya ikut sebuah workshop menarik dari seorang ibu bernama Susan Tordella tentang bullying di sekolah. Menarik, karena dia bukan cuma mempresentasikan teori tapi membawa bukti nyata dua korban bully, yaitu dirinya sendiri dan seoekor ayam peliharannya (Moey, nama ayamnya, disimpen di tengah-tengah ruangan acara. Jalan-jalan kadang terbang ke peserta, dan buang kotoran). Waktu Susan SD dia langganan jadi korban bully karena dirinya berbeda secara warna kulit, tinggi badan, dan sikapnya yang pendiam. Penderitaannya di masa kecil mendorongnya untuk mengabdikan hidup mendidik anak-anak sekolah untuk tidak mengalami hal yang sama dan agar tidak ada korban seperti dirinya. Salah satu yang mengispirasinyad alah Moey, ayam kesayangannya.

Susan mengisi masa tuanya dengan memelihara sejumlah ayam di belakang rumahnya, di salah satu wilayah desa di state Massachusetts. Suatu hari dia membeli ayam baru, ya si Moey itu. Selang beberapa hari dia temukan Moey luka-luka di kepalanya. Penasaran, Susan mencari apa penyebabnya. Dengan kamera di tangannya, Susan berhari-hari melakukan pengintaian. Betapa kagetnya Susan ketika melihat nasib yang dulu di aalami waktu SD juga dialami ayam barunya.

 

 

Ternyata si Moey selalu jadi korban ayam-ayam yang sudah lama berkuasa di peternakan itu. Setiap hari si Moey berdiri di pojok peternakan, pasrah, kepalanya dipatukin oleh ayam-ayam lain. Semakin si Moey mengalah tak berdaya, semakin garang ayam-ayam lain menyerangnya. Bahkan ayam-ayam lain yang lebih kecil badannya jadi berani ikut berpartisipasi mengospek si Moey. Setiap hari si Moey main sendiri, makan sendiri, tak seorang pun (eh seayam pun) mau menemani. Susan sedih, ingat masa kecilnya.

Susan terus mengamati. Dia beli satu ayam lagi, dan dimasukkannya ke peternakan. Alangkah kagetnya melihat apa yang terjadi di kemudian hari. Si Moey yang tadinya jadi korban, kini berbalik jadi garang. Dia serang si ayam yang baru bergabung itu. Dia mengulang kejadian penyiksaan yang terjadi setiap hari, tapi kini si Moey jadi pelakunya. Susan terus merekam kejadian ini. Si Moey yang tadinya perlu dikasihani kini seperti tak punya belas kasihan. Si Moey yang lemah sudah jadi monster yang galak.

2. Cerita Monyet

Sejumlah pengamat menemukan perilaku menarik dari kawanan monyet di Taman Nasional Bandhavgarh di India. Mereka mengamati satu keluarga besar monyet yang terdiri dari monyet betina, anak-anak, remaja dan balita. Ada satu monyet jantan yang badannya lebih besar dari yang lainnya, itulah pemimpinnya sekaligus pelindung bagi kelompoknya. Sekolompok monyet yang terdiri jantan semua (gengster mungkin kalau di kalangan manusia) selalu datang mengganggu. Sang pemimpin keluarga monyet itu kadang berhasil mengusir mereka hanya dengan teriakan. Tapi gengster monyet itu selalu datang lagi, karena tujuan mereka adalah mengusir monyet ketua dan merebut kekuasannya. Sampai akhirnya gengster itu benar-benar mengalahkan monyet ketua. Salah satu anggota gengster itu kini mengambil alih kekuasaan. Setelah itu terjadilah sejumlah perilaku yang betul-mengagetkan para pengamat.

Para gengster itu membunuh semua monyet-monyet kecil anak kandung ketua yang terusir. Monyet-monyet betina diperkosa. Salah satu monyet yang hamil bergelantung di dahan dan menjatuhkan diri ke tanah dengan posisi perut menimpa bumi, sehingga bayi di kandunagnnya mati (aborsi).

Di tempat lain, monyet mantan ketua yang terusir, kini bergabung dengan kawanan monyet jantan lainnya. Tidak diceritakan lagi bagaimana pengamatan berikutnya pada monyet ketua ini, tapi saya menduga monyet terusir itu yang kini menjadi anggota gengster kawanan monyet jantan, akan melakukan persis yang dilakukan kawanan monyet jantan terhadap keluarganya. Dan lingkaran kekerasan ini akan terus bergulir. Maklum, namanya juga monyet.

Saya tidak usah menjelaskan apa hikmah di balik dua kisah itu. Sudah sangat jelas. Persis dengan apa yang saya gambarkan pada tulisan saya sebelumnya “Hati yang Sakit, Cenderung Menyakiti”.

Tapi ada satu pertanyaan membuat saya penasaran. Apa motif ayam dan monyet (juga kita) melakukan kekerasan. Apakah karena masalah makanan atau daerah kekuasaan atau hal-hal material lainnya? Ternyata bukan! Seorang peneliti Jessica Flack dari the Santa Fe Institute New Mexico menunjukkan buktinya.

Flack melakukan penelitian selama 160 hari terhadap 84 kera makakau yang hidup di Taman NasionalYerkes National, Georgia. Tujuanya mengetahui apa yang mendorong kera-kera itu selalu berkelahi. Inilah hasilnya:
  • Kera-kera ini selalu beraksi terhadap perubahan struktur kelompok
  • Keputusan tawuran biasanya karena melihat saingannya mulai mendapatkan pengaruh dan dominasi.
  • Bisa juga karena berusaha membela kera lain yang dia harapkan nantinya akan menjadi sekutunya.
  • Studi ini juga menunjukkan bahwa konflik antar kera ini dipengaruhi atau berhubungan dengan konflik-konflik sebelumnya.
Berdasarkan temuan ini, Flack meyakini bahwa konflik antarmonyet ini bukan semata-mata karena alasan makanan atau masalah-masalah yang jangka pendek yg tiba-tiba terjadi, tapi lebih pada masalah status dan dinamika kelompok yang lebih jangka panjang.

Flack memberikan jawaban bagi pertanyaan saya. Apa alasan utama remaja-remaja tawuran? Apakah karena perebutan uang? sepakbola? pacar? Bukan. Alasannya adalah, mereka mencari yang mereka tidak dapatkan di rumah dan di sekolah yaitu “penghargaan, pengakuan, status” DIGNITY.

Saya teringat pada kuliahnya Donna Hicks, Ph.D. semester lalu. Hicks yang puluhan tahun dia terlibat proses resolusi konflik di berbagai belahan dunia (salah satunya bersama Desmon Tutu, sang peraih nobel perdamaian). Dari konflik agama di Nigeria hingga India, pembantaian etnis di Rwanda hingga Jerman, Hicks menemukan satu kata kunci paling penting: DIGNITY.

Dalam Dignity: The Esential Role It Plays in Resolving Conflict, Donna Hicks menjelaskan betapa pentingnya harga diri dalam memicu konflik dan menyelesaikannya. Meskipun pada mulanya sebuah konflik bisa bermula dari masalah harta atau tanah, tapi pada akhirnya orang tiba pada titik bahwa mereka tengah memperjuangkan satu-satunya “harta miliknya” yaitu HARGA DIRI. Mengapa ada yagn membuat film mahal-mahal untuk menghina nabi? Karena dia sempat dilukai harga dirinya, sehingga ia ingin menghancurkan harga diri nabi, dan memicu orang kemarahan orang muslim yagn merasa diusik harga dirinya. Perang suku dari zaman purba hingga kini, temanya sellau sama: mempertahankan kehormatan.

Jika seorang siswa tidak menemukan penghargaan atas dirinya secara cukup di kelas dan di rumah, maka mereka mencarinya dalam perkelahian, karena mereka akan dihargai sebagai pahlawan atau jagoan. Jika seorang karyawan tidak menerima penghargaan yang layak di tempat kerjanya, pasti dia akan mencari tempat lain untuk mendapatkannya. Setiap orang pasti berusaha keras menemukannya. Dan jika ini diusik atau dirampas, mereka siap melakukan apa saja untuk merebutnya.

Dulu ada teman saya yang dicap nakal, guru tak menghargainya, dia malah jadi pemimpin kelompok anak-anak yang sama-sama dicap nakal, karena di sana dia dihargai. Lalu kami teman-teman sekelasnya memilih di jadi ketua kelas. Kami menyayangi dan menghoramtinya sebagai ketua kelas. Setelah merasa dihargai, seratus persen dia berubah. Ketua remaja masjid di lingkungan saya dulunya juga anggota gengster yang tiap hari bikin rusah dan mabuk-mabukan. Dirinya seratus persen berubah setelah menyadari bahwa orang mengakui harga dirinya. Setelah dia menemukan dignity di masjid , dia tak pernah mencarinya lagi di jalan.

Saya samasekali tidak menyamakan manusia dengan monyet atau percaya teori Darwin. Bukan. Tapi saya yakin Allah menciptakan binatang-binatang membawa pelajaran buat kita. Monyet dan Ayam (juga manusia) ternyata selalu tergoda pada perkelahian untuk mencari atau mempertahankan “harga diri”. Tapi berhubung monyet dan ayam tidak tidak belajar pendidikan moral pancasila atau resolusi konflik, wajar saja kalau mereka tak tahu betapa pentingnya EMPATI: merasakan dan menghargai orang lain seperti menghargai diri sendiri. Semoga di sekolah dan di rumah kita tersedia cukup penghargaan bagi anak-anak. Sehingga mereka tak usah mencarinya di jalanan atau perkelahian.

Boston, Sept 26th 2012
[ Sumber : www.kompasiana.com/irfanamalee ] 
-->

1 komentar:

Jalius.HR mengatakan...

--------------------------
اَلسَّلاَ مُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَ كَاتُهُ
--------------------------------

Tulisan di atas cukup bagus juga untuk sebuah referensi bagi pengamat pendidikan. Memang selama tahun 2012 ini sangat banyak tema berita sekitar tawuran. Tidak terhingga pula macam dan jenis komentar para ahli dari berbagai disiplin ilmunya. Semua komentar yang telah pernah saya baca selalu menganggap tawuran itu tidak baik.
Kali ini mungkin komentar saya ini sedikit agak sumbang, namun perlu juga jadi perhatian bagi yang berperan sebagai " Pengamat ".
Ada banyak macam tawuran, di antaranya adalah tawuran antar pelajar sekolah, tawuran antar penduduk desa, tawuran antara penguasa dengan oposisi, bahkan sering terjadi tauran antar negara.
Apapun jenis tauran itu dimana sja tempat kejadiannya ada satu hal yang mendorongnya, apa yang disebut dengan " solidaritas ".
Sebatas manusia normal akan selalu membantu temannya jika ada yang mengganggu, sebagai bukti adanya solidaritas.
Solidaritas yang kuat biasanya didasari oleh loyalitas yang kuat pula. Tidak ada orang yang tega jika kawannya diganggu orang lain, pastilah dengan kemampuan maksimal mereka akan saling membantu.
Persoalan solidaritas dan loyalitas adalah sebuah sikap yang normal di setiap kelompok sosial.
Biasanya, suatu tawuran akan meledak jika sebuah permasalahan telah mengalami jalan buntu. Belum jelas mana yang salah, yang penting adalah saling membantu kawan dalam tawuran.
Jika ditinjau secara sosiologis, apakah solidaritas dalam sebuah kelompok juga suatu hal yang tidak baik ? atau memang itu adalah perilaku binatang ? Terkhir sesungguhnya di mana titik permasalahannya yang harus diselesaikan ?

Silahkan pembaca untuk menjawabnya.

e-Newsletter Pendididkan @ Facebook :

Belanja di Amazon.com :

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.

PANDUAN VERIFIKASI AKUN PAYPAL ANDA KE REKENING BANK ANDA [KLIK DISINI]