Tak hanya satu, empat perubahan langsung digeber Nadiem Makarim sebelum 2 bulan genap menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud). Bagi Nadiem, ini baru ronde pertama.
Empat perubahan itu dipaparkan Nadiem di hadapan Dinas Pendidikan seluruh Indonesia. Dia menyebutnya sebagai 'Pokok Kebijakan Merdeka Belajar'. Empat hal yang diubah Nadiem yaitu terkait Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), Ujian Nasional (UN), Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Zonasi.
Nadiem mengakui bahwa perubahan yang digagasnya ini bukannya tanpa tantangan. Perubahan pasti tidak nyaman tapi itu diperlukan untuk melakukan lompatan.
Simak video berikut :
"Ini adalah ronde pertama 'Merdeka Belajar'. Tidak ada perubahan yang nyaman-nyaman saja. Semua perubahan itu pasti ada tantangnnya. Semua perubahan pasti ada ketidaknyamanannya," kata Nadiem di Hotel Bidakara, Jalan Gatot Subroto, Tebet, Jakarta Selatan, Rabu (11/12/2019)
"Tetapi seperti yang kita tahu sudah waktunya Indonesia melompat ke depan bukan hanya melangkah," sambungnya.
Tantangan yang dimaksud Nadiem sudah muncul. Tak semua setuju dengan gagasannya, termasuk tentang penggantian format Ujian Nasional. Meski demikian, ada juga yang mengapresiasi.
Berikut rangkuman tentang 'ronde pertama' Nadiem Makarim:
Gagas 4 Perubahan
Perubahan pertama yang digagas Nadiem ialah penggantian Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN). USBN diganti dengan asesmen yang diselenggarakan oleh sekolah masing-masing. Ujian kompetensi bisa berupa portofolio hingga tugas kelompok maupun karya tulis.
Kedua, Nadiem mengubah format ujian nasional mulai 2021. UN diubah menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter dengan materi terkait literasi, numerasi, dan karakter. Asesmen ini juga akan dilakukan di tengah jenjang sekolah yaitu kelas 4 SD, 8 SMP, dan 11 SMA. Salah satu alasannya adalah karena UN dinilai menjadi beban bagi siswa, guru, dan orang tua.
Hal ketiga yang diubah Nadiem yaitu soal Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Formatnya disederhanakan menjadi satu halaman saja.
Keempat, Nadiem melonggarkan sistem zonasi pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Dia menaikkan kuota penerimaan siswa berprestasi dua kali lipat ketimbang kuota sebelumnya, dari yang tadinya 15% menjadi 30%.
Dukungan Penghapusan UN
Kebijakan Nadiem untuk menghapus ujian nasional didukung sejumlah pihak, di antaranya adalah asosiasi guru. Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mengatakan itu usulannya.
"Itu memang kami sampaikan, kami suarakan. Itu usul dari FSGI. Maka kami mengapresiasi keputusan mas Menteri tadi siang itu," kata Sekjen FSGI Heru Purnomo kepada wartawan, Rabu (11/12/2019).
Sementara itu, 4 perubahan yang dilakukan Nadiem dinilai membangun kembali kasta sekolah. Hal itu diungkapkan oleh Ikatan Guru Indonesia (IGI). Bahkan, IGI mendukung apabila penghapusan UN dilakukan lebih cepat.
"Terkait Ujian Nasional sebenarnya kami berharap Ujian Nasional dihapuskan bukan di tahun ajaran 2020-2021, tetapi seharusnya sudah dihapuskan di tahun ajaran 2019-2020," ujar Ketum IGI Muhammad Ramli Rahim kepada wartawan, Rabu (11/12/2019).
Suara dukungan terhadap penghapusan UN juga datang dari para siswa. Setidaknya, hal itu diungkapkan oleh dua siswi SMP di Jakarta Selatan, Hanna dan Morin. Mereka mengaku selama ini pusing dan stres jika membayangkan UN sehingga kini lega saat UN dihapus. Penghapusan itu justru dianggap bikin semangat.
"Makin semangat karena kan biasanya kalau anak sekolah ini mikirinnya UN, UN, UN terus. Jangankan kelas 3, kelas 2 sama kelas 1 saja sudah persiapan. Tapi kalau misalnya nggak ada UN-nya. Jadinya semakin semangat. Jadinya nggak ada yang dipikir di akhirnya," ujar Morin.
Penolakan Penghapusan UN
Suara tak setuju soal penghapusan UN datang dari Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla (JK). Dia menilai penghapusan ujian nasional (UN) membuat generasi muda menjadi lembek.
JK sebelumnya mengemukakan efek negatif penurunan penerapan UN, yakni ranking mutu pendidikan Indonesia yang diriset oleh Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan (OECD) lewat Program Penilaian Pelajar Internasional (PISA). Berdasarkan hasil riset PISA, peringkat Indonesia turun pada 2018 ketimbang pada 2015.
"Kalau tidak ada UN, semangat belajar akan turun. Itu pasti! Itu menjadikan kita suatu generasi lembek kalau tidak mau keras, tidak mau tegas bahwa mereka lulus atau tidak lulus. Akan menciptakan generasi muda yang lembek," kata JK di kantor CNBC Indonesia, Gedung Transmedia, Jl Kapten Tendean, Jakarta Selatan, Rabu (11/12).
Kritik ini lalu dijawab oleh Nadiem. Menurut Nadiem, UN versi baru justru lebih menantang.
"Nggak sama sekali, karena UN itu diganti asesmen kompetensi pada 2021. Malah lebih men-challenge sebenarnya," ujar Nadiem di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Rabu (11/12/2019).
"Tapi yang men-challenge itu bukan muridnya, yang men-challenge itu buat sekolahnya untuk segera menerapkan hal-hal di mana pembelajaran yang sesungguhnya terjadi, bukan penghafalan. Ada pembelajaran, ada penghafalan. Itu hal yang berbeda," lanjutnya.
[ Sumber : news.detik.com ]
Empat perubahan itu dipaparkan Nadiem di hadapan Dinas Pendidikan seluruh Indonesia. Dia menyebutnya sebagai 'Pokok Kebijakan Merdeka Belajar'. Empat hal yang diubah Nadiem yaitu terkait Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), Ujian Nasional (UN), Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Zonasi.
Nadiem mengakui bahwa perubahan yang digagasnya ini bukannya tanpa tantangan. Perubahan pasti tidak nyaman tapi itu diperlukan untuk melakukan lompatan.
Simak video berikut :
"Ini adalah ronde pertama 'Merdeka Belajar'. Tidak ada perubahan yang nyaman-nyaman saja. Semua perubahan itu pasti ada tantangnnya. Semua perubahan pasti ada ketidaknyamanannya," kata Nadiem di Hotel Bidakara, Jalan Gatot Subroto, Tebet, Jakarta Selatan, Rabu (11/12/2019)
"Tetapi seperti yang kita tahu sudah waktunya Indonesia melompat ke depan bukan hanya melangkah," sambungnya.
Tantangan yang dimaksud Nadiem sudah muncul. Tak semua setuju dengan gagasannya, termasuk tentang penggantian format Ujian Nasional. Meski demikian, ada juga yang mengapresiasi.
Berikut rangkuman tentang 'ronde pertama' Nadiem Makarim:
Gagas 4 Perubahan
Perubahan pertama yang digagas Nadiem ialah penggantian Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN). USBN diganti dengan asesmen yang diselenggarakan oleh sekolah masing-masing. Ujian kompetensi bisa berupa portofolio hingga tugas kelompok maupun karya tulis.
Kedua, Nadiem mengubah format ujian nasional mulai 2021. UN diubah menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter dengan materi terkait literasi, numerasi, dan karakter. Asesmen ini juga akan dilakukan di tengah jenjang sekolah yaitu kelas 4 SD, 8 SMP, dan 11 SMA. Salah satu alasannya adalah karena UN dinilai menjadi beban bagi siswa, guru, dan orang tua.
Hal ketiga yang diubah Nadiem yaitu soal Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Formatnya disederhanakan menjadi satu halaman saja.
Keempat, Nadiem melonggarkan sistem zonasi pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Dia menaikkan kuota penerimaan siswa berprestasi dua kali lipat ketimbang kuota sebelumnya, dari yang tadinya 15% menjadi 30%.
Dukungan Penghapusan UN
Kebijakan Nadiem untuk menghapus ujian nasional didukung sejumlah pihak, di antaranya adalah asosiasi guru. Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mengatakan itu usulannya.
"Itu memang kami sampaikan, kami suarakan. Itu usul dari FSGI. Maka kami mengapresiasi keputusan mas Menteri tadi siang itu," kata Sekjen FSGI Heru Purnomo kepada wartawan, Rabu (11/12/2019).
Sementara itu, 4 perubahan yang dilakukan Nadiem dinilai membangun kembali kasta sekolah. Hal itu diungkapkan oleh Ikatan Guru Indonesia (IGI). Bahkan, IGI mendukung apabila penghapusan UN dilakukan lebih cepat.
"Terkait Ujian Nasional sebenarnya kami berharap Ujian Nasional dihapuskan bukan di tahun ajaran 2020-2021, tetapi seharusnya sudah dihapuskan di tahun ajaran 2019-2020," ujar Ketum IGI Muhammad Ramli Rahim kepada wartawan, Rabu (11/12/2019).
Suara dukungan terhadap penghapusan UN juga datang dari para siswa. Setidaknya, hal itu diungkapkan oleh dua siswi SMP di Jakarta Selatan, Hanna dan Morin. Mereka mengaku selama ini pusing dan stres jika membayangkan UN sehingga kini lega saat UN dihapus. Penghapusan itu justru dianggap bikin semangat.
"Makin semangat karena kan biasanya kalau anak sekolah ini mikirinnya UN, UN, UN terus. Jangankan kelas 3, kelas 2 sama kelas 1 saja sudah persiapan. Tapi kalau misalnya nggak ada UN-nya. Jadinya semakin semangat. Jadinya nggak ada yang dipikir di akhirnya," ujar Morin.
Penolakan Penghapusan UN
Suara tak setuju soal penghapusan UN datang dari Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla (JK). Dia menilai penghapusan ujian nasional (UN) membuat generasi muda menjadi lembek.
JK sebelumnya mengemukakan efek negatif penurunan penerapan UN, yakni ranking mutu pendidikan Indonesia yang diriset oleh Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan (OECD) lewat Program Penilaian Pelajar Internasional (PISA). Berdasarkan hasil riset PISA, peringkat Indonesia turun pada 2018 ketimbang pada 2015.
"Kalau tidak ada UN, semangat belajar akan turun. Itu pasti! Itu menjadikan kita suatu generasi lembek kalau tidak mau keras, tidak mau tegas bahwa mereka lulus atau tidak lulus. Akan menciptakan generasi muda yang lembek," kata JK di kantor CNBC Indonesia, Gedung Transmedia, Jl Kapten Tendean, Jakarta Selatan, Rabu (11/12).
Kritik ini lalu dijawab oleh Nadiem. Menurut Nadiem, UN versi baru justru lebih menantang.
"Nggak sama sekali, karena UN itu diganti asesmen kompetensi pada 2021. Malah lebih men-challenge sebenarnya," ujar Nadiem di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Rabu (11/12/2019).
"Tapi yang men-challenge itu bukan muridnya, yang men-challenge itu buat sekolahnya untuk segera menerapkan hal-hal di mana pembelajaran yang sesungguhnya terjadi, bukan penghafalan. Ada pembelajaran, ada penghafalan. Itu hal yang berbeda," lanjutnya.
[ Sumber : news.detik.com ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar