Oleh : KASRA SCORPI
(Wartawan Harian Haluan)
Homo homini socius yang berarti bahwa manusia teman bagi manusia lain dan homo homini lupus bahwa manusia srigala bagi manusia lainnya merupakan adagium kuno yang tidak terbantahkan.
Keduanya berlaku sepanjang massa, bahkan sejak awal-awal manusia hal itu telah terjadi. Bukankan Nabi Adam sendiri tidak ingin hidup sendiri. Dia butuh teman Siti Hawa. Tetapi pada zamannya juga perkelahian antarsesama manusia terjadi, anaknya sendiri Habil dan Qabil berseteru hanya untuk mendapatkan pasangan hidup.
Seluruh bangsa-bangsa di dunia termasuk bangsa kita ini juga pernah menjalin pertemanan seerat-eratnya sehingga terbentuk apa yang disebut dengan nasionalisme atau persatuan bangsa dengan tujuan untuk mengusir penjajahan. Tetapi juga tidak dapat dipungkiri bahwa persatuan itu juga pernah pecah, kita juga pernah tawuran dengan anak bangsa sendiri.
Begitupun setiap pembentukan rumah tangga maupun lembaga sosial lainnya selalu berawal dari prinsip homo homini socius, menjalin pertemanan, kesatuan dengan mengedepankan kesamaan. Tetapi pada bagian waktu berikutnya institusi tersebut sering tidak terlepas dari tawuran yang berujung kepada perceraian dan perpecahan.
Memang yang selalu dicita-citakan adalah kondisi pertemanan. Silaturahmi, saling bahu membahu, tolong menolong dan bersatu antarsesama manusia. Sementara homo homini lupus. Tawuran dengan sesama harus di minimalisir.
Untuk mewujudkan hal itu dalam konteks sosiologi, manusia dengan manusia lain harus melakukan kontak sosial, baik dalam bentuk kontak pisik, kontak lisan, kontak tulisan sampai ke kontak bathin sekalipun. Kontak-kontak itu dilakukan dengan prinsip saling harga menghargai, butuh membutuhkan, kesamaan hak,dengan keramahan dan keadilan.
Sebagai contoh kontak fisik dalam kehidupan sehari-hari kita saling bersalaman saat bertemu, saling menepuk bahu sembari memberikan apresiasi dan sebagainya, yang kemudian dapat dilanjutkan dengan kontak lisan maupun tulisan.
Untuk mensosialisasikan dan membangun kondisi sosial budaya dengan substansi homo himini socius itu, terutama dilakukan melalui pendidikan, baik pendidikan di rumah tangga, sekolah maupun di masyarakat dengan metode paling ampuh yakni pemberian contoh atau teladan.
Namun yang mengecewakan kita saat ini adalah, kondisi “homo homini lupus”, saling tawuran antar sesama telah menjalar ke kalangan generasi muda yang sedang digembleng dalam instusi pendidikan yakni sekolah.
Hari demi hari kita semakin dihebohkan oleh tawuran pelajar, bahka tawurannya sampai menelan korban jiwa seperti yang terjadi antara dua buah sekolah di Jakarta Senin(24/9) lalu. Ini salah siapa? Dan bagaimana kontak sosial dalam proses pendidikan yang dilakukan di sekolah.
Dalam pendidikan membangun kehidupan sosial yang harmonis disatu sisi kita merasa optimis karena anak-anak sekolah diajar melakukan kontak pisik dengan orang tua dan para guru, hal itu terlihat ketika anak sekolah dasar (SD) akan berangkat sekolah mereka bersalaman dulu dengan orang tuanya, sesampai di sekolah juga bersalaman dengan guru bahkan salamannya sampai cium tangan segala.
Tetapi kita jarang melihat anak sekolah yang saling bersalaman sesamanya dengan keramahan wajah. Kita kian jarang melihat sesama anak sekolah “bersilaturahmi” fisik dan wajah serta silaturahmi pembicaraan dalam sebuah kegiatan, katakanlah dalam kegiatan main bola, main kasti, main kejar-kejaran yang sifatnya behubungan antar sesama, karena sekolah kekurangan ruang tempat bermain.
Anak sekolah masuk sekolah bagaikan memasuki sebuah tangsi, bukan bagaikan memasuki sebuah bioskop dengan harapan akan menonton sebuah film menarik.
Sejak awal masuk kelas mereka mendapatkan suasana menegangkan dan seabrek aturan yang sifatnya pelarangan, lalu mendengar ceramah dari guru yang itu ke itu juga selama bertahun-tahun tetapi mereka miskin dengan kegiatan yang sifatnya praktik yang menggerakkan tenaga pisik dan dilakukan secara bersama-sama.
Padahal bagi anak-anak kegiatan yang menggerakkan tenaga pisik secara bersama itu sangat dibutuhkan, kalau tidak peracaya tanyailah anak-anak dengan pertanyaan, “Apakah pelajaran yang kamu sukai?” Mayoritas akan menjawab pelajaran olahraga, kesenian dan pelajaran lain yang sifatnya dilakukan secara bersama dan menggerakkan pisik.
Sementara dalam pembelajaran yang katanya modern, anak-anak lebih domotivasi dan dipasilitasi dengan benda-benda canggih yang membuat mereka tidak perlu lagi berhubungan dengan sesama dan tidak perlu menggerakkan tenaga pisik, anak-anak disuruh menyelesaikan tugas melalui kompoter dengan layanan internet dalam kamar, tidak perlu begerombol untuk belajar bersama.
Hal lain yang membuat tawuran antar pelajar adalah suasana ketidakadilan yang mereka saksikan sendiri di masyarakat dan pada institusi tempat mereka dididik, sekalian dengan itu anak-anak sekolah semakin langka mendapatkan contoh-contoh atau teladan dari orang yang seharusnya diteladani.
Betapa tidak, dimana-mana dan siapa saja telah terlibat tawuran, bahkan anggota parlemen sendiri yang merupakan orang pilihan juga terlibat tawuran. Hal itu ditayangkan oleh berbagai media, sehingga kejadiannya mudah diakses.
Sementara ketidakadilan sosial dan kebobrokan mental juga merupakan kejadian yang menjadi komsumsi anak-anak setiap hari. Kasus korupsi yang melibatkan orang-orang penting merupakan salah satu bentuk keteladanan paling bobrok, tetapi harus dikonsumsi kalangan muda.
Di dunia pendidikan itu sendiri, disadari atau tidak juga telah terbentuk ketidakadilan sosial dan pengkotak-kotakan,misalnya dengan membentuk keriteria sekolah unggul dan sekolah tidak unggul.
Dalam praktiknya dalam sebuah sekokah ada yang membuat kelas unggul, sebagai contoh anak-anak pintar dikelompokkan dalam kelas Ia, yang kurang pintar pada kelas Ib dan seterusnya.
Ini mengesankan bahwa anak-anak pintar tidak boleh berteman dan sama-sama belajar dengan anak-anak tidak pintar, yang pada gilirannya membangun kecurigaan antar sesamanya. Bahkan tanpa disadari juga telah ada sekolah untuk orang kaya dan untuk orang miskin
Bahkan ketika penerimaan siswa baru telah terjadi diskriminasi ganas, yang menyingkir seorang anak untuk belajar di lingkungan tempat tinggalnya sendiri.
Seabagai contoh, seorang siswa yang tinggal dekat sebuah sekolah bahkan sekolah itu didirikan pada tanah sumbangan orang tuanya tidak dapat sekolah di situ karena nilainya rendah, tidak sesuai dengan kriteria penerimaan siswa baru, sehingga dia harus sekolah ke tempat yang jauh dengan ongkos yang mahal.
Satu lagi, sejak munculnya ujian nasional yang nota bene untuk mengejar prestise bagi kalangan tertentu, juga terjadi ketidakadilan bakat, sebagai misal anak-anak yang berbakat olahraga, kesenian dan pelajaran agama merasa tidak adil karena mata pelajaran bakat mereka tidak di-UN-kan, sehingga betapapun tingginya nilai mereka dalam pelajaran tersebut tidak bakal lulus juga kalau nilai mata pelajaran UN jeblok.
Padahal pelajaran olahraga, kesenian, maupun agama merupakan mata pelajaran yang sangat berperan membangun kebersamaan antar siswa.
Lagian, peserta UN akhir-ahir cendrung (di)lulus(kan) semua demi mendapatkan prestise bagi petinggi pendidikan. Oleh karena itu siswapun merasa tak perlu belajar serius karena akan lulus juga, mendingan cabut, gerombol-gerombol sana sini yang akhirnya ikut tawuran. [Sumber:http://www.harianhaluan.com] -->
(Wartawan Harian Haluan)
|
Keduanya berlaku sepanjang massa, bahkan sejak awal-awal manusia hal itu telah terjadi. Bukankan Nabi Adam sendiri tidak ingin hidup sendiri. Dia butuh teman Siti Hawa. Tetapi pada zamannya juga perkelahian antarsesama manusia terjadi, anaknya sendiri Habil dan Qabil berseteru hanya untuk mendapatkan pasangan hidup.
Seluruh bangsa-bangsa di dunia termasuk bangsa kita ini juga pernah menjalin pertemanan seerat-eratnya sehingga terbentuk apa yang disebut dengan nasionalisme atau persatuan bangsa dengan tujuan untuk mengusir penjajahan. Tetapi juga tidak dapat dipungkiri bahwa persatuan itu juga pernah pecah, kita juga pernah tawuran dengan anak bangsa sendiri.
Begitupun setiap pembentukan rumah tangga maupun lembaga sosial lainnya selalu berawal dari prinsip homo homini socius, menjalin pertemanan, kesatuan dengan mengedepankan kesamaan. Tetapi pada bagian waktu berikutnya institusi tersebut sering tidak terlepas dari tawuran yang berujung kepada perceraian dan perpecahan.
Memang yang selalu dicita-citakan adalah kondisi pertemanan. Silaturahmi, saling bahu membahu, tolong menolong dan bersatu antarsesama manusia. Sementara homo homini lupus. Tawuran dengan sesama harus di minimalisir.
Untuk mewujudkan hal itu dalam konteks sosiologi, manusia dengan manusia lain harus melakukan kontak sosial, baik dalam bentuk kontak pisik, kontak lisan, kontak tulisan sampai ke kontak bathin sekalipun. Kontak-kontak itu dilakukan dengan prinsip saling harga menghargai, butuh membutuhkan, kesamaan hak,dengan keramahan dan keadilan.
Sebagai contoh kontak fisik dalam kehidupan sehari-hari kita saling bersalaman saat bertemu, saling menepuk bahu sembari memberikan apresiasi dan sebagainya, yang kemudian dapat dilanjutkan dengan kontak lisan maupun tulisan.
Untuk mensosialisasikan dan membangun kondisi sosial budaya dengan substansi homo himini socius itu, terutama dilakukan melalui pendidikan, baik pendidikan di rumah tangga, sekolah maupun di masyarakat dengan metode paling ampuh yakni pemberian contoh atau teladan.
Namun yang mengecewakan kita saat ini adalah, kondisi “homo homini lupus”, saling tawuran antar sesama telah menjalar ke kalangan generasi muda yang sedang digembleng dalam instusi pendidikan yakni sekolah.
Hari demi hari kita semakin dihebohkan oleh tawuran pelajar, bahka tawurannya sampai menelan korban jiwa seperti yang terjadi antara dua buah sekolah di Jakarta Senin(24/9) lalu. Ini salah siapa? Dan bagaimana kontak sosial dalam proses pendidikan yang dilakukan di sekolah.
Dalam pendidikan membangun kehidupan sosial yang harmonis disatu sisi kita merasa optimis karena anak-anak sekolah diajar melakukan kontak pisik dengan orang tua dan para guru, hal itu terlihat ketika anak sekolah dasar (SD) akan berangkat sekolah mereka bersalaman dulu dengan orang tuanya, sesampai di sekolah juga bersalaman dengan guru bahkan salamannya sampai cium tangan segala.
Tetapi kita jarang melihat anak sekolah yang saling bersalaman sesamanya dengan keramahan wajah. Kita kian jarang melihat sesama anak sekolah “bersilaturahmi” fisik dan wajah serta silaturahmi pembicaraan dalam sebuah kegiatan, katakanlah dalam kegiatan main bola, main kasti, main kejar-kejaran yang sifatnya behubungan antar sesama, karena sekolah kekurangan ruang tempat bermain.
Anak sekolah masuk sekolah bagaikan memasuki sebuah tangsi, bukan bagaikan memasuki sebuah bioskop dengan harapan akan menonton sebuah film menarik.
Sejak awal masuk kelas mereka mendapatkan suasana menegangkan dan seabrek aturan yang sifatnya pelarangan, lalu mendengar ceramah dari guru yang itu ke itu juga selama bertahun-tahun tetapi mereka miskin dengan kegiatan yang sifatnya praktik yang menggerakkan tenaga pisik dan dilakukan secara bersama-sama.
Padahal bagi anak-anak kegiatan yang menggerakkan tenaga pisik secara bersama itu sangat dibutuhkan, kalau tidak peracaya tanyailah anak-anak dengan pertanyaan, “Apakah pelajaran yang kamu sukai?” Mayoritas akan menjawab pelajaran olahraga, kesenian dan pelajaran lain yang sifatnya dilakukan secara bersama dan menggerakkan pisik.
Sementara dalam pembelajaran yang katanya modern, anak-anak lebih domotivasi dan dipasilitasi dengan benda-benda canggih yang membuat mereka tidak perlu lagi berhubungan dengan sesama dan tidak perlu menggerakkan tenaga pisik, anak-anak disuruh menyelesaikan tugas melalui kompoter dengan layanan internet dalam kamar, tidak perlu begerombol untuk belajar bersama.
Hal lain yang membuat tawuran antar pelajar adalah suasana ketidakadilan yang mereka saksikan sendiri di masyarakat dan pada institusi tempat mereka dididik, sekalian dengan itu anak-anak sekolah semakin langka mendapatkan contoh-contoh atau teladan dari orang yang seharusnya diteladani.
Betapa tidak, dimana-mana dan siapa saja telah terlibat tawuran, bahkan anggota parlemen sendiri yang merupakan orang pilihan juga terlibat tawuran. Hal itu ditayangkan oleh berbagai media, sehingga kejadiannya mudah diakses.
Sementara ketidakadilan sosial dan kebobrokan mental juga merupakan kejadian yang menjadi komsumsi anak-anak setiap hari. Kasus korupsi yang melibatkan orang-orang penting merupakan salah satu bentuk keteladanan paling bobrok, tetapi harus dikonsumsi kalangan muda.
Di dunia pendidikan itu sendiri, disadari atau tidak juga telah terbentuk ketidakadilan sosial dan pengkotak-kotakan,misalnya dengan membentuk keriteria sekolah unggul dan sekolah tidak unggul.
Dalam praktiknya dalam sebuah sekokah ada yang membuat kelas unggul, sebagai contoh anak-anak pintar dikelompokkan dalam kelas Ia, yang kurang pintar pada kelas Ib dan seterusnya.
Ini mengesankan bahwa anak-anak pintar tidak boleh berteman dan sama-sama belajar dengan anak-anak tidak pintar, yang pada gilirannya membangun kecurigaan antar sesamanya. Bahkan tanpa disadari juga telah ada sekolah untuk orang kaya dan untuk orang miskin
Bahkan ketika penerimaan siswa baru telah terjadi diskriminasi ganas, yang menyingkir seorang anak untuk belajar di lingkungan tempat tinggalnya sendiri.
Seabagai contoh, seorang siswa yang tinggal dekat sebuah sekolah bahkan sekolah itu didirikan pada tanah sumbangan orang tuanya tidak dapat sekolah di situ karena nilainya rendah, tidak sesuai dengan kriteria penerimaan siswa baru, sehingga dia harus sekolah ke tempat yang jauh dengan ongkos yang mahal.
Satu lagi, sejak munculnya ujian nasional yang nota bene untuk mengejar prestise bagi kalangan tertentu, juga terjadi ketidakadilan bakat, sebagai misal anak-anak yang berbakat olahraga, kesenian dan pelajaran agama merasa tidak adil karena mata pelajaran bakat mereka tidak di-UN-kan, sehingga betapapun tingginya nilai mereka dalam pelajaran tersebut tidak bakal lulus juga kalau nilai mata pelajaran UN jeblok.
Padahal pelajaran olahraga, kesenian, maupun agama merupakan mata pelajaran yang sangat berperan membangun kebersamaan antar siswa.
Lagian, peserta UN akhir-ahir cendrung (di)lulus(kan) semua demi mendapatkan prestise bagi petinggi pendidikan. Oleh karena itu siswapun merasa tak perlu belajar serius karena akan lulus juga, mendingan cabut, gerombol-gerombol sana sini yang akhirnya ikut tawuran. [Sumber:http://www.harianhaluan.com] -->
Tidak ada komentar:
Posting Komentar