GURU SEJATINYA TETAP KUNCI DALAM PROSES PEMBELAJARAN. NAMUN, SEBAGAI AGEN PERUBAHAN, GURU DITUNTUT HARUS MAMPU MELAKUKAN VALIDASI MEPERBAHARUI KEMAMPUANNYA, SESUAI DENGAN TUNTUTAN ZAMAN AGAR TIDAK TERTINGGAL

Loading...
 

Kamis, 20 Agustus 2015

Para Guru Perlu Mengaplikasikan Prinsip “Long life education- Belajar Seumur Hidup”

Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar
 
     Kata-kata “long life education atau belajar sepanjang kehidupan” sering didengungkan di Perguruan Tinggi. Saya juga menerima kata-kata ini saat menuntut ilmu di IKIP Padang (sekarang- UNP atau Universitas Negeri Padang). Apakah kata-kata ini juga digelontorkan di fakultas dan Perguruan Tinggi yang lain ?. Tentu saja iya, bahwa  kata-kata ini juga sudah sampai ke telinga para mahasiswa agar menjadi warga yang senantiasa mengaplikasikan “long life education”.
            Long life education telah menjadi semboyan pada badan pendidikan dunia- Unicef. Unicef memang selalu mendukung agar warga dunia untuk selalu belajar sepanjang hayat mereka. Bukankah kehidupan ini selalu berubah dan perubahan harus diantisipasi dengan ilmu pengetahuan.  Agama Islam juga mengajarkan tentang prinsip long life education sebagaimana ungkapan seperti:
            Utlubu ilman minal mahdi ilallahdi- tuntutlah ilmu dari ayunan hingga ke liang kubuh. Utlubu ilman faridatan ‘ala kulli muslim- menuntut ilmu itu wajib bagi setiap orang muslim. Al ilmu amama amalu, wa amalu tabiuhu- ilmu itu di depan amal dan amal akan mengikutinya”

 

 

            Long life education memang sudah mendapat sambutan bagi warga di negara maju, mereka selalu belajar dan belajar dalam kehidupan mereka. Saya membuka diri untuk pergaulan dengan orang-orang asing. Sekitar 20 tahun lalu, saya berkenalan dengan Francois Brouquisse, Anne Bedos dan Louis Deharveng. Ke tiga warga Perancis ini telah menjadi teman saya hingga sekarang, sebelumnya mereka sempat bekerja di LIPI- Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Bandung. Pertemuan secara kebetulan berujung sangat menguntungkan saya dalam mempelajari Bahasa Perancis secara otodidak bagi saya.
            Ketiga teman ini bekerja pada bidang zoology, kami berjumpa di daerah Kecamatan Lintau Buo- Kabupaten Tanah Datar- Sumatera Barat. Daerah di Pegunungan Bukit Barisan yang bentangan wilayahnya dari daerah Sijunjung, Lintau Buo hingga Halaban. Yang menarik bagi saya dari mereka adalah konsep hidupnya sesuai dengan “long life education”.
Mereka menghabiskan waktunya di Sumatera untuk studi tentang “hutan tradisionil dan zoology”. Di dalamnya tas punggungnya penuh dengan instrument penelitian dan juga buku-buku tentang bahasa Indonesia, adat dan way of life tentang orang-orang Indonesia. Sebagai orang Perancis mereka jauh tahu banyak tentang Indonesia dan Bahasa Indonesia mereka cukup terpakai.
Saya pernah mengikuti kegiatan mereka, melakukan survey tentang speleology. Yaitu mengobservasi eksistensi hewan-hewan kecil di dalam goa. Saya juga sempat memberikan tulisan untuk dipublikasikan pada jurnal speleologie mereka.
            Mereka bertiga adalah juga polyglot- yaitu orang yang memahami dan bisa menggunakan banyak bahasa. Francois Brouquisse seorang ahli perairan juga  memahami Bahasa Arab, Bahasa Vietnam, Bahasa Indonesia dan Bahasa China dan ia menjadi pendukung LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)-Palestine D’action di negaranya. Dia selalu membaca bervariasi buku saat beristirahat. Jadi beristirahat baginya bukan berarti harus duduk tenang. Namun ia beristirahat sambil membaca.
Saya sempat mengintip buku-buku yang dipegang oleh FrancoisBrouquisse. Untuk menguasai bahasa Indonesia, Francois melakukan prinsip “learning by doing” hingga saya dengar Bahasa Indonesianya cukup bagus dan mudah dimengerti. Saat balita saya menangis maka ia menenangkan balita saya dengan Bahasa Indonesia yang mudah dimengerti.  
            Anne Bedos adalah seorang perawat dan juga mendalami bidang zoology. Ia mengadopsi prinsip hidup naturalis. Pernah kami duduk bareng dengan Louis Deharveng dan Francoise sambil makan buah-buahan tropis. Saya melihat Anne Bedos sedang makan jambu air yang baru saja dipetik. Dia memakan jambu tanpa melepas kuping jampu yang sering bersarang semut hitam. Ia membiarkan semut hitam bersarang pada lipatan jambu dan memakannya dan saya sempat berteriak:
Tu mange les fourmis dedans le jambu- Anda memakan semut semut yang bersarang dalam jambu ?”
              Ce naturalement, J’aime a manger les fournis- itu alami, biar saya makan semua semut”.
            Craig Pentland adalah sarjana Australia yang berjumpa dengan saya secara kebetulan di Payakumbuh tahun 1996. Dan tahun- tahun berikutnya ia sering mengunjungi kami. Craig Pentland juga mengadopsi prinsip long life education dalam hidupnya. Kami sering pergi menjelajah bukit, gunung dan lembah di wilayah Batusangkar hingga Payakumbuh. Dalam ranselnya terdapat buku-buku tentang alam dan buku tentang sosial budaya. Sebagai orang Australia ia adalah pembaca yang hebat. Ia mengisi waktu istirahatnya dengan membaca dan saya juga jadi suka membaca banyak buku sejak itu. Katanya:
See the natural phenomenon and read the book on them- jangan baca semua buku, perhatikan fenomena alam dan sesuaikan dengan minat anda”.
Dalam kunjungan terakhir bulan Oktober 2014 lalu, Craig Pentland membawa buku-buku dan juga sebuah novel terjemahan dari Bahasa Indonesia. Ia membaca novel (buku) yang berjudul “the rainbow troop atau laskar pelangi” yang ditulis oleh Andre Hirata. Dalam kunjungan Craig Pentland sebanyak enam kali ke tempat saya di Batusangkar, di Sumatra Barat, semuanya buat berlibur, namun ia selalu membawa beberapa buku yang dibaca selama libur.
Membaca buku bukan merupakan beban belajar buat mereka, namun sudah menjadi kebutuhan primer ibarat kebutuhan makan, minum, pakaian dan perumahan. Sebetulnya membaca memang sebuah makanan atau minuman buat memuaskan spiritual atau fikiran yang lapar. Maka orang-orang yang enggan buat membaca berarti mereka telah membiarkan selalu fikiran mereka dalam keadaan lapar.
Saya dan teman saya, Arjus Putra, seorang guru Bahasa Inggris setiap semester membuat program “English Home Stay” sebagai ekskul sekolah dalam menggenjot kemampuan berbahasa Inggris siswa Kami. Kami sering mengadakan Home Stay ke tempat wista seperti ke Danau Singkarak, Danau Maninjau, ke Mifan Padang Panjang, Danau Di Atas di Alahan Panjang, Lembah Harau di Payakumbuh hingga pernah ke Pakan Baru.
Home Stay kami lakukan dengan menyewa satu villa di lokasi wisata dan biasanya kami mengundang native speaker untuk memandu dan sebagai model penggunaan Bahasa Inggris buat siswa kami. Jadinya semua siswa sangat antuasias menggunakan Bahasa Inggris dengan kehadiran para Bule tersebut.
Semester lalu kami mengundang John Duke dan Alexa, sepasang guru internasional asal Australia. Mereka bekerja sebagai Australian Teacher Volunteer yang kebetulan ditempatkan di kota Padang. John Duke dan Alexa sangat senang bergabung dengan “English out door activity” yang kami selenggarakan pada home stay di objek wisata Lembah Harau dekat Payakumbuh. Untuk ikut memotivasi kemamuan berbicara bahasa Inggris siswa kami mereka merancang “language game”. Tentu saja para murid beraktivitas dengan antusias dan sangat gembira. Kegiatan home stay selama 3 hari terasa sangat singkat.
Saya memperhatikan bahwa di waktu senggang dan di waktu istirahat, kedua-duanya, John Duke dan Alexa tetap membaca buku sebagai bacaan saat senggang- leisure time reading. Memang di negara maju ada istilah leisure time reading. Jadinya bahwa membaca adalah budaya mereka dan membaca telah merupakan bagian dari hidup mereka.
Sangat berbeda eksistensi beristirahat antara kami berdua dengan mereka berdua. Kami berdua, juga sebagai guru- mungkin cukup popular untuk kota kecil di Batusangkar. Kami beristirahat tanpa memegang buku. Istirahat kami hanya buat tidur atau berkelakar. Istirahat mereka, John Duke dan Alexa, adalah dengan membaca. Pemodelan istirahat kami juga ditiru oleh siswa, istirahat tanpa membaca. Ya istirahat seperti kebanyakan anak-anak Indonesia, yaitu istirahat dengat aktivitas seperti tidur, otak-atik gadget/HP, menyumbat telinga dengan head-set untuk mendengar lantunan lagu, atau bergurau.
Terpikir bagi kami bahwa perintah agama yang berbunyi “iqra’ bismirabbikallazi khalaq- bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan” entah dimana dan bagaimana kami aplikasikan. Perintah agama ini hanya sekedar bacaan saja untuk berharap pahala semata, bukan untuk kami amalkan. Sementara perintah agama untuk membaca tidak ditujukan buat John Duke dan Alexa, karena agama mereka berbeda. Namun mereka berdua membudayakan membaca sebagai budaya bangsa dan kebutuhan hidup mereka. Banyak membaca membuat kita banyak tahu, banyak tahu berarti indikator kecerdasan dan indikator itu hanya buat mereka.
Selanjutnya, apakah kebiasaan long life education dalam wujud membaca saat beristirahat- leisure time reading- hanya ada pada budaya hidup orang Australia ? Tentu saja tidak. Teman saya, Jerry Drawhorn, dari California- Amerika Serikat juga selalu membaca saat berlibur di Batusangkar dan Bukittinggi. Kemudian Eva, Guini dan Ulla Mo, tiga orang guru dari Swedia yang saya jumpai menghabiskan waktu  belasan jam sambil berjemur di pinggir Pulau Samosirdi Danau Toba, Sumatera Utara.
Mereka bertiga adalah tetangga saya di sebuah penginapan Lekjon di Desa Tuktuk- di Pulau Samosir. Mereka memutuskan untuk datang ke Batusangkar melalui Bukittinggi. Seminggu setelah itu kami berjumpa di rumah saya di Batusangkar. Kami bertukar pikiran sangat banyak, termasuk tentang konsep long life education.
Bahwa di Swedia juga ada konsep long life education semua penduduk mempunyai reading time di rumah mereka dan selama musim dingin (winter)- 3 bulan setiap tahun, semua orang Swedia menghabiskan waktu buat membaca. Sehingga musim dingin, mereka ibarat kepompong yang sedang membungkus diri buat belajar dan kelak setelah salju mencair, mereka menetas jadi cerdas, ibarat kupu kupu yang memancarkan warna warni dengan bentuk yang cantik.
Saya terkesan bahwa guru-guru dari negara maju juga suka membaca. Mereka terbiasa membaca buku sebagai wujud dari long life education. Membaca buku juga sebagai wujud self learning atau autonomy learning. Dan bagaimana fenomena guru-guru di Indonesia ?
Bahwa mayoritas guru-guru di negara kita tidak suka membaca dan alergi membaca buku. Mereka tidak mengenal konsep long life education. Waktu-waktu istirahat mereka hanya dihabiskan tanpa membaca sehelai kertaspun. Apagi dengan istilah adanya reading time. Ya guru-guru kita kita belum mengadopsi long life education dalam hidup mereka.
Memang ada kebijakan pemerintah agar setiap guru senantiasa meningkatkan ilmu pengetahuan mereka secara mandiri. Itu pun diikuti dengan kegiatan belajar- melanjutkan pendidikan. Mengikuti penataran, workshop, seminar dan pelatihan lainnya. Memang cukup banyak guru kita yang mengikuti seminar, pelatihan, penataran, work shop. Itu hanya sekedar hadir untuk mendapatkan sehelai sertifikat buat dijadikaan portofolio untuk kenaikan pangkat. selesai dari kegiatan tersebut, memang yang diperoleh hanya sehelai kertas- sehelai sertifikat. Namun penambahan ilmu pengetahuan lewat membaca kembali tidak ada.    
Secara keseluruhan bahwa ada yang kurang terwujud dalam system pendidikan kita, yaitu kita tidak begitu mempersoalkan ada atau tidaknya budaya membaca. Pada banyak sekolah eksistensi perpustakaan tidak menjadi prioritas utama. Perpustakaan kita belum menjadi tempat yang menarik buat siswa dan guru. Di zaman teknologi komunikasi dengan keberadaan gadget yang berlimpah, maka memegang gadget untuk mengotak atik permaiman lebih menarik dari pada membaca. Jadinya ada  jutaan anak didik kita buta dengan buku. Mereka tidak tertarik untuk membaca dan sehingga mereka tidak mengenal sosok tokoh-tokoh sejarah yang berguna buat cermin  kehidupan untuk memacu kualitas SDM merekaita.
Demikian juga para guru. Ada jutaan guru di Indonesia juga tidak tertarik untuk membaca. Kecuali hanya sekedar membaca buku teks, jadinya jutaan guru hanya menjadi guru kurikulum, atau guru buku teks, yang tugas mereka adalah sebagai “tukang atau worker” untuk memidahkan isi buku teks ke dalam memori para siswa dengan cara yang tidak menarik. Kenapa tidak menarik ? Karena mereka diajar oleh para guru yang miskin dengan wawasan sehingga mereka jauh dari keberadaan guru yang menginspirasi.
Untuk itu para siswa membutuhkan kehadiran sosok guru yang inspiratif yang memiliki banyak wawasan. Guru inspiratif adalah guru yang selalu melakukan long life education, senantiasa belajar dan belajar. Guru ispiratif adalah guru yang mengaplikasikan semboyan “iqra’ bismirabikallazi khalak, atau guru yang menerapkan prinsip long life education dalam hidup mereka.

Kini kita merindukan guru-guru, para siswa dan masyarakat yang mengenal dan menerapkan semboyan long life education dalam hidup. Andai ini bisa terwujud maka insyaallah kualitas SDM bangsa ini yang selalu peringkatnya cukup rendah secara global bisa merangkat membaik, pada akhirnya kita akan tumbuh menjadi bangsa yang cerdas, berwibawa dan berkarakter di dunia ini (http://penulisbatusangkar.blogspot.com ).

Tidak ada komentar:

e-Newsletter Pendididkan @ Facebook :

Belanja di Amazon.com :

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.

PANDUAN VERIFIKASI AKUN PAYPAL ANDA KE REKENING BANK ANDA [KLIK DISINI]