GURU SEJATINYA TETAP KUNCI DALAM PROSES PEMBELAJARAN. NAMUN, SEBAGAI AGEN PERUBAHAN, GURU DITUNTUT HARUS MAMPU MELAKUKAN VALIDASI MEPERBAHARUI KEMAMPUANNYA, SESUAI DENGAN TUNTUTAN ZAMAN AGAR TIDAK TERTINGGAL

Loading...
 

Minggu, 09 September 2012

Di “Cerita dari Tapal Batas”, Nasionalisme Kita Diuji



Oleh Ade Irwansyah

APAKAH nasionalisme itu? Hans Kohn, dalam bukunya yang sudah jadi klasik Nasionalisme: Akar dan Sejarahnya (pertama terbit 1955) mengatakan, nasionalisme adalah suatu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan.

Defenisi itu menemukan ujiannya bila kita menengok film dokumenter yang masuk nominasi Film Dokumenter Terbaik Festival Film Indonesia 2011 ini, Cerita dari Tapal Batas. Di film ini kita diajak menengok lebih dalam bagaimana rasanya hidup di daerah terluar Indonesia, di pelosok Kalimantan yang berbatasan dengan Malaysia.

Kita melihat perjuangan seorang guru SD bernama Martini yang sudah 8 tahun mengajar di desa Badat Baru, kecamatan Entikong, Kalimantan Barat. Butuh 8 jam perjalanan melewati sungai bagi Martini untuk sampai di sekolah tempatnya mengajar. Itu bila perjalanan normal. Bila sungai sedang tak akrab padanya, ia harus melewati riam sungai dengan menarik sampan bersama penumpang lain. Bayangkan menarik sampan panjang di sungai yang lebih cocok jadi atraksi arung jeram. Tapi begitulah keadaan yang harus dijalani Martini demi mengabdikan diri mengajari murid-muridnya, mengingatkan kalau mereka masih tinggal di wilayah negara yang bernama Indonesia, dengan tiang bendera di tengah lapangan memasang bendera Indonesia selama 24 jam.

Di sekolah, Martini tak sekadar jadi guru di beberapa kelas sekaligus. Ia juga jadi kepala sekolah, penjaga sekolah, sampai pesuruh. Semua dilakukannya sendiri dibantu seorang tenaga honorer. Dikatakannya, tak ada guru di sekolah itu yang bersedia bertahan lebih lama darinya.

 

 

Dan, ah, memang siapa yang bisa tahan hidup menderita di desa itu kecuali ia sosok super macam Martini. Bayangkan saja, setelah perjalanan jauh 8-12 jam mengarungi sungai, ia harus tinggal di rumah dinas yang bagi ukuran manapun rasanya tak layak dihuni manusia. Rumah panggung dari kayu itu sudah reyot. Belum ada listrik masuk desa itu. Dan tengok tempat buang hajat di rumah itu. Duh, Gusti...

Tapi Martini tak bergeming. Ia tetap mengajar dengan keterbatasan yang ada. Ia tetap mengajar walau sekolahnya juga mulai digerogoti rayap, rusak dimakan usia. Lantai kayu dan papan tulis di kelas bolong-bolong. Tapi kita tengok pula ada tumpukan sak semen di depan kelas. Tentu dalam benak kita muncul sedikit harap, “Oh, ternyata ada perhatian dari pemerintah memperbaiki ruangan sekolah.” Nyatanya bukan. “Semen-semen itu untuk membangun perpustakaan,” bilang Martini pada kita.

Sungguh ironis. Alih-alih membuat rumah dinas yang lebih nyaman bagi guru yang sudah mengabdi, pemerintah menganggarkan hingga puluhan juta membangun perpustakaan. Yang lebih dipedulikan adalah buku-buku yang jumlahnya tak seberapa (kita melihat tumpukan buku di lantai). “Buat saya, itu seperti penghinaan,” kata Martini. Kita mendengar kalimat itu sambil terasa nada kegeraman di dalamnya. Kita melihatnya marah. Tapi di saat sama, kita melihat keteguhan. Walau disia-siakan, tak diperhatikan, bahkan dihina, Martini tetap tak bergeming untuk tetap mengajar.

Selepas Martini, kita bertemu Kusnadi. Ia mantri kesehatan yang tugasnya menjelajahi dusun-dusun terluar di perbatasan Indonesia, mengobati penduduk yang sakit. Selain pendidikan, kesehatan juga masalah genting di dusun-dusun terluar negeri kita. Untuk pergi berobat ke kecamatan, butuh belasan jam perjalanan melewati hutan dan sungai. Belum lagi biaya yang tak sedikit. Menyewa perahu dan mengongkosi bensin serta makan, ongkos yang dikeluarkan bisa sampai Rp 2 juta. Bagi penduduk yang miskin, sangat tak masuk akal bila hendak ke puskesmas di kecamatan karena demam bila harus bayar ongkos Rp 2 juta.

Di sini peran Kusnadi sangat penting. Memanggul obat-obatan, ia datang dari satu dusun ke dusun mengobati penduduk yang sakit. Mulai dari darah tinggi, demam, hingga malaria. Seperti pada Martini, ia juga tak mengharapkan pamrih. Melihat penduduk sehat saja, baginya sudah senang.
 
Sejatinya, peran Kusnadi tak sekadar mengobati penduduk yang sakit. Keberadaannya juga merupakan pesan bagi penduduk di dusun-dusun terluar tersebut, yang jauh dari kota kecamatan, kalau masih ada yang perhatian pada kesehatan mereka. Bayangkan bila orang semacam Kusnadi suatu kali sakit, atau lebih parah lagi, ia tak mau melanjutkan pekerjaannya lantaran medan yang harus dilaluinya demikian.

Ah, medan yang berat. Bukankah ini inti persoalannya. Cerita dari Tapal Batas kemudian ditarik pada persoalan makro: ketiadaan infrastruktur membuat masyarakat di dusun-dusun terluar ini hidup terbelakang. Yang dibutuhkan penduduk sebetulnya sederhana saja. Mereka ingin ada jalan yang enak untuk dilalui menuju desa mereka.

Tapi tengok yang terjadi. Lebih mudah jalan ke negeri jiran ketimbang jalan ke negeri sendiri. Alhasil, secara ekonomi penduduk tak bergantung pada tanah airnya, tapi pada Malaysia. Setiap hasil tani dan ladang dijual ke Malaysia. Akibatnya, mereka lebih kenal ringgit daripada rupiah.
 
Begitu pun soal pendidikan. Kita melihat seorang bertutur saudaranya kiti memilih menyekolahkan putranya ke Malaysia ketimbang di negeri sendiri. Dan seperti dikatakannya pula, setahun sekolah di Malaysia perkembangan sang anak maju pesat.

Pada titik ini kita merasa nasionalisme kita diuji. Selama ini, kita berteriak dengan gaduh karena geram berbagai kesenian maupun budaya kita diklaim Malaysia. Melihat film dokumenter ini, apa yang kita ributkan setiap kali geram pada Malaysia terasa konyol. Di tapal batas negeri kita, nyatanya Malaysia lebih memberi penghidupan pada penduduk Indonesia. Kita beberapa kali mendengar penduduk bersaksi lebih kenal Malaysia ketimbang Indonesia.

Apa defenisi Kohn tentang nasionalisme salah? Tidak, bukan defenisinya yang salah. Namun, seperti disyaratkan Kohn ada muasal dari sikap nasionalistis seseorang. Unsur yang terpenting nasionalisme, kata Kohn, adalah kemauan hidup bersama yang nyata.
Kohn melanjutkan:

Kemauan inilah yang kita namakan nasionalisme, yakni suatu paham yang memberi ilham kepada sebagian terbesar penduduk dan yang mewajibkan dirinya untuk mengilhami segenap anggota-anggotanya. Nasionalisme menyatakan bahwa negara kebangsaan adalah cita dan satu-satunya bentuk sah dari organisasi politik dan bahwa bangsa adalah sumber daripada semua tenaga kebudayaan kreatif dan kesejahteraan ekonomi.”

Kita tahu, nasionalisme Indonesia, dan begtu pula Malaysia, lahir dari ciptaan kolonialisme. Sebuah periode—yang mengutip Daniel Dhakidae di Prisma (Oktober 2009)—“merdeka berdarah” telah melahirkan Indonesia, sedang “merdeka hadiah” telah melahirkan Malaysia. Kolonialisme telah membagi pulau Kalimantan (atawa Borneo) yang satu jadi milik dua negara (tiga, bila diikutkan dengan Brunei Darussalam). Masyarakat yang berasal dari suku yang sama, punya nenek moyang serta tadisi dan kebudayaan dari leluhur yang sama, mendadak dipisahkan batas negara. Kesetiaan nasionalisme mereka dibelokkan pada negara yang berlainan, satu ke Indonesia, satu lagi ke Malaysia.

Dari sini kita jadi ingat pada tesis Benedict Anderson di buku lain tentang nasionalisme yang juga sudah jadi klasik, Imagined Communities: Refelections on the Origins and Spread of Nationalism (pertama terbit 1983). Dikatakan Anderson, bangsa atawa nasionalisme berasal dari komunitas yang dibayangkan (imagined communities). Lebih jauh ia mengatakan, bangsa itu dibayangkan karena anggotanya tidak akan pernah mengenal satu sama lain, tetapi dalam benak tiap anggota itu, hidup suatu bayangan mengenai keterkaitan antara mereka. Saya bertanya-tanya, bila tak ada bayangan maupun kehadiran negeri ini di daerah terluar kita, masihkah tesis bangsa sebagai “komunitas yang dibayangkan” valid? Apakah ada Indonesia dalam benak penduduk di dusun-dusun terluar kita, bila mereka nyatanya lebih manggantungkan hidupnya pada negeri jiran?

Dari uraian lebih jauh Dhaniel Dhakidae di Prisma (Oktober 2009) kita diingatkan Malaysia dirindukan oleh rakyat biasa yang tak punya pekerjaan, yang tak diakui, dan malah diperas di dalam negerinya sendiri. Malaysia tetap jadi magnit bagi rakyat kecil. Walaupun, dalam kasus penyiksaan pada pekerja kita di Malaysia, terlihat kenyataan yang manis telah jadi cuka.

Tapi, di masyarakat atas, terutama bagi yang tinggal di kota besar, macam Jakarta, dengan akses pada pendidikan dan kesehatan lebih terjamin, Malaysia dibenci hingga ke ubun-ubun. Iklan pariwisata Malaysia yang memerlihatkan batik dan reog sekelebatan pun menimbulkan kegeraman di Facebook dan Twitter. Pangkal soal kegeraman itu ditengarai bukan lantaran orang kota lebih nasionalis. Dalam kegeraman itu ada terbersit rasa iri karena Malaysia ekonominya lebih makmur, penduduknya lebih diurus. Malaysia, bagi masyarakat lapisan atas, adalah pesan tentang kegagalan bangsa ini menghidupi anak-anaknya sendiri. Ditulis Dhakidae, Malaysia dengan demikian tampil sebagai alter ego, menjadi cermin yang membuka bopeng bangsa ini. Dan sudah jadi nasib cermin, bila buruk rupa, cermin yang dibelah. Kita marah pada Malaysia.

Oleh karena itu, film ini mengingatkan kita tak usahlah menghancurkan cermin, mencela Malaysia. Persoalannya ada pada negeri ini yang salah urus. Film ini memerlihatkan, bukannya membangun jalan, membelah bukit dan hutan membuka jalur ke dusun-dusun terluar, atau sekadar memperbaiki nasib guru, negara malah membangun perpustakaan yang belum diperlukan.

Tengok pula nasib seorang perempuan Singkawang bernama Ella di film ini. Hidup miskin membawanya jai korban trafficking. Seorang saudaranya, menjanjikan “pekerjaan” sebagai istri orang Taiwan. Ia diiming-imingi hidup enak. Ella beruntung masih bisa bercerita pada kita. Nasib kawan-kawannya, yang dijual bersamanya, tak ketahuan nasibnya. Bagi Ella, seperti juga bagi penduduk dusun-dusun di perbatasan Malaysia, negeri tempat ia tinggal tak bisa diharapkan menjanjikan penghidupan lebih baik. Menikahi orang Taiwan malah jadi jalan keluar dari lingkaran kemiskinan.

Di awal film karya Wisnu Adi ini kita mendengar Darius Sinathrya berujar, “Sebuah kisah harus dikatakan... sebuah kisah harus didengarkan... sebuah cerita harus dituliskan.” Memang harus ada yang mengatakan dan memerlihatkan pada kita semua—terutama orang kota yang tinggal di sisi paling dalam, paling dekat dengan pusat kekuasaan sebuah negeri bernama Indonesia—sebuah potret saudara kita di sisi terluar sana.

Pada titik ini, film Cerita dari Tapal Batas menemukan signifikansinya.***

PRODUCTION DETAILS AND CREDIT LIST

Title : CERITA DARI TAPAL BATAS
Color, Digital, Stereo
Running time : 87 mins

CREW

Production Companies : Keana Production & Communication
Publicist : Andi Apriatna
Hubert Aria Ximenes Famosando
Narrator : Darius Sinathrya
Sound Designer : Sutan Siagian
Music : Thoersi Argeswara
Theme Song : “Menjadi Indonesia” by Efek Rumah Kaca
Editor : Waluyo Ichwandiardono
Director of Photography : Anggi Frisca
Creative Supervision : Yudi Datau
Line Producer : Bernard Leopold Tanya
Executive Producer : Marcella Zalianty
Producer : Ichwan Persada
Director : Wisnu Adi

Telah beredar dalam format DVD (premium)
Diproduksi oleh Jive Collection

Facebook Page : Cerita dari Tapal Batas
Twitter : @TapalBatas1 @ichwanpersada


Tidak ada komentar:

e-Newsletter Pendididkan @ Facebook :

Belanja di Amazon.com :

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.

PANDUAN VERIFIKASI AKUN PAYPAL ANDA KE REKENING BANK ANDA [KLIK DISINI]