Oleh : DONNY SYOFYAN
(Dosen FIB Universitas Andalas)
(Dosen FIB Universitas Andalas)
|
|
Karenanya, mengondisikan anak-anak kita menghabiskan
sebagian besar waktu mereka sehari-hari di pranata-pranata pendidikan
juga kurang bijak. Karena hal itu relatif sama dengan membiarkan mereka
hidup secara ‘artifisial’ dan kurang membumi (down to earth).
Ini selalu menarik untuk ditelaah karena pendidikan tak
akan terlepas dari bimbingan awal orang tua. Kerja sama antara orang
tua dan guru dalam pendidikan generasi muda memang lebih gampang
diucapkan daripada dijalankan. Keluhan yang kerap muncul adalah bahwa
orang tua kerap tidak mengetahui secara baik prinsip ini atau memang
enggan memenuhi peran mereka tersebut. Mengirim anak-anak ke sekolah
bagi kebanyakan orang tua menjadikan mereka beranggapan bahwa di saat
itu pendidikan menjadi tanggung jawab sekolah dan guru.
Pandangan orang tua seperti kentara sekali di
sekolah-sekolah dengan biaya yang mahal. Di sini banyak mereka
beranggapan bahwa, “Saya sudah membayar mahal Anda. Sekarang lakukan
pekerjaan Anda dengan benar dan berhenti mengeluh kepada orang tua.”
Kebanyakan guru merasa ‘sakit hati’ dengan sikap orang
tua murid seperti ini. Mereka merasa bahwa keberadaan guru sekadar
instrumen belaka dalam mekanisme pendidikan. Guru, bagaimanapun juga
harus dibayar atau digaji, dan tidak boleh hanya dipandang sebagai
instrumen dalam proses pendidikan. Guru bersama-sama orang tua harus
berperan sebagai wali anak-anak. Mereka harus dilihat sebagai mitra dari
orang tua, dan bukan instrumen dari sekolah dan orang tua.
Sayangnya banyak orang tua yang tidak menganggap serius
tugas dan peran mereka. Tindakan orang tua untuk mengirim anak-anak ke
TK pada usia yang sangat dini menjadi bukti kecenderungan demikian.
Seolah-olah para orang tua ini ingin menyingkirkan peran mereka sebagai
pendidik sedini mungkin.
Orangtua seperti itu melupakan bahwa peran pengasuhan
bukan sekadar melahirkan anak, seperti ditunjukkan oleh kata-kata Latin
parentem (orang yang melahirkan) dan parere (yang melahirkan).
Peranan serius orang tua sebetulnya terletak pada upaya
membimbing anak-anak dalam pertumbuhan menuju masa dewasa, memandu
mereka ke tahap di mana anak-anak mampu membuat keputusan moral
tentang diri sendiri dan bertanggung jawab dengan keputusan tersebut.
Banyak bukti menunjukkan bahwa kiprah orang tua dalam
mendidik anak-anak menentukan kualitas generasi muda yang dihasilkannya.
Hal ini amat terlihat dalam pertumbuhan afektif anak-anak. Setiap kali
orang tua dan guru bekerja sama dalam menanamkan nilai-nilai pada
anak-anak, maka kematangan anak-anak dalam ihwal estetika, sosial, dan
etika dengan mudah akan tercapai tanpa kendala yang berarti. Sebaliknya
ketika kerja sama tersebut kurang atau hilang, kedewasaan anak dalam
memahami dan menghormati norma-norma sosial, etika, dan estetika jauh
ketinggalan dan hanya tercapai setelah anak-anak mengalami kesusahan dan
penderitaan, atau boleh jadi tidak pernah dicapai sama sekali.
Para pengamat mengatakan bahwa di kota besar dan
masyarakat perkotaan hubungan antara orang tua dan guru hanyalah salah
satu instrumentalisme pendidikan. Tetapi dalam masyarakat pedesaan,
hubungan orang tua dan guru adalah persoalan kemitraan, tidak peduli
seberapapun kecilnya relasi tersebut. Masalahnya di sini adalah
bagaimana membuat orang tua menyadari peran mereka dalam mendidik anak
mereka dan bagaimana membuat mereka bersedia untuk memenuhi peran ini.
Tetapi karena dalam banyak rumah tangga ayah dan ibu harus bekerja, lalu
apa yang bisa dilakukan? Orang tua dalam setiap keluarga harus
menyesuaikan dan mencari jawaban mereka sendiri.
Ada sebuah prinsip umum. Dalam keterbatasan waktu yang
ada, orangtua harus menunjukkan kasih sayang mereka yang mendalam dan
minat yang tulus pada kesejahteraan dan masa depan anak-anak mereka.
Ini harus dilakukan dengan cara yang sesuai dengan kebutuhan dan
tuntutan anak-anak pada berbagai tahap perkembangan. Menunjukkan minat
dan kasih sayang kepada anak berusia lima tahun adalah satu hal, tetapi
memainkan pola pendidikan untuk anak-anak remaja berusia 18 atau 20
merupakan masalah yang sangat berbeda. Ini berarti bahwa orang tua
seharusnya tidak boleh sepenuhnya menghabiskan waktu mereka ke dalam
urusan pribadi semata. Ambisi karir seyogianya bukanlah alasan untuk
mengabaikan visi pembentukan anak-anak sebagai pemilik masa depan. Ini
menjadi penting bagi orangtua. Ketika kita menjadi seorang ayah dan
ibu, kita harus selalu ingat bahwa kita tidak lagi hidup untuk diri
sendiri. Pada akhirnya, kita juga hidup untuk anak-anak kita, terutama
selama tahap awal pertumbuhan mereka.
[Sumber : http://www.harianhaluan.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar