GURU SEJATINYA TETAP KUNCI DALAM PROSES PEMBELAJARAN. NAMUN, SEBAGAI AGEN PERUBAHAN, GURU DITUNTUT HARUS MAMPU MELAKUKAN VALIDASI MEPERBAHARUI KEMAMPUANNYA, SESUAI DENGAN TUNTUTAN ZAMAN AGAR TIDAK TERTINGGAL

Loading...
 

Kamis, 30 Juli 2015

Kisah Plonco Sejak Zaman Londo

Perploncoan mahasiswa baru di Universitas
Indonesia Jakarta pada April 1945. 
Foto: IPPHOS
AWAL ajaran baru tahun 2015, berbagai pihak mencermati tradisi menyambut siswa atau mahasiswa baru, yaitu plonco. Alih-alih sebagai masa orientasi siswa (MOS), kegiatan ini kerap tidak mendidik dan hanya menjadi ajang balas dendam para senior.
Mendikbud Anies Baswedan pun melarang tindakan kekerasan dalam MOS. MOS merupakan tanggungjawab sekolah, guru dan kepala sekolah. Mereka harus bisa mengendalikannya. “MOS tak boleh ada plonco, (jika terjadi) kepala sekolah bertanggungjawab. Dinas pendidikan jangan ragu memberi sanksi pada kepala sekolah. MOS itu adalah masa penunjukkan rencana belajar bukan pemuasan keinginan senior,” ujar Anies, dikutip detik.com.
Perploncoan sudah terjadi sejak zaman kolonial Belanda. Mohammad Roem, menceritakan pengalamannya diploco ketika masuk Stovia (Sekolah Dokter Bumiputera) pada 1924. “Bahasa Belandannya plonco waktu itu adalahontgroening. Kata groen artinya hijau. Murid baru adalah hijau, dan ontgroeningdimaksudkan untuk menghilangkan warna hijau itu. Dia harus diberi perlakukan agar dalam waktu singkat menjadi dewasa, berkenalan dengan teman-teman seluruh Stovia,” kata Roem dalam Bunga Rampai dari Sejarah Jilid 3.

 

 

Roem mengakui, bahwa perploncoan itu sudah bertahun-tahun dilaksanakan, tetapi belum pernah terdengar kejadian yang tidak sedap atau melampaui batas. Hal ini karena pengawasan yang ketat, sehingga ekses dapat dihindarkan.
“Pertama waktu-waktu dibatasi, tidak boleh memplonco di waktu belajar dan waktu istirahat. Masih banyak waktu di luar itu dan memang suasana ramai selama tiga bulan pertama itu,” kata Roem. Perploncoan berlangsung cukup lama sampai tiga bulan karena Stovia adalah sekolah berasrama.
Salah satu materi plonco yang rutin ditanyakan soal asal siswa. Waktu Roem menjawab orang Jawa, maka pertanyaan berikutnya apakah dia tahu alfabet Jawa. Kemudian dia harus mengucapkannya. Pertanyaan berikutnya, apakah dia dapat mengucapkan alfabet Jawa secara terbalik, dari belakang. Dia bisa, tapi sangat lambat. Seniornya meminta dia harus mengucapkannya sama lancarnya dari depan atau belakang. Malam itu, sesudah selesai pekerjaan sekolah (PR), dia masih memerlukan setengah jam lebih untuk menghapalkan alfabet Jawa dari belakang ke depan.
“Perploncoan itu hanya dijalankan dalam tembok sekolah dan asrama, dan plonco tidak boleh digunduli,” kata Roem.
Penggundulan masa perplocoan kemungkinan besar kali pertama dilakukan pada masa pendudukan Jepang. Menurut R. Darmanto Djojodibroto dalam Tradisi Kehidupan Akademik, mantan mahasiswa Ika Daigaku (Sekolah Kedokteran) –yang tidak disebutkan namanya– menyatakan bahwa kata perploncoan untuk pertama kali digunakan sebagai kata pengganti ontgroening.
“Kata perploncoan itu berasal dari kata plonco artinya kepala gundul. Hanya anak kecil yang berkepala gundul waktu itu, sehingga kata plonco mengandung arti seseorang yang belum mengetahui sesuatu mengenai kehidupan masyarakat dan dianggap belum dewasa, karena itu perlu sekali diberi berbagai petunjuk untuk menghadapi masa depan,” kata mahasiswa Ika Daigaku itu, sebagaimana dikutip Darmanto.
Pada masa revolusi kemerdekaan kegiatan perploncoan terus dilakukan, seperti di Universitas Indonesia pada April 1949. Selain di Jakarta, tulis Darmanto, semasa revolusi fisik itu, penggemblengan melalui perploncoan diselenggarakan di Klaten, Solo dan Malang, walaupun dalam suasana penuh kemelut, ikatan batin dan rasa setia kawan tidak pudar, bahkan membaja dalam durch Leide und Freude (duka dan suka).
Perploncoan dianggap sisa kolonialisme dan feodalisme, karenanya pernah terjadi penolakan. Menurut Darmanto, partai dan organisasi komunis seperti PKI dan CGMI menolak perploncoan karena menganggapnya sebagai tradisi kolonial, selain itu ada juga organisasi yang menolak berdasarkan alasan lain. Alhasil, perploncoan dilarang oleh pemerintah dan diganti namanya menjadi Masa Kebaktian Taruna (1963), Masa Prabakti Mahasiswa atau Mapram (1968), Pekan Orientasi Studi (1991), Orientasi Studi Pengenalan Kampus (Ospek), Orientasi Perguruan Tinggi (OPT), dan sekarang umumnya disebut Masa Orientasi Siswa (MOS). Tidak hanya namanya yang diubah tetapi penyelenggaranya juga institusi pendidikan serta wajib diikuti seluruh siswa dan mahasiswa baru.
Ironisnya, menurut Darmanto, jika saat masih bernama perploncoan kegiatan ini tidak pernah menghasilkan korban, setelah namanya diganti dengan maksud agar tidak bersifat kolonial dan feodal malah ada kejadian korban meninggal atau cedera.
“Sekali lagi ditekankan bahwa tujuan perploncoan adalah terciptanya keakraban di antara anggota masyarakat mahasiswa, para senior menjadi mentor yang junior,” tulis Darmanto. “Tujuan perploncoan bukan menciptakan cedera atau kematian mahasiswa baru.”*
[ Sumber : http://historia.id ]

Tidak ada komentar:

e-Newsletter Pendididkan @ Facebook :

Belanja di Amazon.com :

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.

PANDUAN VERIFIKASI AKUN PAYPAL ANDA KE REKENING BANK ANDA [KLIK DISINI]