Oleh : ELFINDRI
(Profesor Ekonomi SDM Unand)
Mengajarkan kewirausahaan menyiapkan peserta didik untuk memilih menjadi self employed, bukan utamanya menjadi pekerja dengan upahan dengan orang lain atau perusahaan, (Elfindri, 2011)
Akhir akhir ini timbul kesadaran akan kenyataan bahwa pengangguran sarjana semakin meningkat. Jika pengangguran terbuka pada kisaran 7,5 persen pada tahun 2011, angka pengangguran sarjana ditemukan pada kisaran 5-40 persen, dan pengangguran untuk bidang-bidang tertentu bahkan sudah lebih tinggi dan mengkhawatirkan. Oleh karenanya mesti dilakukan cara untuk mengatasi hal ini.
Tingginya pengangguran sarjana disebabkan karena terbatasnya lapangan kerja formal, dan fresh graduates tidak siap untuk bekerja secara mandiri. Pengalaman negara maju, seperti Amerika Serikat dan Singapura, menunjukkan jumlah mereka yang mampu bekerja sebagai self employed adalah sekitar 2,5-5 persen dari total angkatan kerja. Sementara data nasional menunjukkan bahwa Indonesia baru memiliki para entrepreneur sekitar 0,7 persen dari total angkatan kerja.
Dari sisi pengembangan di perguruan tinggi, konvensi synergy-Bussiness-Intelectual-Government (BIG) telah pula disambut mentri pendidikan nasional, sebagai sebuah strategi gerakan untuk melahirkan wirausahawan terdidik. Dengan membentuk satuan tugas di tingkat direktorat pendidikan tinggi. Ditargetkan setiap tahun akan melahirkan sebanyak 500.000 wirausahawan baru sampai tahun 2014, dan sebanyak 5 juta orang sampai tahun 2025.
Mengingat kenyataan demikian, maka proses pendidikan dan hidup generasi yang akan datang mesti mendorong agar mampu menjadi wirausahawan. Persoalannya adalah dimana proses yang menyebabkan mereka menjadi wirasuahawan? Lebih khusus pada pendidikan pendidikan tinggi?
Unand akan besar sekiranya mampu menghasilkan kekhasan, dimana para alumninya semakin kuat dan sanggup menjadi wirausahawan yang baik, selepas melalui proses pendidikan. Pertanyaannya adalah dimensi mana pendidikan wirausaha itu? Bagaimana menghasilkan value wirausaha dalam system pendidikan yang ada di pendidikan tinggi, dan bagaimana strategi dan metoda pembelajaran di Unand untuk menghasilkan wirasuahwan yang diinginkan? Tulisan singkat ini berbagi dan mengemukakan gagasan.
Dimana Dimensi “Ranah” Wirausaha?
Kewirausahaan dari sisi pedagogi masuk ke seluruh ranah, kognitif, psikomotorik, soft skills dan karakter (Elfindri, Lilik Hendrajaya dan Henmaidi, 2011).
Kita mengenal ada beberapa hak dan keperluan manusia agar bisa bertahan. Salah satunya adalah hak untuk memperoleh pendidikan. Oleh karena pendidikan akan menghasilkan banyak manfaat di kemudian hari. Dari berbagai dimensi pendidikan yang diperoleh manusia, maka beberapa unsur mesti lengkap diperoleh, diantaranya adalah pemenuhan aspek kognitif, aspek psikomotorik (keterampilan), dan aspek soft skills. Kognitif dan psikomotorik adalah masuk ke dalam dimensi hard skills. Sementara dimensi soft skills adalah aspek-aspek perangkat lunak yang dimiliki oleh manusia yang dapat menghasilkan kebermanfaatan dari kognitif dan soft skills tadi.
Jiwa wirasuaha adalah bagian dari aspek soft skills, disamping dari kemampuan komunikasi, teamwork, kerjakeras, integritas, risk taker, serta beberapa aspek penunjang lainnya. Oleh karenanya dimensi kewirausahaan akan semkin lengkap ketika unsur unsur soft skills lainnya juga diperoleh secara baik, baik yang turun secara genetis, maupun yang dipelajari dari pendidikan di rumah, sekolah dan lingkungan.
Pendidikan bisnis berbeda dengan pendidikan wirausaha. Menurut Blawatt (1998) dikutip oleh Buang dan Murni (2006) bahwa peranan pendidikan bisnis bertujuan supaya pelajar dapat memahami prinsip bisnis, kaedah dan teknik untuk mengoperasikan perusahaan, belajar melalui pengalaman orang lain dalam bidang bisnis dan menggabungkan prinsip, kaedah dan pengetahuan bisnis untuk diaplikasikan dalam pengelolaan perusahaan. Sehingga pengajaran bisnis akan melahirkan kemahiran yang dapat digunakan oleh majikan.
Sementara pendidikan kewirausahaan menurut Blawatt (1998) mempunyai tujuan yang lebih luas dan menyeluruh yang meliputi orientasi pendidikan bisnis dan gabungan pembangunan orientasi diri menjadi wirausaha.. Pendidikan wirausaha terfokus kepada pencarian peluang bisnis, kreatif dan produktif. Sehingga tidak salah kita menyimpulkan penyiapan pendidikan kewirausahaan adalah membentuk watak dan karakter, ini dihasilkan tidak saja dalam pengajaran, tetapi dalam proses learning, aplikasi dan berulang ulang dikerjakan sehingga suatu saat menjadi suatu dimensi karakter.
Pertanyaannya adalah apa beda wirausaha dengan karakter? Jika wirausaha masih dalam domain otak kanan, sesuatu sifat yang tumbuh dari proses pendidikan, sementara karakter kewirausahaan adalah pembiasaan yang tumbuh dari proses yang berulang ulang diterima oleh seseorang sebagai akibat dari proses pendidikan, proses pemahaman hidup, penglihatan, pendengaran, wisdom, dan “jam terbang”. Oleh karenanya, sekiranya kita hanya menganggap kewirausahaan adalah hanya sebagai dimensi kognitif, maka dia hanya diajarkan di dalam kelas, untuk mengetahui tentang perkembangan teori, perkembangan metodologi dan contoh contoh. Untuk yang bersikap dimana wirausaha hanya dalam bentuk kognitif, maka tambahan pengajaran hanyalah untuk menambah wawasan dari peserta didik. Inilah yang banyak dipraktekan dalam pembelajaran kewirausahaan selama ini.
Tambahan wawasan kewirausahaan juga bisa diperoleh dari mendengar seringkali dan bertukar pikiran dari mereka mereka yang pernah menjadi sukses dalam berwirausaha. Dalam konteks ini, kembali, hasil yang diperoleh adalah masih dalam konsep pemahaman, dan saat bersamaan tumbuhnya soft skills.
Oleh karenanya, dimensi manakah kewirausahaan yang diperlukan pada masa yang akan datang. Maka dimensi dimana jiwa wirausaha yang sudah terbiasa dan dalam pembiasaan pola dan tingkah laku dalam bekerja. Sehingga dengan tertanamnya internalisasi ini menjadikan sikap dan perilaku orang akan semaki mandiri. Kelak, ketika bekerja sebagai pekerja individu, maka mereka akan menjadi wirausahawan ekonomi.
Jika kelompok ini mengelola bidang social akan melahirkan apa yang kita dengan sebagai social enterpreunerships. Demikian juga ketika bekerja sebagai karyawan atau pegawai negeri, maka pekerjaan sebagai buruh dan pegawai negeri, menjadi enterpreuner pegawai negeri. Oleh karenanya, wirausaha lebih kepada pembiasaan, sehingga sangat penting menginternalisasinya ke dalam system pembelajaran.
Hanya sedikit dari dosen yang pernah merasakan dan menjadi wirausaha, temuan yang sama dilakukan oleh Buang dan Murni (2006:185) bahwa banyak yang mengajarkan kewirausahaan adalah pengajaran bisnis baik di sekolah menengah kejuruan maupun di perguruan tinggi. Pada kasus seperti ini diduga pembelajaran wirausaha terjebak dengan ‘sindrom kognitif’. Dimana cara pandang bahwa mengajarkan kewirausahaan hanya menganggap sebagai bahan ajar kewirausahaan untuk diketahui. Sehingga sasaran pembelajarannya hanyalah untuk peningkatan aspek kognitif.
Proses berikutnya telah pula dilakukan berbagai bentuk pembelajaran dimana menonjolnya pendidikan karakter ‘charakter education”. Setidaknya dalam 3 tahun terakhir, telah pula dilaksanakan kuliah umum kewirausahaan. Setidaknya sekitar 50 kali pertemuan antara para wirausahawan sukses dalam bentuk seminar atau kuliah umum yang dihadiri oleh mahasiswa dan dosen. Proses ini cukup berjalan dengan waktu yang cukup terbatas. Proses pertemuan berupa tatap muka dalam kelas, dan tanya jawab. Sehingga unsur kognitif kewirausahaan juga lebih menonjol, namun juga sering menimbulkan berbagai aspek yang menyebabkan “inspiring” dan “trigerring” agar peserta terinspirasi, Sekali lagi, usaha ini bermanfaat, namun jelas masih pada taraf kognitif.
Bentuk lain yang dikembangkan adalah tersedianya dana “kompetisi” untuk beberapa orang dosen yang aktif dalam membina anak didik peserta program menumbuhkan kewirausahaan ini. Dari pelaksanaan dua tahun anggaran terakhir, 2008-2009, memperlihatkan bahwa proses dan desain pendidikan kewirausahaan dilakukan dengan persiapan yang terbatas, baik dari pembimbing dan mahasiswa yang ikut. Evaluasi implementasi di Kopertis Wilayah X, memperlihatkan program kewirausahaan mahasiswa juga mengalami kendala yang besar, diperkirakan hanya 40 persen dari pembentukan kelompok yang menujukkan keberhasilan, dalam dimensi establish usaha dan perkembangan.
Sementara sisa kelompok usaha yang dikembangkan mengalami mati suri. Mati surinya inisiasi usaha mahasiswa melalui skim kegiatan ini disebabkan karena dua hal. Pertama kurangnya peranan pendamping dari dosen, karena dosen yang aktif sangat terbatas pengalaman kerjanya dalam menjalankan “business”. Selain dari sisi mahasiswa kegagalan terutama karena kesalahan dalam memilih usaha, ketekunan yang terbatas, termasuk ‘kekurangjujuran.
Menyadari hal ini Unand Entrepreunership Center (UEC) juga dbentuk wadahnya. Tugas utama adalah melaksanakan kegiatan akademik tentang kewirausahaan, dan diharapkan dapat mengembangkan bentuk kegiatan ‘magang’ bagi mahasiswa dari kegiatan yang disusun bersama oleh UEC. Kegiatan UEC juga masih terbatas, dan masih mengembangkan bentuk bentuk pengembangan diri dan fungsi. Apapun yang sudah dilakukan selama ini adalah upaya yang perlu dilanjutkan. Namun sangat ditegaskan bahwa pembelajaran kewirausahaan masih terjebak dengan syndrom kognitif. Diperlukan pengembangan bahan, content, tahapan pembelajaran, dan sistem keberlangsungan. Agar Unand dapat menjadikan kewirausahaan sebagai salah satu ‘niece’ dari kekuatan proses pembelajaran yang ada.
Fakultas dan jurusan yang berminat dapat merumuskan keempat tujuan sebagai bagian dari tujuan yang khas, karena dengan demikian akan dapat seiring dengan pengembangan bahan, persiapan labor, persiapan dosen dan isntruktur, penilaian mahasiswa, dan juga implikasi proposal bersaing untuk pengembangan bisnis kecil oleh mahasiswa sebagai salah satu pengembangan.
Untuk menjadikan pendidikan kewirausahaan berjalan dengan sebagaimana yang diinginkan, 3 bentuk tahapan diperlukan. Pertama adalah tahapan dalam menghasilkan wirausaha dalam proses pendidikan dengan tiga tahap (a) Pembenihan; (b) Penempatan; (c) Pengembangan. Buku Rhenald Kasali (2010) Wirausaha Mandiri: ketika Anak sekolah berbisnis, gramedia dapat memberikan inspirasi terhadap anak anak berhasil menjadi wirausaha selepas di perguruan tinggi. Demikian juga buku Nanang Qosim Yusuf (2009) sebaliknya menjelaskan bagaimana tahapan Jejak-jejak Makna Basrizal Koto menjadi entrepreneur mulia. Termasuk penjelasan yang mendalam buku Elfindri dkk. (2010) tentang beberapa suku Minang yang berhasil dalam mengembangkan bisnis dari kecil sampai besar.
Human Enterpreneur Index
Untuk mewujudkan hal ini, maka mesti dapat dimulai dengan memetakan mahasiswa semenjak masuk ke perguruan tinggi. Human Enterpreneur Index (HEI) dapat digunakan sebagai dasar untuk penetapan proses identifikasi. Untuk keperluan ini Unand dapat mengembangkan system informasi HEI, sehingga peta akan kondisi awal dari mahasiswa dapat diketahui. Pada tahap ini, baik dosen pengasuh dan instruktur juga melalui proses ini, terlebih dahulu diketahui sampai seberapa tingkat pencapaian HEI.
Pada tahap ini, agar hasil berguna dan proses belajar semakin membaik dari waktu ke waktu, maka diperlukan: (a). Penyusunan dan pengembangan materi dan bahan ajar, (b). Penyusunan metoda pembelajaran, (c). Pengembangan tenaga dosen dan praktisi, (d). Pengembangan bidang pembelajaran, dan e. Pengembangan aspek legal
Seluruh tahap ini dilihatkan dalam Tabel 1 di atas, dan sebuah catatan bahwa jika kita ingin menonjolkan kekhasan di masing masing PT, maka pembelajaran kewirausahaan tidak dapat pelajaran 3 SKS, namun minimal 9 SKS seperti yang ditampilkan dan diusulkan dalam table 1 di atas. Persiapan dan pematangan ke arah ini menjadi atensi utama.
[Sumber : Harian Haluan, Kamis 15 Maret 2012]
Baca Juga :
(Profesor Ekonomi SDM Unand)
> |
Akhir akhir ini timbul kesadaran akan kenyataan bahwa pengangguran sarjana semakin meningkat. Jika pengangguran terbuka pada kisaran 7,5 persen pada tahun 2011, angka pengangguran sarjana ditemukan pada kisaran 5-40 persen, dan pengangguran untuk bidang-bidang tertentu bahkan sudah lebih tinggi dan mengkhawatirkan. Oleh karenanya mesti dilakukan cara untuk mengatasi hal ini.
Tingginya pengangguran sarjana disebabkan karena terbatasnya lapangan kerja formal, dan fresh graduates tidak siap untuk bekerja secara mandiri. Pengalaman negara maju, seperti Amerika Serikat dan Singapura, menunjukkan jumlah mereka yang mampu bekerja sebagai self employed adalah sekitar 2,5-5 persen dari total angkatan kerja. Sementara data nasional menunjukkan bahwa Indonesia baru memiliki para entrepreneur sekitar 0,7 persen dari total angkatan kerja.
Dari sisi pengembangan di perguruan tinggi, konvensi synergy-Bussiness-Intelectual-Government (BIG) telah pula disambut mentri pendidikan nasional, sebagai sebuah strategi gerakan untuk melahirkan wirausahawan terdidik. Dengan membentuk satuan tugas di tingkat direktorat pendidikan tinggi. Ditargetkan setiap tahun akan melahirkan sebanyak 500.000 wirausahawan baru sampai tahun 2014, dan sebanyak 5 juta orang sampai tahun 2025.
Mengingat kenyataan demikian, maka proses pendidikan dan hidup generasi yang akan datang mesti mendorong agar mampu menjadi wirausahawan. Persoalannya adalah dimana proses yang menyebabkan mereka menjadi wirasuahawan? Lebih khusus pada pendidikan pendidikan tinggi?
Unand akan besar sekiranya mampu menghasilkan kekhasan, dimana para alumninya semakin kuat dan sanggup menjadi wirausahawan yang baik, selepas melalui proses pendidikan. Pertanyaannya adalah dimensi mana pendidikan wirausaha itu? Bagaimana menghasilkan value wirausaha dalam system pendidikan yang ada di pendidikan tinggi, dan bagaimana strategi dan metoda pembelajaran di Unand untuk menghasilkan wirasuahwan yang diinginkan? Tulisan singkat ini berbagi dan mengemukakan gagasan.
Dimana Dimensi “Ranah” Wirausaha?
Kewirausahaan dari sisi pedagogi masuk ke seluruh ranah, kognitif, psikomotorik, soft skills dan karakter (Elfindri, Lilik Hendrajaya dan Henmaidi, 2011).
Kita mengenal ada beberapa hak dan keperluan manusia agar bisa bertahan. Salah satunya adalah hak untuk memperoleh pendidikan. Oleh karena pendidikan akan menghasilkan banyak manfaat di kemudian hari. Dari berbagai dimensi pendidikan yang diperoleh manusia, maka beberapa unsur mesti lengkap diperoleh, diantaranya adalah pemenuhan aspek kognitif, aspek psikomotorik (keterampilan), dan aspek soft skills. Kognitif dan psikomotorik adalah masuk ke dalam dimensi hard skills. Sementara dimensi soft skills adalah aspek-aspek perangkat lunak yang dimiliki oleh manusia yang dapat menghasilkan kebermanfaatan dari kognitif dan soft skills tadi.
Jiwa wirasuaha adalah bagian dari aspek soft skills, disamping dari kemampuan komunikasi, teamwork, kerjakeras, integritas, risk taker, serta beberapa aspek penunjang lainnya. Oleh karenanya dimensi kewirausahaan akan semkin lengkap ketika unsur unsur soft skills lainnya juga diperoleh secara baik, baik yang turun secara genetis, maupun yang dipelajari dari pendidikan di rumah, sekolah dan lingkungan.
Pendidikan bisnis berbeda dengan pendidikan wirausaha. Menurut Blawatt (1998) dikutip oleh Buang dan Murni (2006) bahwa peranan pendidikan bisnis bertujuan supaya pelajar dapat memahami prinsip bisnis, kaedah dan teknik untuk mengoperasikan perusahaan, belajar melalui pengalaman orang lain dalam bidang bisnis dan menggabungkan prinsip, kaedah dan pengetahuan bisnis untuk diaplikasikan dalam pengelolaan perusahaan. Sehingga pengajaran bisnis akan melahirkan kemahiran yang dapat digunakan oleh majikan.
Sementara pendidikan kewirausahaan menurut Blawatt (1998) mempunyai tujuan yang lebih luas dan menyeluruh yang meliputi orientasi pendidikan bisnis dan gabungan pembangunan orientasi diri menjadi wirausaha.. Pendidikan wirausaha terfokus kepada pencarian peluang bisnis, kreatif dan produktif. Sehingga tidak salah kita menyimpulkan penyiapan pendidikan kewirausahaan adalah membentuk watak dan karakter, ini dihasilkan tidak saja dalam pengajaran, tetapi dalam proses learning, aplikasi dan berulang ulang dikerjakan sehingga suatu saat menjadi suatu dimensi karakter.
Pertanyaannya adalah apa beda wirausaha dengan karakter? Jika wirausaha masih dalam domain otak kanan, sesuatu sifat yang tumbuh dari proses pendidikan, sementara karakter kewirausahaan adalah pembiasaan yang tumbuh dari proses yang berulang ulang diterima oleh seseorang sebagai akibat dari proses pendidikan, proses pemahaman hidup, penglihatan, pendengaran, wisdom, dan “jam terbang”. Oleh karenanya, sekiranya kita hanya menganggap kewirausahaan adalah hanya sebagai dimensi kognitif, maka dia hanya diajarkan di dalam kelas, untuk mengetahui tentang perkembangan teori, perkembangan metodologi dan contoh contoh. Untuk yang bersikap dimana wirausaha hanya dalam bentuk kognitif, maka tambahan pengajaran hanyalah untuk menambah wawasan dari peserta didik. Inilah yang banyak dipraktekan dalam pembelajaran kewirausahaan selama ini.
