GURU SEJATINYA TETAP KUNCI DALAM PROSES PEMBELAJARAN. NAMUN, SEBAGAI AGEN PERUBAHAN, GURU DITUNTUT HARUS MAMPU MELAKUKAN VALIDASI MEPERBAHARUI KEMAMPUANNYA, SESUAI DENGAN TUNTUTAN ZAMAN AGAR TIDAK TERTINGGAL

Loading...
 

Selasa, 14 Juli 2015

Pelajaran Nokia untuk Pendidikan Kita

 

 

Oleh : Setyo Purnomo

(disklaimer : ditulis secara semrawut tidak runtut, serampangan asal gampang)

Mungkin terlalu panjang dan ngawur juga kalau saya menghubungkan terjualnya Nokia ini dengan pendidikan kita. Salah satu upaya saya agar kedua hal tsb tampak nyambung adalah dengan memberi judul seperti di atas ;)

Belum ada seminggu, sebuah peristiwa besar mengguncang dunia TI, yakni dengan dijualnya Nokia kepada Microsoft, dengan nilai transaksi sebesar 7,2 miliar Dolar atau sekitar Rp 80 triliun. Transaksi ini nyaris seperti petir di siang bolong, karena menyeruak begitu saja di tengah berita desas-desus pailitnya perusahaan produsen Blackberry, yaitu RIM, yang bahkan sampai hari ini belum ada kejelasan siapa yang 'beruntung' membelinya.

Sejak membaca berita penjualan Nokia kepada Microsoft ini benak kerdil saya mengembara kesana kemari. Saya merasa "gatal" karena kebetulan saja Nokia ini berada di Finlandia, negara yang amat terkenal pesona proses pendidikannya. Waktu saya mencoba mengetikkan tiga kata "nokia + education + finlandia" di Google...aha, benar saja, saya menemukan satu artikel yang ditulis dengan penuh percaya diri, judulnya : Two Finnish Icons: Education and Nokia.

Lalu apa yang memaksa saya menghubungkan kedua hal tsb ? Dari logika saya yang sederhana, yakni bahwa tidak mungkin bahwa di dalam visi pendidikan Finlandia tidak menyertakan visi teknologi, karena terbukti bahwa Nokia telah sukses bermetamorfose dari pabrik kertas menjadi pabrik handphone yang sangat disegani di planet ini. Bagaimana hubungannya ? Saya memaksa hubungannya sbb : dalam konsep pendidikan suatu negeri/negara pasti termaktub di dalamnya visi pembangunan ke depan, di mana salah satunya pasti bertumpu pada rekam jejak kesuksesan/prestasi nasional di mana pendidikan itu berproses. Dalam konteks negara Finlandia, tidak mungkin melepaskan kesuksesan dan kejayaan Nokia dari dalam darah kebangsaan orang-orang Finlandia. Kemampuan Nokia bermetamorfose dari pabrik kayu/kertas menjadi pabrik handphone, menjadi salah satu bukti keberhasilan manusia-manusia pintar di Finlandia dalam menentukan model evolusi industri di negerinya, yang tentu saja didasarkan pada sekian banyak pertimbangan. Dan menjadi sangat mungkin bahwa pemerintah Finlandia ingin memasukkan/menginternalisasikan kemampuan "metamorf-evolutif" ini ke dalam benak anak2 sekolah di Finlandia. Salah satu tujuannya adalah kelak Finlandia akan tetap berjaya di setiap era pergantian zaman. Anak2 bangsa Finlandia diharapkan akan selalu mampu menemukan icon-icon kejayaan bangsanya, sekaligus bangga berwarga negara Finlandia yang sukses. Dan jangan lupa, Linus Torvalds, sang penemu Linux, juga warga negara Finlandia.

Kejadian dibelinya Nokia oleh Microsoft, bagi saya terasa amat ganjil. Bagaimana mungkin di dalam suatu negeri yang sistem pendidikannya sudah teruji bagus oleh TIMMS dan PIRLS selalu berada di peringkat atas, kenapa bisa terlambat mengikuti perubahan zaman ? Sebagai sebuah icon nasional, terjualnya Nokia bagi warga Finlandia, bukanlah hal yang sederhana. Dalam kacamata kuda saya, terjualnya Nokia seperti sebuah anti-klimaks dari sistem pendidikan Finlandia yg terkenal bagus itu. Ada satu hal yang mungkin belum ter-cover dalam sistem pendidikan Finlandia, yaitu kemampuan untuk beradaptasi dengan era baru. Walaupun sebelumnya Nokia pernah sukses berubah diri pabrik kertas menjadi pabrik handphone, tapi ternyata tidak sukses untuk tetap berjaya sebagai pabrik handphone di era saat ini. Dalam kasus per-hape-an ini jika mau digali lebih dalam, akan terasa lebih menyakitkan. Kenapa ? Karena kebetulan Linux lahir di negeri ini, dan dari Linux-lah lahir Android, yang kelak dan saat ini kita kenal sebagai sistem operasi ponsel cerdas yang paling cepat pertumbuhannya. Pertanyaanya, mengapa Nokia tidak memilih Android sebagai basis pengembangan ponsel cerdasnya ? Atau OS Meego yang dulu pernah dikenalkan bersama Nokia N900 ? Apakah tidak ada anak2 muda alumni sekolah2 di sana yang merasakan keganjilan ini dan lalu mem-posting ide2 mereka ? Atau jangan2 di sana juga ada krisis post power syndrome yang dialami oleh para pimpinan Nokia, sehingga telmi (telat mikir) dalam mengambil keputusan menyelamatkan Nokia, yang notabene adalah icon negeri ? Di mana pendidikan menyorotkan visinya ? Apakah di sana juga ada gap kebijakan antara departemen industri dan departemen pendidikan ? -kayak di indo saja ..heheh-

Membicarakan tentang icon negeri ini, mungkin kita agak kesulitan menemukan di Indonesia. Kita coba ya ?! Misal saya katakan kekayaan tembaga dan emas di Freeport, mungkin jidat langsung mengerut lantaran tidak setuju, dan tahu bahwa McMorran-lah yang menguasai tambang tersebut. Kalau saya sebut perusahaan sawit penghasil CPO, mungkin jidat juga mengkerut karena mengingat kerusakan lingkungan akibat homogenisasi hutan. Kalau saya sebut tambang minyak, maka makin banyak kerutan di jidat, karena urusan hulu-hilir minyak ini tak lepas dari urusan korupsi dan kepentingan pihak2 asing. Kalau saya katakan mobil nasional, hehe ... makin banyak kerutan juga, karena kemudian orang akan mengingat bagaimana rebranding KIA menjadi Timor di masa lalu, dan seakan dilanjutkan dg perakitan komponen2 mobil, yang konon dari Cina, lalu disebut sebagai mobil nasional. Jadi ... yah ... saya maklum kalau kita kesulitan menemukan profil icon nasioanl tersebut. Kalau kemudian ada yang mengatakan bahwa negara kita ini kaya dengan budaya dan pesona alam-nya sehingga bisa "dijual" lewat pariwisata, maka semestinya ada sesuatu yang dititipkan dalam kurikulum pendidikan nasional untuk mendukung keyakinan itu. Kalau dikatakan negara ini adalah negara agraris, maka harus ada bagian tersebut dalam kurikulum pendidikan nasional kita. Demikian juga jika disebut negara kita adalah negara maritim. Well ...lalu apa icon nasional kita ? Yang kemudian kita jadikan "anchor" bagi tetap eksis-nya Indonesia di masa depan ? Di era globalisasi yang tak terbendung. Apa ?

Dalam beberapa tahun terakhir, dunia sering dikejutkan oleh berita tentang dibelinya aplikasi atau perusahaan digital dengan angka yang berdigit enam atau lebih. Misalnya pembelian aplikasi Instagram oleh Facebook senilai 1 juta dolar. Atau pembelian aplikasi Summly (diciptakan oleh Nick D’Aloisio, remaja Inggris, berusia 17 th saat itu)  oleh Yahoo sebesar 30 juta dolar. Ini belum menghitung berapa penghasilan Google saat ini dari hasil penjualan aplikasinya di Google Play atau Apple lewat AppStore-nya. Ohya, jangan samakan pembelian2 di atas dengan pembelian Nokia oleh Microsoft. Ada hal berbeda yang amat mendasar, yakni bahwa Nokia telah 'terlanjur' menjadi icon kebangsaan Finlandia, sementara dua contoh aplikasi di atas adalah milik perseorangan.

Ada era ekonomi digital berikut segala konsekuensi digital kreatif yang sama sekali belum tersentuh oleh kurikulum sekolah2 di dunia saat ini. Era ekonomi digital yang salah satu konsekuensinya adalah menjadikan nilai uang "hanya" menjadi angka2 digital yang tersimpan dalam brankas2 digital di dunia internet. Di youtube ada video menarik tentang hal ini (lihat tayangan videonya berikut), yang diberi judul What Most School Doesn't Teach.



Dan itu membicarakan tentang belajar pemrograman sejak dini. Di internet ada jutaan pekerjaan/job yang bisa dikerjakan oleh siapapun yg mampu mengerjakan, tidak ada pertanyaan tentang ijazah dan semacamnya. Silakan mengingat kembali anak kecil beranjak remaja yang bernama Thomas Suarez (lihat tayangan videonya di bawah ini ) .



Anak ini mampu membuat aplikasi utk iOS dan menjualnya di AppStore. Anak ini mendirikan perusahaan, yang kelak di kemudian hari dikenal banyak orang dengan sebutan start-up company, sebuah perusahaan mini tapi dengan konsekuensi bisnis seperti perusahaan konvensional.

Pelajaran apa yang bisa dipetik dari terjualnya Nokia ? Saya mengajak kita semua untuk menengok kembali implementasi pembelajaran TIK di negeri ini. Termasuk yang paling mutakhir adalah dihapusnya mapel TIK, yang kemudian menjadi huru-hara baru, karena banyaknya guru-guru TIK yang protes. Walaupun mungkin sebenarnya protesnya bukan sepenuhnya sedih karena penghapusan mapelnya, namun mungkin sebagian, karena hal tsb berimbas kepada kemungkinan tidak diperolehnya gaji dan tunjangan yang selama ini diterima sebagai guru TIK ;)

Pembelajaran TIK memang bukan segalanya, namun dalam konteks memahami gerak zaman, maka memahami TIK nyaris menjadi kebutuhan mutlak. Finlandia yang pendidikannya bagus saja bisa kehilangan Nokia, apatah lagi Indonesia yang kondisinya seperti ini ?! Atau jangan2 ada perasaan 'kebal' alias sudah biasa melihat betapa banyaknya asset bangsa ini terjual seluruhnya atau sebagian, entah karena ngiler dengan duitnya atau karena ketiadaan tenaga ahli yang mengurusnya. Jika ketiadaan tenaga ahli menjadi alasan, lalu mengapa pendidikan dalam negeri tidak dirancang untuk mampu menyediakannya ? Kalau ngiler dengan duit, bagaimana pendidikan negeri ini mengajarkan tentang hidup sederhana ?

Jika negeri ini di-visi-kan sebagai negara agraris atau negara maritim atau negara industri berbasis pada keduanya, maka sudah seharusnya hal2 tersebut menjelma utuh di dalam kurikulum pembelajaran di negeri ini. Di masa depan, akan ada negara2 yang benar2 bertahan hidup karena produk khas wilayahnya, yang semata2 given by God, menjadi sesuatu yang unik dan laku dijual. Sementara negara2 lain, seolah melayang mengambang di dunia digital virtual. Keduanya saling membutuhkan, karena keniscayaan dari konsep keseimbangan dalam kehidupan. Di mana Indonesia saat itu ? Karena ada juga konsekuensi lain dari sebutan ketinggalan zaman, yakni lenyap terlindas zaman. Di mana anak2 kita saat itu ? Mereka terpaksa hidup berjuang untuk sekedar menyambung selembar nyawa, atau hidup makmur karena mampu sukses "menunggangi" zamannya. Time will tell ... and now we should start to think about it ...

[ Sumber : Guru Online on Facebook ]

Tidak ada komentar:

e-Newsletter Pendididkan @ Facebook :

Belanja di Amazon.com :

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.

PANDUAN VERIFIKASI AKUN PAYPAL ANDA KE REKENING BANK ANDA [KLIK DISINI]