Oleh : Anita Lie
Guru Besar Unika Widya Mandala, Surabaya
Anggota Komunitas Indonesia untuk Demokrasi
Hal yang membedakan negara yang dianggap sudah berhasil dalam pembangunan
pendidikan dengan negara yang belum maju adalah angka partisipasi tinggi,
pemerataan, mutu, dan efisiensi. Di Indonesia, peningkatan angka partisipasi
kasar dan murni dianggap sebagai keberhasilan strategi pembangunan pendidikan.
Pencapaian tiga target selanjutnya membutuhkan koherensi sistem dan kebijakan, kesungguhan dan kejujuran dalam pelaksanaan strategi pendidikan, serta kerja keras pemerintah dan masyarakat.
Peningkatan mutu pendidikan bisa dilakukan melalui reformasi kurikulum sebagai suatu perangkat apa yang kita impikan untuk anak-anak Indonesia, apa yang harus kita ajarkan, dan akhirnya apa yang akan diserap oleh anak-anak. Evaluasi kurikulum memang mutlak dilaksanakan secara berkala untuk menilai relevansi kurikulum dengan anak-anak dalam konteks tempat dan waktu yang terus berubah secara drastis. Reformasi kurikulum untuk menjadikan anak-anak kita cerdas, bermoral, kreatif, komunikatif, dan toleran membutuhkan lebih dari sekadar penambahan jam belajar dan pengurangan mata pelajaran seperti yang diberitakan (Kompas, 3-4 September 2012).
Evaluasi kurikulum perlu mengkaji kesinambungan falsafah dan visi pendidikan dengan praktik-praktik pendidikan sebagai pengejawantahan dari kebijakan dan menilai keluaran dan capaian. Ada beberapa model evaluasi kurikulum yang bisa jadi acuan. Model mana pun yang diacu, hasil dari evaluasi kurikulum seyogianya bisa jadi masukan untuk penyusunan, revisi, atau pengembangan selanjutnya.
Rencana mengurangi mata pelajaran tampaknya mendapat banyak dukungan publik karena memang jumlah mata pelajaran dalam kurikulum SD-SMA terlalu banyak dan mubazir. Keinginan ini juga sejalan dengan kebutuhan anak muda untuk memperoleh keterampilan abad ke-21, di antaranya kecakapan hidup dan karier, literasi media dan keterampilan teknologi informasi (www.21stcenturyskills.org).
Guru Besar Unika Widya Mandala, Surabaya
Anggota Komunitas Indonesia untuk Demokrasi
|
|
Pencapaian tiga target selanjutnya membutuhkan koherensi sistem dan kebijakan, kesungguhan dan kejujuran dalam pelaksanaan strategi pendidikan, serta kerja keras pemerintah dan masyarakat.
Peningkatan mutu pendidikan bisa dilakukan melalui reformasi kurikulum sebagai suatu perangkat apa yang kita impikan untuk anak-anak Indonesia, apa yang harus kita ajarkan, dan akhirnya apa yang akan diserap oleh anak-anak. Evaluasi kurikulum memang mutlak dilaksanakan secara berkala untuk menilai relevansi kurikulum dengan anak-anak dalam konteks tempat dan waktu yang terus berubah secara drastis. Reformasi kurikulum untuk menjadikan anak-anak kita cerdas, bermoral, kreatif, komunikatif, dan toleran membutuhkan lebih dari sekadar penambahan jam belajar dan pengurangan mata pelajaran seperti yang diberitakan (Kompas, 3-4 September 2012).
Evaluasi kurikulum perlu mengkaji kesinambungan falsafah dan visi pendidikan dengan praktik-praktik pendidikan sebagai pengejawantahan dari kebijakan dan menilai keluaran dan capaian. Ada beberapa model evaluasi kurikulum yang bisa jadi acuan. Model mana pun yang diacu, hasil dari evaluasi kurikulum seyogianya bisa jadi masukan untuk penyusunan, revisi, atau pengembangan selanjutnya.
Carl Glickman (Leadership for Learning) mengingatkan, setiap upaya perbaikan
kurikulum seharusnya tetap setia pada fokus pendidikan: pembelajaran siswa. Para
pakar pendidikan mengungkapkan pandangan berbeda mengenai apa yang siswa perlu
dipelajari. Sebagian berpendapat, siswa perlu mengembangkan strategi kognisi dan
keterampilan untuk bisa bertahan dan berkompetisi di abad ke-21. Beberapa pakar
lain yakin, kurikulum tak boleh mengorbankan penguasaan materi pengetahuan untuk
memberikan lebih banyak ruang bagi pengembangan keterampilan.
Keterampilan Abad ke-21
[Sumber video : http://www.youtube.com/user/PearsonFdtn]
Rencana mengurangi mata pelajaran tampaknya mendapat banyak dukungan publik karena memang jumlah mata pelajaran dalam kurikulum SD-SMA terlalu banyak dan mubazir. Keinginan ini juga sejalan dengan kebutuhan anak muda untuk memperoleh keterampilan abad ke-21, di antaranya kecakapan hidup dan karier, literasi media dan keterampilan teknologi informasi (www.21stcenturyskills.org).