Tambahan wawasan kewirausahaan juga bisa diperoleh dari mendengar seringkali dan bertukar pikiran dari mereka mereka yang pernah menjadi sukses dalam berwirausaha. Dalam konteks ini, kembali, hasil yang diperoleh adalah masih dalam konsep pemahaman, dan saat bersamaan tumbuhnya soft skills.
Oleh karenanya, dimensi manakah kewirausahaan yang diperlukan pada masa yang akan datang. Maka dimensi dimana jiwa wirausaha yang sudah terbiasa dan dalam pembiasaan pola dan tingkah laku dalam bekerja. Sehingga dengan tertanamnya internalisasi ini menjadikan sikap dan perilaku orang akan semaki mandiri. Kelak, ketika bekerja sebagai pekerja individu, maka mereka akan menjadi wirausahawan ekonomi.
Jika kelompok ini mengelola bidang social akan melahirkan apa yang kita dengan sebagai social enterpreunerships. Demikian juga ketika bekerja sebagai karyawan atau pegawai negeri, maka pekerjaan sebagai buruh dan pegawai negeri, menjadi enterpreuner pegawai negeri. Oleh karenanya, wirausaha lebih kepada pembiasaan, sehingga sangat penting menginternalisasinya ke dalam system pembelajaran.
Hanya sedikit dari dosen yang pernah merasakan dan menjadi wirausaha, temuan yang sama dilakukan oleh Buang dan Murni (2006:185) bahwa banyak yang mengajarkan kewirausahaan adalah pengajaran bisnis baik di sekolah menengah kejuruan maupun di perguruan tinggi. Pada kasus seperti ini diduga pembelajaran wirausaha terjebak dengan ‘sindrom kognitif’. Dimana cara pandang bahwa mengajarkan kewirausahaan hanya menganggap sebagai bahan ajar kewirausahaan untuk diketahui. Sehingga sasaran pembelajarannya hanyalah untuk peningkatan aspek kognitif.
Proses berikutnya telah pula dilakukan berbagai bentuk pembelajaran dimana menonjolnya pendidikan karakter ‘charakter education”. Setidaknya dalam 3 tahun terakhir, telah pula dilaksanakan kuliah umum kewirausahaan. Setidaknya sekitar 50 kali pertemuan antara para wirausahawan sukses dalam bentuk seminar atau kuliah umum yang dihadiri oleh mahasiswa dan dosen. Proses ini cukup berjalan dengan waktu yang cukup terbatas. Proses pertemuan berupa tatap muka dalam kelas, dan tanya jawab. Sehingga unsur kognitif kewirausahaan juga lebih menonjol, namun juga sering menimbulkan berbagai aspek yang menyebabkan “inspiring” dan “trigerring” agar peserta terinspirasi, Sekali lagi, usaha ini bermanfaat, namun jelas masih pada taraf kognitif.
Bentuk lain yang dikembangkan adalah tersedianya dana “kompetisi” untuk beberapa orang dosen yang aktif dalam membina anak didik peserta program menumbuhkan kewirausahaan ini. Dari pelaksanaan dua tahun anggaran terakhir, 2008-2009, memperlihatkan bahwa proses dan desain pendidikan kewirausahaan dilakukan dengan persiapan yang terbatas, baik dari pembimbing dan mahasiswa yang ikut. Evaluasi implementasi di Kopertis Wilayah X, memperlihatkan program kewirausahaan mahasiswa juga mengalami kendala yang besar, diperkirakan hanya 40 persen dari pembentukan kelompok yang menujukkan keberhasilan, dalam dimensi establish usaha dan perkembangan.
Sementara sisa kelompok usaha yang dikembangkan mengalami mati suri. Mati surinya inisiasi usaha mahasiswa melalui skim kegiatan ini disebabkan karena dua hal. Pertama kurangnya peranan pendamping dari dosen, karena dosen yang aktif sangat terbatas pengalaman kerjanya dalam menjalankan “business”. Selain dari sisi mahasiswa kegagalan terutama karena kesalahan dalam memilih usaha, ketekunan yang terbatas, termasuk ‘kekurangjujuran.
Menyadari hal ini Unand Entrepreunership Center (UEC) juga dbentuk wadahnya. Tugas utama adalah melaksanakan kegiatan akademik tentang kewirausahaan, dan diharapkan dapat mengembangkan bentuk kegiatan ‘magang’ bagi mahasiswa dari kegiatan yang disusun bersama oleh UEC. Kegiatan UEC juga masih terbatas, dan masih mengembangkan bentuk bentuk pengembangan diri dan fungsi. Apapun yang sudah dilakukan selama ini adalah upaya yang perlu dilanjutkan. Namun sangat ditegaskan bahwa pembelajaran kewirausahaan masih terjebak dengan syndrom kognitif. Diperlukan pengembangan bahan, content, tahapan pembelajaran, dan sistem keberlangsungan. Agar Unand dapat menjadikan kewirausahaan sebagai salah satu ‘niece’ dari kekuatan proses pembelajaran yang ada.
Fakultas dan jurusan yang berminat dapat merumuskan keempat tujuan sebagai bagian dari tujuan yang khas, karena dengan demikian akan dapat seiring dengan pengembangan bahan, persiapan labor, persiapan dosen dan isntruktur, penilaian mahasiswa, dan juga implikasi proposal bersaing untuk pengembangan bisnis kecil oleh mahasiswa sebagai salah satu pengembangan.
Untuk menjadikan pendidikan kewirausahaan berjalan dengan sebagaimana yang diinginkan, 3 bentuk tahapan diperlukan. Pertama adalah tahapan dalam menghasilkan wirausaha dalam proses pendidikan dengan tiga tahap (a) Pembenihan; (b) Penempatan; (c) Pengembangan. Buku Rhenald Kasali (2010) Wirausaha Mandiri: ketika Anak sekolah berbisnis, gramedia dapat memberikan inspirasi terhadap anak anak berhasil menjadi wirausaha selepas di perguruan tinggi. Demikian juga buku Nanang Qosim Yusuf (2009) sebaliknya menjelaskan bagaimana tahapan Jejak-jejak Makna Basrizal Koto menjadi entrepreneur mulia. Termasuk penjelasan yang mendalam buku Elfindri dkk. (2010) tentang beberapa suku Minang yang berhasil dalam mengembangkan bisnis dari kecil sampai besar.
Human Enterpreneur Index
Untuk mewujudkan hal ini, maka mesti dapat dimulai dengan memetakan mahasiswa semenjak masuk ke perguruan tinggi. Human Enterpreneur Index (HEI) dapat digunakan sebagai dasar untuk penetapan proses identifikasi. Untuk keperluan ini Unand dapat mengembangkan system informasi HEI, sehingga peta akan kondisi awal dari mahasiswa dapat diketahui. Pada tahap ini, baik dosen pengasuh dan instruktur juga melalui proses ini, terlebih dahulu diketahui sampai seberapa tingkat pencapaian HEI.
Pada tahap ini, agar hasil berguna dan proses belajar semakin membaik dari waktu ke waktu, maka diperlukan: (a). Penyusunan dan pengembangan materi dan bahan ajar, (b). Penyusunan metoda pembelajaran, (c). Pengembangan tenaga dosen dan praktisi, (d). Pengembangan bidang pembelajaran, dan e. Pengembangan aspek legal
Seluruh tahap ini dilihatkan dalam Tabel 1 di atas, dan sebuah catatan bahwa jika kita ingin menonjolkan kekhasan di masing masing PT, maka pembelajaran kewirausahaan tidak dapat pelajaran 3 SKS, namun minimal 9 SKS seperti yang ditampilkan dan diusulkan dalam table 1 di atas. Persiapan dan pematangan ke arah ini menjadi atensi utama.
[Sumber : Harian Haluan, Kamis 15 Maret 2012]
Baca Juga :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar