GURU SEJATINYA TETAP KUNCI DALAM PROSES PEMBELAJARAN. NAMUN, SEBAGAI AGEN PERUBAHAN, GURU DITUNTUT HARUS MAMPU MELAKUKAN VALIDASI MEPERBAHARUI KEMAMPUANNYA, SESUAI DENGAN TUNTUTAN ZAMAN AGAR TIDAK TERTINGGAL

Loading...
 

Jumat, 06 Desember 2013

Ketika Pendidikan Indonesia Terdikte PISA

Oleh : Edi Subkhan

Ketika hasil pemeringkatan dari Programme for International Student Assessment (PISA) dikeluarkan pada 3 Desember 2013, dan Indonesia berada di peringkat nomor 2 (dua) dari bawah, banyak pihak menyalahkan Pemerintah dengan menunjukkan bahwa inilah hasil dari pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah. Yakni pendidikan yang tidak mengasah dengan baik kemampuan nalar anak didik dalam matematika, membaca, dan sains, ketiga hal inilah yang diuji oleh PISA. PISA adalah tes yang diselenggarakan oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) pada anak umur 15 (lima belas) tahun di lebih 60 (enam puluh) negara sejak tahun 1997. Hasil dari tes PISA digunakan sebagai bahan analisis dan rekomendasi pengambilan kebijakan tertentu, terutama dalam bidang pendidikan.

Banyak pihak mengkritik mengenai bagaimana PISA mengambil data dan analisisnya. Hingga banyak pihak juga mengatakan: acuhkan saja pemeringkatan dari PISA, dan jangan jadikan ia acuan untuk mengubah bagaimana anak-anak kita mesti belajar jadi lebih baik ke depannya. Sebagaimana diungkapkan oleh Woulfe (2013), Kreiner, seorang profesor emiritus di University of Copenhagen, menemukan beberapa masalah dalam tes ala PISA. Ia menguji 20 (dua puluh) soal kemampuan membaca pada tahun 2006 dengan menggunakan prosedur PISA. Hal yang tidak berbeda juga dikemukakan oleh David Spiegelhalter, profesor di Univesity of Cambridge, ia menyatakan tidak percaya perankingan oleh PISA karena alasan metodologinya.

 

 

Profesor Joerg Blasius, seorang sosiolog Jerman yang dari University of Bonn, menyatakan: dalam pengambilan data PISA akan menentukan sekolah yang akan dijadikan sampel tes. Namun sekolah tersebut dapat menerima atau menolak, dengan pertimbangan akan memberi efek buruk atau tidak pada pemeringkatan PISA nantinya. Kalaupun menerima, maka ketika PISA memilih kelas yang akan diberi tes, maka pihak sekolah boleh mengajukan anak-anak yang sekiranya pintar dan tidak memilih anak-anak yang sekiranya tidak akan bisa menjawab tes dengan baik dan benar. Di kelas yang ada sekitar 25 siswa. “Jadi mudah untuk menaikkan rangking PISA, tak ada yang mengeceknya, tak ada yang melihatnya,” ujar Joerg Blasius. Katanya lagi, “Jangan terlalu serius menanggapi perangkingan PISA, kalau turun beberapa poin jangan khawatir, jika naik beberapa poin jangan gembira, dengan kata lain PISA tak ada artinya”.

Problem yang dibahas juga adalah: pemerintah/negara dan banyak akademisi selalu mengaitkan hasil tes PISA dengan sistem pendidikan di negara tersebut (termasuk di Inggris). Oleh karena itu, gegap gempita setelah hasil tes PISA dikeluarkan secara resmi biasanya diikuti oleh diskusi dan perumusan ulang hal-hal apa yang harus diperbaiki dari sistem pendidikan sebuah negara tertentu (baca: negara inferior yang masih terdikte hasil tes PISA). PISA sendiri menyatakan tidak tepat jika dikatakan perankingan PISA menunjukkan kualitas dari sistem pendidikan di negara tersebut. PISA hanya menguji kemampuan matematika, sains, dan literasi anak saja. Bukan menguji/menilai sistem pendidikan sebuah negara. Walau kemampuan anak didik dapat dilogika sebagai akibat dari praksis pendidikan yang ada di sebuah negara, namun banyak faktor (budaya, psikologis, sosiologis, politik) yang menjadikan kemampuan anak ketika mengerjakan tes PISA bukan akibat linier dari sistem pendidikan resmi negara tersebut.

Persoalan yang termasuk utama dalam perangkingan oleh PISA selain metode dan analisis data adalah pada perankingan (league tables) internasional tersebut. Anda tahu, Menteri Pendidikan Denmark, Christine Antorini, menyatakan untuk mengabaikan saja hasil perankingan oleh PISA tersebut? Demikian juga dengan Menteri Pendidikan Argentina! Pendidikan itu tujuannya bukan untuk menggejar ranking, apapun itu, melainkan untuk melakukan perubahan personal dan sosial ke arah yang lebih baik. Lagipula, kalau memang problem Indonesia adalah rendahnya kemampuan bernalar dalam matematika, sains, dan literasi, mengapa tidak berupaya merumuskan sendiri kurikulum, metode pembelajaran, dan assessment yang dapat mendukung itu semua jadi lebih baik? Mengapa menginduk dan menyandarkan diri pada hasil tes PISA yang dikatakan oleh banyak pihak sebagai menyimpan “bias budaya”. Lagipula tes PISA adalah tes di atas kertas (pencil & paper test). Artinya assessment jenis tersebut tidak memberi pengalaman riil memecahkan masalah dalam dunia kehidupan sosial sehari-hari, padahal bukankah pada ujung-ujungnya ilmu itu mesti berguna, bermanfaat, dan bermakna untuk kehidupan? Bukan untuk pamer peringkat.

Logika PISA ini mirip Ujian Nasional (UN), hanya saja bukan untuk kelulusan, melainkan perangkingan. Berikut di bawah ini beberapa link yang dapat dibaca lebih jauh lagi berkaitan dengan kritik terhadap PISA.

[Sumber : http://pendidikankritis.wordpress.com]
 
Bacaan lebih lanjut:
[1]   Downs, J. (2013, November 26). Should PISA league tables be treated with scepticism? Retrieved December 4, 2013, from Local Schools Network: http://www.localschoolsnetwork.org.uk/2013/11/should-pisa-league-tables-be-treated-with-scepticism/
[2]   Economist. (2013, January 19). PISA Envy. Retrieved December 2013, 4, from Economist: http://www.economist.com/news/international/21569689-research-comparing-educational-achievement-between-countries-growing-drawing
[3]   Fehlen, D. J. (2011, February 19). Apples to Oranges: Are PISA Tests Fair? Retrieved December 2013, 4, from Education Portal: http://education-portal.com/articles/Apples_to_Oranges_Are_PISA_Tests_Fair.html
[4]   Guardian, T. (2013, December 3). The PISA methodology: do its education claims stack up? Retrieved December 4, 2013, from The Guardian: http://www.theguardian.com/news/2013/dec/03/pisa-methodology-education-oecd-student-performance
[5]   OECD. (2013). OECD Programme for International Student Assessment (PISA). Retrieved December 4, 2013, from OECD: http://www.oecd.org/pisa/home/
[6]   Spiegelhalter, D. (2013, November 25). PISA stasticical method – more detailed comments. Retrieved December 4, 2013, from Understanding Uncertainty: http://understandinguncertainty.org/pisa-statistical-methods-more-detailed-comments
[7]   Tes. (2013, December 4). Is PISA fundamentally flawed? Retrieved December 4, 2013, from Tes: http://www.tes.co.uk/article.aspx?storycode=6344672
[8]   Woulfe, C. (2013, December 4). Education Rankings “Flawed”. Retrieved December 4, 2013, from Listener: http://www.listener.co.nz/current-affairs/education/education-rankings-flawed/

Tidak ada komentar:

e-Newsletter Pendididkan @ Facebook :

Belanja di Amazon.com :

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.

PANDUAN VERIFIKASI AKUN PAYPAL ANDA KE REKENING BANK ANDA [KLIK DISINI]