GURU SEJATINYA TETAP KUNCI DALAM PROSES PEMBELAJARAN. NAMUN, SEBAGAI AGEN PERUBAHAN, GURU DITUNTUT HARUS MAMPU MELAKUKAN VALIDASI MEPERBAHARUI KEMAMPUANNYA, SESUAI DENGAN TUNTUTAN ZAMAN AGAR TIDAK TERTINGGAL

Loading...
 

Minggu, 30 September 2012

Tawuran Siswa, Siapa Salah?

Oleh : KASRA SCORPI
(Wartawan Harian Haluan)

 

Homo homini socius yang berarti bahwa manusia teman bagi manusia lain dan homo homini lupus bahwa manusia srigala bagi manusia lainnya merupakan adagium kuno  yang tidak terbantahkan.

Keduanya berlaku sepan­jang massa, bahkan sejak awal-awal manusia hal itu telah terjadi. Bukankan Nabi Adam sendiri tidak ingin hidup sendiri. Dia butuh teman Siti Hawa. Tetapi pada zamannya juga perkelahian antarsesama manusia terjadi, anaknya sendiri Habil dan Qabil berseteru hanya untuk mendapatkan pasangan hidup.

Seluruh bangsa-bangsa di dunia termasuk  bangsa kita ini juga pernah menjalin pertemanan seerat-eratnya sehingga terbentuk apa yang disebut dengan nasionalisme atau persatuan bangsa dengan tujuan untuk mengusir penja­jahan. Tetapi juga tidak dapat dipungkiri bahwa persatuan itu juga pernah pecah, kita juga pernah tawuran dengan anak bangsa sendiri.

Begitupun setiap pemben­tukan rumah tangga maupun lembaga sosial lainnya selalu berawal dari prinsip homo homini socius, menjalin perte­manan, kesatuan dengan mengedepankan kesamaan. Tetapi pada bagian waktu berikutnya institusi tersebut sering tidak terlepas dari tawuran yang berujung kepada perceraian dan perpecahan.

Memang yang selalu dicita-citakan adalah kondisi perte­manan. Silaturahmi, saling bahu membahu, tolong meno­long dan bersatu antarsesama manusia. Sementara homo homini lupus. Tawuran dengan sesama harus di minimalisir.

Untuk mewujudkan hal itu dalam konteks sosiologi, manusia dengan manusia lain harus melakukan kontak sosial, baik dalam bentuk kontak pisik, kontak lisan, kontak tulisan sampai ke kontak bathin sekalipun. Kontak-kontak itu dilakukan dengan prinsip saling harga menghargai, butuh membu­tuhkan, kesamaan hak,dengan keramahan dan keadilan.

Sebagai contoh kontak fisik dalam kehidupan sehari-hari kita saling bersalaman saat bertemu, saling menepuk bahu sembari memberikan apresiasi dan sebagainya, yang kemudian dapat dilanjutkan dengan kontak lisan maupun tulisan.

Untuk mensosialisasikan dan membangun kondisi sosial budaya dengan substansi homo himini socius itu, terutama dilakukan melalui pendidikan, baik pendidikan di rumah tangga, sekolah maupun di masyarakat dengan metode paling ampuh yakni pemberian contoh atau teladan.

Namun yang mengecewa­kan kita saat ini  adalah, kondisi “homo homini lupus”, saling tawuran antar sesama telah menjalar ke kalangan generasi muda yang sedang digembleng dalam instusi pendidikan yakni sekolah.

Hari demi hari kita sema­kin dihebohkan oleh tawuran pelajar, bahka  tawurannya sampai menelan korban jiwa seperti yang terjadi antara dua buah sekolah di Jakarta Senin(24/9) lalu. Ini salah siapa? Dan bagaimana kontak sosial dalam proses pendidi­kan yang dilakukan di sekolah.

Dalam pendidikan memba­ngun kehidupan sosial yang harmonis disatu sisi kita merasa optimis karena anak-anak sekolah diajar mela­kukan kontak pisik dengan orang tua dan para guru, hal itu terlihat ketika anak seko­lah dasar (SD) akan berang­kat sekolah mereka bersa­laman dulu dengan orang tuanya, sesampai di sekolah juga bersalaman dengan guru bahkan salamannya sampai cium tangan segala.

Tetapi kita jarang melihat anak sekolah yang saling bersalaman sesamanya de­ngan keramahan wajah. Kita kian jarang melihat sesama anak sekolah “bersilaturahmi” fisik dan wajah serta sila­turahmi pembicaraan dalam sebuah kegiatan, katakanlah dalam kegiatan main bola, main kasti, main kejar-kejaran yang sifatnya behubungan antar sesama, karena sekolah kekurangan ruang tempat bermain.

Anak sekolah masuk seko­lah bagaikan memasuki sebu­ah tangsi, bukan bagaikan memasuki sebuah bioskop dengan harapan akan menon­ton sebuah film menarik.

Sejak awal masuk kelas mereka mendapatkan suasana menegangkan dan seabrek aturan yang sifatnya pela­rangan, lalu mendengar cera­mah dari guru yang itu ke itu juga selama bertahun-tahun tetapi mereka miskin dengan kegiatan yang sifatnya praktik yang menggerakkan tenaga pisik dan dilakukan secara bersama-sama.

Padahal bagi anak-anak kegiatan yang menggerakkan tenaga pisik secara bersama itu sangat dibutuhkan, kalau tidak peracaya tanyailah anak-anak  dengan perta­nyaan, “Apakah pelajaran yang kamu sukai?” Mayoritas akan menjawab pelajaran olahraga, kesenian dan pela­jaran lain yang sifatnya dila­kukan secara bersama dan menggerakkan pisik.

Sementara dalam pembe­lajaran yang katanya modern, anak-anak lebih domotivasi dan dipasilitasi dengan benda-benda canggih yang membuat mereka tidak perlu lagi berhu­bungan dengan sesama dan tidak perlu menggerakkan tenaga pisik, anak-anak disu­ruh menyelesaikan tugas melalui kompoter dengan layanan internet dalam ka­mar, tidak perlu begerombol untuk belajar bersama.

Hal lain yang membuat tawuran antar pelajar adalah suasana ketidakadilan yang mereka saksikan sendiri di masyarakat dan pada ins­titusi tempat mereka dididik, sekalian dengan itu anak-anak sekolah semakin langka men­da­patkan contoh-contoh atau teladan dari orang yang seha­rusnya diteladani.

Betapa tidak, dimana-mana dan siapa saja telah terlibat tawuran, bahkan anggota parlemen sendiri yang merupakan orang pilihan juga terlibat tawuran. Hal itu ditayangkan oleh berbagai media, sehingga kejadiannya mudah diakses.

Sementara ketidakadilan sosial dan kebobrokan mental juga merupakan kejadian yang menjadi komsumsi anak-anak setiap hari. Kasus korupsi yang melibatkan orang-orang pen­ting merupakan salah satu bentuk keteladanan paling bobrok, tetapi harus dikon­sumsi kalangan muda.

Di dunia pendidikan itu sendiri, disadari atau tidak juga telah terbentuk keti­dakadilan sosial dan peng­kotak-kotakan,misalnya de­ngan membentuk keriteria sekolah unggul dan sekolah tidak unggul.

Dalam praktiknya dalam sebuah sekokah ada yang membuat kelas unggul, seba­gai contoh anak-anak pintar dikelompokkan dalam kelas Ia, yang kurang pintar pada kelas Ib dan seterusnya.

Ini mengesankan bahwa anak-anak pintar  tidak boleh berteman dan sama-sama belajar dengan anak-anak tidak pintar, yang pada gili­rannya membangun kecurigaan antar sesamanya.  Bahkan tanpa disadari juga telah ada sekolah untuk orang kaya dan untuk orang miskin

Bahkan ketika penerimaan siswa baru telah terjadi diskriminasi ganas, yang menyingkir seorang anak untuk belajar di lingkungan tempat tinggalnya sendiri.

Seabagai contoh, seorang siswa yang tinggal dekat sebuah sekolah bahkan seko­lah itu didirikan pada tanah sumbangan orang tuanya tidak dapat sekolah di situ karena nilainya rendah, tidak sesuai dengan kriteria pene­rimaan siswa baru, sehingga dia harus sekolah ke tempat yang jauh dengan ongkos yang mahal.

Satu lagi, sejak munculnya ujian nasional yang nota bene untuk mengejar prestise bagi kalangan tertentu, juga terjadi ketidakadilan bakat, sebagai misal  anak-anak yang berba­kat olahraga, kesenian dan pelajaran agama merasa tidak adil  karena mata pelajaran  bakat mereka tidak di-UN-kan, sehingga beta­papun tingginya nilai mereka dalam pelajaran tersebut tidak bakal lulus juga kalau nilai mata pelajaran UN jeblok.

Padahal pelajaran olah­raga, kesenian, maupun aga­ma merupakan mata pela­jaran yang sangat berperan membangun kebersamaan antar siswa.

Lagian, peserta UN akhir-ahir cendrung (di)lulus(kan) semua demi mendapatkan prestise bagi petinggi pendi­dikan. Oleh karena itu siswa­pun merasa tak perlu belajar serius karena akan lulus juga,  mendingan cabut, gerombol-gerombol sana sini yang akhirnya ikut tawuran. [Sumber:http://www.harianhaluan.com] -->

Tidak ada komentar:

e-Newsletter Pendididkan @ Facebook :

Belanja di Amazon.com :

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.

PANDUAN VERIFIKASI AKUN PAYPAL ANDA KE REKENING BANK ANDA [KLIK DISINI]