Selain itu, berdasarkan analisis terhadap ribuan mata kuliah di tahun pertama
pendidikan tinggi, "David Conley (2011)" mengidentifikasi lima strategi kognisi
utama: formulasi permasalahan, riset, interpretasi, komunikasi, dan ketepatan/ketelitian.
Walaupun siswa mengambil manfaat dari muatan pengetahuan umum dalam beberapa
disiplin yang utama, pengetahuan ini saja tidak cukup tanpa strategi kognisi
yang andal.
Penguasaan materi seharusnya tidak menjadi tujuan dari proses pembelajaran,
tetapi sebagai jalan untuk mencapai tujuan. Pengajaran yang efektif melibatkan
siswa untuk menemukan aplikasi dari pengetahuan. Guru perlu berjuang agar tak
terjebak dalam godaan untuk kegiatan persiapan ujian. Kurikulum yang mencakup
formulasi masalah, investigasi, debat, simulasi, permainan, bertanya ala
Socrates, presentasi, dan proyek akan membantu siswa menguasai muatan dan konsep
pengetahuan.
Fokus Penguasaan Pengetahuan
Penekanan terhadap pengembangan keterampilan dan pengurangan muatan pengetahuan
yang sedang menjadi tren di Amerika Serikat dianggap biang dari kemerosotan
negara adidaya ini dalam "Program for International Student Assessment (PISA)".
Dalam PISA 2009, siswa AS menempati peringkat ke-17 dalam membaca, ke-23 dalam
sains, dan ke-31 dalam matematika; di bawah Slowakia, Hongaria, dan Polandia.
Lynne Munson (2011) mempelajari sembilan negara yang mengungguli AS, yakni
Finlandia, Hongkong (China), Korea Selatan, Jepang, Kanada, Australia, Selandia
Baru, Belanda, dan Swiss. Tentu saja sistem dan strategi pendidikan di setiap
negara adalah unik. Sebagian dari negara-negara ini mempunyai standar nasional
kurikulum, tetapi sebagian lainnya tidak. Sebagian memberlakukan kebijakan ujian
nasional, tetapi sebagian lainnya tidak.
Ada dua kesamaan yang ditemukan di antara sembilan negara ini. Pertama, semua
menunjukkan kesungguhan dalam program pendidikan umum: ilmu sosial budaya dan
sains. Di hampir semua negara yang mencapai peringkat atas dalam PISA, seni,
kesusastraan, sejarah, geografi, kewarganegaraan, sains, bahasa asing, dan
matematika jadi mata pelajaran wajib. Kedua, negara berperingkat atas tersebut
tidak menggeser penguasaan pengetahuan demi keterampilan serta tidak hanya fokus
pada membaca dan matematika.
Peta Kurikulum
Ketika pengurangan mata pelajaran menjadi suatu keniscayaan, kita patut bertanya
apa yang akan dikurangi. Jangan sampai kita melakukan kesalahan yang sudah
pernah dibuat negara lain karena kelalaian mempelajari dan mengkaji permasalahan
dengan tepat. Apakah pengurangan mata pelajaran ini sekadar penggabungan
beberapa mata pelajaran—antropologi dan sosiologi menjadi IPS Terpadu, misalnya—sehingga
jadwal pelajaran harian anak sekolah jadi lebih ringkas? Ataukah cakupan materi
pengetahuan juga akan dikurangi? Jika cakupan akan dikurangi, kita perlu kajian
lebih mendalam materi apa yang harus dipertahankan dan apa yang bisa dibuang.
Terkait dengan argumentasi keterampilan versus muatan pengetahuan, setiap
pendidik pasti menyadari bahwa siswa membutuhkan keduanya (selain nilai dan
karakter, tentunya). Resep yang baik akan menghasilkan makanan yang lezat dan
bergizi jika memuat informasi bahan dan cara memasak yang tepat. Demikian pula
dengan kurikulum. Informasi bahan memuat komposisi beragam materi dengan takaran
yang sesuai. Materi ini tidak akan membuahkan hasil yang baik tanpa pengolahan
dengan keterampilan dan strategi yang efektif.
Selain itu, konsep kurikulum yang baik seyogianya juga mempertimbangkan kesiapan
di ruang kelas. Penambahan jam belajar dan pengurangan mata pelajaran
mengasumsikan kesiapan sekolah untuk mengurangi keluasan dan menggali kedalaman
(depth over breadth).
Asumsi ini mengandung prasyarat bahwa para guru sudah kompeten dan terampil
dalam mengelola kelas serta merancang dan memfasilitasi sesi-sesi pembelajaran
bermutu, yang mengajak para siswa belajar secara aktif dan mengembangkan
kemampuan berpikir tingkat tinggi. Jika keluasan cakupan dikurangi, padahal guru
belum siap menggali kedalaman, siswa akan kembali menjadi korban. [Sumber :
Harian KOMPAS, 18 September 2012]
-->
Tidak ada komentar:
Posting Komentar