Oleh : NURHAYATI, S. PD
(Guru Bahasa Inggris Mtsn Simpang Empat,Pasaman Barat)
(Guru Bahasa Inggris Mtsn Simpang Empat,Pasaman Barat)
PEMERINTAH RI, melalui Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan sudah mencanangkan penerapan pendidikan
karakter untuk semua tingkat pendidikan, dari SD sampai perguruan
tinggi. Menurut Mendiknas, Prof. Muhammad Nuh, pembentukan karakter
perlu dilakukan sejak usia dini. Jika karakter sudah terbentuk sejak
usia dini, tidak mudah untuk mengubah karakter seseorang.
Munculnya gagasan program pendidikan karakter dalam
dunia pendidikan di Indonesia, bisa dimaklumi. Sebab, selama ini
dirasakan, proses pendidikan ternyata belum berhasil membangun manusia
Indonesia yang berkarakter. Bahkan, banyak yang menyebut, pendidikan
telah gagal membangun karakter.
Banyak lulusan sekolah dan sarjana yang piawai dalam
menjawab soal ujian, berotak cerdas, tetapi mentalnya lemah, penakut,
dan perilakunya tidak terpuji.
Bahkan, bisa dikatakan, dunia pendidikan di Indonesia
kini sedang memasuki masa-masa yang sangat pelik. Kucuran anggaran
pendidikan yang sangat besar disertai berbagai program terobosan
sepertinya belum mampu memecahkan persoalan mendasar dalam dunia
pendidikan. Yakni bagaimana mencetak alumni pendidikan yang unggul,
beriman, bertaqwa, profesional, dan berkarakter.
Dr. Ratna Megawangi, dalam bukunya, Semua Berakar Pada Karakter
(Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI, 2007), mencontohkan, bagaimana
kesuksesan China dalam menerapkan pendidikan karakter sejak awal tahun
1980-an. Menurutnya, pendidikan karakter adalah upaya untuk mengukir
akhlak melalui proses knowing the good, loving the good, and acting the good. Yakni, suatu proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, emosi, dan fisik, sehingga akhlak mulia bisa terukir menjadi habit of the mind, heart, and hands.
Dalam bukunya, Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global,
(2010), Doni Koesoema Albertus menulis, bahwa pendidikan karakter
bertujuan membentuk setiap pribadi menjadi insan yang berkeutamaan.
Dalam pendidikan karakter, yang terutama dinilai adalah perilaku, bukan
pemahamannya. Doni membedakan pendidikan karakter dengan pendidikan
moral atau pendidikan agama. Pendidikan agama dan kesadaran akan
nilai-nilai religius menjadi motivator utama keberhasilan pendidikan
karakter.
Tetapi, menurut Doni yang meraih sarjana teologi di
Universitas Gregoriana Roma Italia, agama tidak dapat dipakai sebagai
pedoman pengatur dalam kehidupan bersama dalam sebuah masyarakat yang
plural.
“Di zaman modern yang sangat multikultural ini,
nilai-nilai agama tetap penting dipertahankan, namun tidak dapat dipakai
sebagai dasar kokoh bagi kehidupan bersama dalam masyarakat. Jika nilai
agama ini tetap dipaksakan dalam konteks masyarakat yang plural, yang
terjadi adalah penindasan oleh kultur yang kuat pada mereka yang lemah,”
tulisnya. Oleh karena itu, simpul Doni K. Albertus, meskipun
pendidikan agama penting dalam membantu mengembangkan karakter individu,
ia bukanlah fondasi yang efektif bagi suatu tata sosial yang stabil
dalam masyarakat majemuk. Dalam konteks ini, nilai-nilai moral akan
bersifat lebih operasional dibandingkan dengan nilai-nilai agama. Namun
demikian, nilai-nilai moral, meskipun bisa menjadi dasar pembentuk
perilaku, tidak lepas dari proses hermeneutis yang bersifat dinamis dan
dialogis.
Harap maklum, konon, orang Indonesia dikenal piawai dalam menyiasati
kebijakan dan peraturan. Ide UAN, mungkin bagus! Tapi, di lapangan,
banyak yang bisa menyiasati bagaimana siswanya lulus semua. Sebab, itu
tuntutan pejabat dan orangtua. Guru tidak berdaya. Kebijakan sertifikasi
guru, bagus! Tapi, karena mental materialis dan malas sudah bercokol,
kebijakan itu memunculkan tradisi berburu sertifikat, bukan berburu
ilmu! Bukan tidak mungkin, gagasan pendidikan karakter ini nantinya
juga menyuburkan bangku-bangku seminar demi meraih sertifikat pendidikan
karakter, untuk meraih posisi dan jabatan tertentu. [Sumber Harian Haluan Rabu, 28 November 2012]
Artikel Terkait :
Sebagai Muslim, kita tentu tidak sependapat dengan
pandangan Doni K. Albertus semacam itu. Sebab, bagi muslim, nilai-nilai
Islam diyakini sebagai pembentuk karakter dan sekaligus bisa menjadi
dasar nilai bagi masyarakat majemuk. Masyarakat Madinah yang dipimpin
Nabi Muhamamd SAW, berdasarkan kepada nilai-nilai Islam, baik bagi
pribadi muslim maupun bagi masyarakat plural. Tentu kita memahami
pengalaman sejarah keagamaan yang berbeda antara Katolik dengan Islam.
Namun, dalam soal pendidikan karakter bagi anak didik,
berbagai agama bisa bertemu. Islam dan Kristen dan berbagai agama lain
bisa bertemu dalam penghormatan terhadap nilai-nilai keutamaan. Nilai
kejujuran, kerja keras, sikap ksatria, tanggung jawab, semangat
pengorbanan, dan komitmen pembelaan terhadap kaum lemah dan tertindas,
bisa diakui sebagai nilai-nilai universal yang mulia. Bisa jadi,
masing-masing pemeluk agama mendasarkan pendidikan karakter pada nilai
agamanya masing-masing.
Terlepas dari perdebatan konsep-konsep pendidikan
karakter, bangsa Indonesia memang memerlukan model pendidikan semacam
ini. Sejumlah negara sudah mencobanya. Indonesia bukan tidak pernah
mencoba menerapkan pendidikan semacam ini. Tetapi, pengalaman
menunjukkan, berbagai program pendidikan dan pengajaran – seperti
pelajaran budi pekerti, Pendidikan Pancasila dan Kewargaan Negara
(PPKN), Pendidikan Moral Pancasila (PMP), Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (P4), – belum mencapai hasil optimal, karena
pemaksaan konsep yang sekularistik dan kurang seriusnya aspek
pengalaman.
Dan lebih penting, tidak ada contoh dalam program itu!
Padahal, program pendidikan karakter, sangat memerlukan contoh dan
keteladanan. Kalau hanya slogan dan ’omongan’, orang Indonesia dikenal
jagonya!
Artikel Terkait :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar