Oleh : HENMAIDI, PHD
(Dosen Fakultas Teknik Universitas Andalas dan Ketua Tim Karakter Universitas Andalas)
Hiruk pikuk pendidikan karakter bergema di mana-mana. Di level pendidikan terbawah hingga perguruan tinggi. Program-program pendidikan karakter mulai bermunculan, mulai dalam bentuk seminar, lokakarya, hingga rencana-rencana perumusan kurikulum pendidikan karakter.
Munculnya gagasan pendidikan karakter ini agaknya didasari oleh kondisi bangsa yang diterpa berbagai masalah moral. Mulai dari penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, tawuran, pergaulan bebas, perkelahian, pembunuhan, aborsi, kesemrawutan hukum dan sebagainya.
Masalah bangsa yang ibarat benang kusut tak tentu ujung ini membuat penyelenggara negara berfikir keras untuk mengatasi semua ini. Akhirnya nyaris sampai pada kesimpulan, persoalannya adalah kurang kuatnya pendidikan karakter. Maka keluarlah ide dan rancangan program pendidikan karakter dari berbagai fihak. Didorong pula oleh pendekatan struktural dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Akan tetapi upaya-upaya ini ternyata membuat sebagian orang mengerutkan kening. Termasuk budayawan Darman Moenir yang mengungkapkan dalam tulisannya pada Haluan pada rubrik Refleksi (Senin, 26 Desember 2011). Saya bersepakat dengan kegalauan beliau. Jangan sampai upaya yang dilakukan ini ibarat orang sedang dihanyutkan air bah. Ranting kecil yang hanyutpun dipegangnya agar bisa menyelamatkan diri. Kondisi seperti orang yang benar-benar panik, tak tahu apa yang akan dilakukan.
Saya pikir pertanyaan yang ada dalam tulisan Darman Moenir itu juga menjadi pertanyaan belum terjawab bagi banyak kalangan, termasuk yang sedang bergelut dengan program karakter ini. Pertanyaan paling mendasar: Karakter itu apa?
Saya melihat hal ini menjadi sangat krusial di tengah upaya mencari jalan dalam pendidikan karakter. Saya melihat terdapat beberapa jebakan yang harus disadari.
Jebakan Pertama
Tak Jelas apa yang dimaksu dengan karakter. Ini menjadi jebakan pertama dalam mendisain program pembangunan karakter (saya lebih cenderung menyebutnya pembangunan dibanding pendidikan). Ini ibarat tujuan, yang hendak dituju tidak jelas. Persis seperti orang yang mau menembak burung, burungnya tidak jelas, kabur atau samar-samar. Ampok-ampok dalam samak, kata orang, untuang-untuang kanai.
Dalam pemahaman saya, karakter ini menunjukkan sifat, perilaku asli yang tidak dibuat-buat dan tidak direkayasa. Dia muncul secara spontan. Dia bukan soft skill apa lagi hard skill. Semisal orang dengan karakter jujur, maka dia akan jujur dalam tiap situasi. Tak perlu otaknya menimbang-nimbang untuk mengambil sikap jujur. Jika seseorang memilah-milah pada situasi mana dia akan jujur, maka sebenarnya dia bukan orang jujur. Demikian juga karakter amanah, dalam segala macam situasi orang yang berkarakter amanah akan selalu amanah, biarpun kesempatan berbuat curang terbuka lebar tanpa diketahui orang.
Dengan pemahaman seperti ini maka kita akan dengan mudah menemukan contoh-contoh karakter seperti: Amanah, Sabar, Empati, Jujur, Adil, Tanggung jawab, Ikhlas dan banyak lagi.
Jebakan Kedua
Pemahaman atas ranah karakter. Setelah jelas apa yang dimaksud dengan karakter, karena kita mau mengaitkannya dengan proses pedagogi dan andragogi, maka yang perlu dipahami selanjutnya adalah di mana ranah karakter ini berada. Saya memahami karakter sesungguhnya berada pada ranah afektif. Bukan kognitif dan bukan pula psikomotor. Dengan demikian proses pembangunan karakter semestinyalah tidak direduksi kedalam kurikulum, berbentuk mata pelajaran atau mata kuliah. Kalau dia dimasukkan ke dalam mata ajar atau kuliah, dikhawatirkan terjebak lagi dalam ranah kognitif. Hasilnya nanti, siswa atau mahasiswa dapat menjelaskan dengan lancar tentang kejujuran, etika, kesabaran, keikhlasan, namun persoalan apakah dia bersikap seperti yang dijelaskannya itu, adalah persoalan lain. Ini akan kembali seperti penataran P4 masa lalu yang terhenti pada ranah pengetahuan.
Jebakan Ketiga
Kurangnya pemahaman atas bagaimana proses pembentukan karakter. Jika hal ini tidak dipahami dengan jelas, bagaimana program pembangunan karakter akan disusun?
Saya memahami proses pembentukan karakter ini terdiri atas lima tahap: Tahap pertama: Pengetahuan dan pemahaman atas suatu karakter. Jika sudah tahu dan paham dengan karakter tersebut, baru mulai tahap kedua, yaitu proses meniru dan menerapkan. Kemudian tahap ke tiga pembiasaan, di mana karakter itu mulai dijadikan kebiasaan. Tahap ke empat pembudayaan, dimana tidaklah cukup segelintir orang saja yang membiasakan berkarakter, sementara lingkungan tidak, semua yang ada dalam lingkungan masyarakat haruslah juga diupayakan untuk memiliki karakter tersebut. Setelah melewati tahap pembudayaan, baru masuk pada tahap ke lima: menjadi karakter. Tahapan ini sebenarnya sejalan dengan pepatah Minang: ketek taaja-aja, gadang tabao-bao, tuo taubah tido, nah ketika sudah taubah tido inilah sifat itu menjadi karakter.
Dengan ini, kita faham, sangat sulit membentuk karakter jujur jika seorang anak hidup dalam lingkungan tak jujur. Sulit membentuk karakter sabar jika orang tua pemarah, guru parabo, atau lingkungan tidak mendukungnya. Bagaimana mungkin karakter sopan dan santun akan terbentuk jika sejak kecil anak-anak mengamati lingkungan yang tidak mendukung, disuguhi tontonan tidak mendidik, melalui berbagai media cetak dan elektronik? Tentu demikian juga keadaannya dengan karakter-karakter lain.
Jebakan Keempat
Kurangnya pemahaman atas apa yang membuat karakter bisa bertahan pada diri sesorang. Jebakan keempat ini mendominasi banyak pemikir barat, yang tercermin dalam berbagai literatur yang saya temukan. Hal ini pula yang membuat model pembentukan karakter dari Barat menemui jalan buntu.
Saya memahami bahwa karakter hanya akan bertahan kuat jika dikendalikan oleh rasa spiritual. Iman dan taqwa ringkasnya. Karakter tidak akan bertahan dengan kuat tanpa adanya unsur religius ini.
Coba bayangkan, sebagus apapun karakter seseorang yang hidup di negara maju yang dikenal bersih dari KKN, kemudian dia berpindah ke tempat lain. Nah ditempat baru ini kesempatan untuk berbuat curang terbuka, di lingkungan barunya orang terbiasa dengan suap-menyuap. Dan lingkungan seakan memaksa terjadinya praktek-praktek tidak benar ini. Kira-kira apa yang terjadi jika orang ini tidak memiliki iman kuat? Mungkin dia akan goyah, atau malah sifat tamaknya muncul, sehingga akhirnya ikut menghalalkan segala cara.
Nah jika empat jebakan di atas sudah difahami dengan baik, maka barulah kita berbicara tentang bagaimana menyusun program pembangunan karakter itu. Proses pembangunan karakter memerlukan waktu yang relatif panjang, dan memerlukan adanya pengkondisian. Kalau sekadar soft skill bisa dibentuk melalui belajar dan latihan, namun untuk membentuk karakter ini tidak cukup. Diperlukan adanya kondisi yang sesuai untuk membentuk suatu karakter, dan kondisi itu seharusnya diciptakan.
Model pembentukan karakter yang mirip-mirip dengan penataran P4 dahulu akan sulit mencapai sasaran, karena: kondisi lingkungan tidak mendukung. Menambah mata ajar karakter, sepertinya hanya akan membuang-buang waktu dan anggaran, sebab pada prakteknya akan sulit keluar dari jebakan pemenuhan ranah kognitif saja, tanpa menyentuh ranah afektif.
Program pembangunan karakter haruslah dilakukan secara holistik, menyeluruh. Langkah awal yang harus dilakukan adalah membentuk ketauladanan. Dalam skala luas: harus dimulai dari siapapun yang akan menjadi rujukan masyarakat: Mulai dari pimpinan negara serta penyelenggaran negara. Ibarat mandi, mengguyur harus dari kepala.
Dalam skala lebih kecil untuk sekolah atau kampus, kesadaran atas karakter harus dimulai dari unsur pimpinan, guru/dosen, pegawai. Pembangunan karakter dilakukan secara terencana di dalam setiap kegiatan: pembelajaran di kelas, di laboratorium, di organisasi kesiswaan/kemahasiswaan. Dengan begini baru program untuk siswa dan mahasiswa dapat dijalankan dengan baik. Di samping itu, orang tua dan masyarakat juga harus berperan serta secara aktif. Melalui pendekatan seperti ini mudah-mudahan program pembangunan karakter dapat berjalan lebih baik.
[Sumber : Harian Haluan, Rabu, 04 Januari 2012]
(Dosen Fakultas Teknik Universitas Andalas dan Ketua Tim Karakter Universitas Andalas)
Hiruk pikuk pendidikan karakter bergema di mana-mana. Di level pendidikan terbawah hingga perguruan tinggi. Program-program pendidikan karakter mulai bermunculan, mulai dalam bentuk seminar, lokakarya, hingga rencana-rencana perumusan kurikulum pendidikan karakter.
Munculnya gagasan pendidikan karakter ini agaknya didasari oleh kondisi bangsa yang diterpa berbagai masalah moral. Mulai dari penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, tawuran, pergaulan bebas, perkelahian, pembunuhan, aborsi, kesemrawutan hukum dan sebagainya.
Masalah bangsa yang ibarat benang kusut tak tentu ujung ini membuat penyelenggara negara berfikir keras untuk mengatasi semua ini. Akhirnya nyaris sampai pada kesimpulan, persoalannya adalah kurang kuatnya pendidikan karakter. Maka keluarlah ide dan rancangan program pendidikan karakter dari berbagai fihak. Didorong pula oleh pendekatan struktural dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Akan tetapi upaya-upaya ini ternyata membuat sebagian orang mengerutkan kening. Termasuk budayawan Darman Moenir yang mengungkapkan dalam tulisannya pada Haluan pada rubrik Refleksi (Senin, 26 Desember 2011). Saya bersepakat dengan kegalauan beliau. Jangan sampai upaya yang dilakukan ini ibarat orang sedang dihanyutkan air bah. Ranting kecil yang hanyutpun dipegangnya agar bisa menyelamatkan diri. Kondisi seperti orang yang benar-benar panik, tak tahu apa yang akan dilakukan.
Saya pikir pertanyaan yang ada dalam tulisan Darman Moenir itu juga menjadi pertanyaan belum terjawab bagi banyak kalangan, termasuk yang sedang bergelut dengan program karakter ini. Pertanyaan paling mendasar: Karakter itu apa?
Saya melihat hal ini menjadi sangat krusial di tengah upaya mencari jalan dalam pendidikan karakter. Saya melihat terdapat beberapa jebakan yang harus disadari.
Jebakan Pertama
Tak Jelas apa yang dimaksu dengan karakter. Ini menjadi jebakan pertama dalam mendisain program pembangunan karakter (saya lebih cenderung menyebutnya pembangunan dibanding pendidikan). Ini ibarat tujuan, yang hendak dituju tidak jelas. Persis seperti orang yang mau menembak burung, burungnya tidak jelas, kabur atau samar-samar. Ampok-ampok dalam samak, kata orang, untuang-untuang kanai.
Dalam pemahaman saya, karakter ini menunjukkan sifat, perilaku asli yang tidak dibuat-buat dan tidak direkayasa. Dia muncul secara spontan. Dia bukan soft skill apa lagi hard skill. Semisal orang dengan karakter jujur, maka dia akan jujur dalam tiap situasi. Tak perlu otaknya menimbang-nimbang untuk mengambil sikap jujur. Jika seseorang memilah-milah pada situasi mana dia akan jujur, maka sebenarnya dia bukan orang jujur. Demikian juga karakter amanah, dalam segala macam situasi orang yang berkarakter amanah akan selalu amanah, biarpun kesempatan berbuat curang terbuka lebar tanpa diketahui orang.
Dengan pemahaman seperti ini maka kita akan dengan mudah menemukan contoh-contoh karakter seperti: Amanah, Sabar, Empati, Jujur, Adil, Tanggung jawab, Ikhlas dan banyak lagi.
Jebakan Kedua
Pemahaman atas ranah karakter. Setelah jelas apa yang dimaksud dengan karakter, karena kita mau mengaitkannya dengan proses pedagogi dan andragogi, maka yang perlu dipahami selanjutnya adalah di mana ranah karakter ini berada. Saya memahami karakter sesungguhnya berada pada ranah afektif. Bukan kognitif dan bukan pula psikomotor. Dengan demikian proses pembangunan karakter semestinyalah tidak direduksi kedalam kurikulum, berbentuk mata pelajaran atau mata kuliah. Kalau dia dimasukkan ke dalam mata ajar atau kuliah, dikhawatirkan terjebak lagi dalam ranah kognitif. Hasilnya nanti, siswa atau mahasiswa dapat menjelaskan dengan lancar tentang kejujuran, etika, kesabaran, keikhlasan, namun persoalan apakah dia bersikap seperti yang dijelaskannya itu, adalah persoalan lain. Ini akan kembali seperti penataran P4 masa lalu yang terhenti pada ranah pengetahuan.
Jebakan Ketiga
Kurangnya pemahaman atas bagaimana proses pembentukan karakter. Jika hal ini tidak dipahami dengan jelas, bagaimana program pembangunan karakter akan disusun?
Saya memahami proses pembentukan karakter ini terdiri atas lima tahap: Tahap pertama: Pengetahuan dan pemahaman atas suatu karakter. Jika sudah tahu dan paham dengan karakter tersebut, baru mulai tahap kedua, yaitu proses meniru dan menerapkan. Kemudian tahap ke tiga pembiasaan, di mana karakter itu mulai dijadikan kebiasaan. Tahap ke empat pembudayaan, dimana tidaklah cukup segelintir orang saja yang membiasakan berkarakter, sementara lingkungan tidak, semua yang ada dalam lingkungan masyarakat haruslah juga diupayakan untuk memiliki karakter tersebut. Setelah melewati tahap pembudayaan, baru masuk pada tahap ke lima: menjadi karakter. Tahapan ini sebenarnya sejalan dengan pepatah Minang: ketek taaja-aja, gadang tabao-bao, tuo taubah tido, nah ketika sudah taubah tido inilah sifat itu menjadi karakter.
Dengan ini, kita faham, sangat sulit membentuk karakter jujur jika seorang anak hidup dalam lingkungan tak jujur. Sulit membentuk karakter sabar jika orang tua pemarah, guru parabo, atau lingkungan tidak mendukungnya. Bagaimana mungkin karakter sopan dan santun akan terbentuk jika sejak kecil anak-anak mengamati lingkungan yang tidak mendukung, disuguhi tontonan tidak mendidik, melalui berbagai media cetak dan elektronik? Tentu demikian juga keadaannya dengan karakter-karakter lain.
Jebakan Keempat
Kurangnya pemahaman atas apa yang membuat karakter bisa bertahan pada diri sesorang. Jebakan keempat ini mendominasi banyak pemikir barat, yang tercermin dalam berbagai literatur yang saya temukan. Hal ini pula yang membuat model pembentukan karakter dari Barat menemui jalan buntu.
Saya memahami bahwa karakter hanya akan bertahan kuat jika dikendalikan oleh rasa spiritual. Iman dan taqwa ringkasnya. Karakter tidak akan bertahan dengan kuat tanpa adanya unsur religius ini.
Coba bayangkan, sebagus apapun karakter seseorang yang hidup di negara maju yang dikenal bersih dari KKN, kemudian dia berpindah ke tempat lain. Nah ditempat baru ini kesempatan untuk berbuat curang terbuka, di lingkungan barunya orang terbiasa dengan suap-menyuap. Dan lingkungan seakan memaksa terjadinya praktek-praktek tidak benar ini. Kira-kira apa yang terjadi jika orang ini tidak memiliki iman kuat? Mungkin dia akan goyah, atau malah sifat tamaknya muncul, sehingga akhirnya ikut menghalalkan segala cara.
Nah jika empat jebakan di atas sudah difahami dengan baik, maka barulah kita berbicara tentang bagaimana menyusun program pembangunan karakter itu. Proses pembangunan karakter memerlukan waktu yang relatif panjang, dan memerlukan adanya pengkondisian. Kalau sekadar soft skill bisa dibentuk melalui belajar dan latihan, namun untuk membentuk karakter ini tidak cukup. Diperlukan adanya kondisi yang sesuai untuk membentuk suatu karakter, dan kondisi itu seharusnya diciptakan.
Model pembentukan karakter yang mirip-mirip dengan penataran P4 dahulu akan sulit mencapai sasaran, karena: kondisi lingkungan tidak mendukung. Menambah mata ajar karakter, sepertinya hanya akan membuang-buang waktu dan anggaran, sebab pada prakteknya akan sulit keluar dari jebakan pemenuhan ranah kognitif saja, tanpa menyentuh ranah afektif.
Program pembangunan karakter haruslah dilakukan secara holistik, menyeluruh. Langkah awal yang harus dilakukan adalah membentuk ketauladanan. Dalam skala luas: harus dimulai dari siapapun yang akan menjadi rujukan masyarakat: Mulai dari pimpinan negara serta penyelenggaran negara. Ibarat mandi, mengguyur harus dari kepala.
Dalam skala lebih kecil untuk sekolah atau kampus, kesadaran atas karakter harus dimulai dari unsur pimpinan, guru/dosen, pegawai. Pembangunan karakter dilakukan secara terencana di dalam setiap kegiatan: pembelajaran di kelas, di laboratorium, di organisasi kesiswaan/kemahasiswaan. Dengan begini baru program untuk siswa dan mahasiswa dapat dijalankan dengan baik. Di samping itu, orang tua dan masyarakat juga harus berperan serta secara aktif. Melalui pendekatan seperti ini mudah-mudahan program pembangunan karakter dapat berjalan lebih baik.
[Sumber : Harian Haluan, Rabu, 04 Januari 2012]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar