|
|
Oleh : Junaidi
Guru SMPN 35 Padang, Alumni Ohio State University, AS
Kalau kita
perhatikan nilai rapor anak-anak kita yang duduk di bangku sekolah hari
ini, mungkin kita akan terkagum-kagum. Sebab, sebagian besar nilai
mereka sangat bagus-bagus. Rata-rata 75 ke atas (skala 0-100), bahkan
ada yang 98, mendekati nilai sempurna, 100. Sebaliknya, cukup jarang
kita temukan nilai mereka yang rendah-rendah, di bawah 50 misalnya.
Selain itu, kita juga tidak akan menemukan lagi nilai rapor mereka
yang di tulis dengan tinta merah sebagai simbol “gagal” atau tidak
berhasil dalam satu mata pelajaran.
Jika dibandingkan dengan nilai rapor orang
tua mereka yang bersekolah beberapa puluh tahun yang lalu, misalnya
saja pada era 70an atau 80an, kondisinya tentu jauh berbeda. Di masa
itu, dapat nilai 7 atau 8 (skala 0-10), rasanya sudah cukup
membanggakan. Sementara, untuk dapat nilai 9 di rapor, agaknya cukup
sulit dan jarang didapat di masa itu. Sebaliknya, jangan heran kalau
pemalas belajar dapat banyak “lado” atau angka merah (nilai 5 ke bawah)
di buku rapor.
Lalu, apakah dengan tinggi-tinginya nilai
rapor anak-anak kita yang duduk di bangku sekolah hari ini merupakan
bukti bahwa prestasi belajar mereka sudah jauh lebih baik dari zaman
orang tua mereka dulu? Atau apakah anak-anak sekolah kita di masa kini
sudah jauh lebih rajin, lebih pintar, lebih berhasil, dibanding anak
sekolah di masa lalu sehingga nilai mereka jauh lebih tinggi-tinggi?
Ataukah pula guru-guru di masa kini sudah jauh lebih berhasil mendidik
anak-anak bangsa ini dibandingkan dengan guru-guru-guru di masa lalu?
Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas
penulis rasa secara umum semuanya tidak. Nilai peserta didik kita hari
ini yang tinggi-tingi tidak serta merta menjadi garansi bahwa mereka
sudah jauh lebih berhasil, lebih rajin, lebih pintar dibandingkan dengan
peserta didik yang bersekolah beberapa puluh tahun yang lalu. Meskipun
gizi anak-anak sekolah kita di masa kini sudah semakin tercukupi, mereka
tak lagi makan ubi, ke sekolah tak lagi banyak yang harus berjalan kaki
sekian kilo meter setiap hari.
Demikian juga kalau dikaitkan dengan keberhasilan guru mendidik, mungkin guru-guru kita tempo doloe yang
punya dedikasi yang tinggi akan marah bila dianggap “kalah” dalam
mendidik anak-anak bangsa ini oleh guru-guru di masa kini. Meskipun
guru-guru dimasa lalu belum menyandang gelar sarjana, apalagi S.2/S.3.
Atau sekalipun mereka tidak memperoleh tunjangan sertifikasi guru
seperti guru kita dimasa kini, tapi mereka punya dedikasi dan semangat
juang yang tinggi untuk turut mencerdaskan kehidupan bangsa. Karena itu,
nilai peserta didik kita yang tinggi hari ini juga tidak bisa dijadikan
hujjah untuk menyimpulkan bahwa guru-guru dimasa kini sudah
jauh lebih berhasil mendidik putra-putri bangsa ini dibanding guru-guru
sekian puluh tahun yang lalu.
Lalu, apa yang terjadi sesungguhnya dengan
nilai anak-anak kita yang duduk di bangku sekolah hari ini? Bagaimana
kita membaca perbandingan nilai akademik hari ini dengan nilai akademik
beberapa puluh tahun yang lalu? Menurut hemat penulis, fenomena inilah
yang bisa kita sebut sebagai devaluasi atau degradasi nilai akademik
di sekolah. Nilai akademik anak-anak kita yang duduk di bangku sekolah
hari ini sudah jauh lebih tinggi-tinggi dibanding nilai akademik
mereka yang bersekolah sekian puluh tahun yang lalu. Tapi sayangnya,
kemampuan akademik mereka justru tidak jauh lebih baik dari mereka yang
bersekolah sekian puluh tahun yang lalu. Nilai akademik anak-anak kita
hari ini seakan seirama mengikuti nasib nilai tukar mata uang kita.
Jumlahnya semakin hari semakin besar, tapi nilai tukarnya atau valuenya
justru semakin rendah. Dahulu, dengan uang Rp. 20.000 orang bisa
membeli beras segoni, tapi kini dengan uang Rp. 20.000 hanya bisa
membeli beras segantang.
Lantas, apa pula hubungan Ujian Nasional
(UN) dengan devaluasi nilai akademik di sekolah? Agaknya patut diingat
kembali bahwa sejak pelaksanaan UN tahun 2010, kelulusan peserta didik
dalam UN tidak lagi semata-mata ditentukan 100% oleh nilai UN, tapi
juga ditentukan oleh nilai sekolah. Menurut peraturannya, kelulusan
peserta didik dalam UN ditentukan 60 % oleh nilai UN dan 40 % oleh nilai
sekolah. Sedangkan nilai sekolah yang 40 % itu diambil dari nilai rapor
semester 1 sampai 5 sebanyak 40 % dan nilai ujian sekolah sebanyak 60
%. Dengan demikian, nilai rapor peserta didik saat ini berkontribusi
cukup besar dalam menentukan kelulusan peserta didik dalam UN.
Karena alasan untuk membantu peserta didik
lulus UN, maka saat ini guru-guru kita dengan rela ataupun terpaksa
harus bermurah hati memberikan nilai rapor yang lebih tinggi kepada
peserta didik. Salah satu cara yang dilakukan sekolah ialah dengan
meninggikan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) setiap mata pelajaran.
Saat ini, KKM mata pelajaran di sebagian besar sekolah agaknya sudah
berkisar 75 ke atas. Artinya, sebodoh-bodoh peserta didik dalam satu
mata pelajaran jika sudah tuntas minimal harus memperoleh nilai 75.
Karena itu, jika yang paling rendah saja nilainya dalam satu mata
pelajaran sudah 75, maka tentu tidak heran yang paling cerdas dan paling
tinggi nilainya ada yang 98 di rapornya. Dan secara umum, tentu tidak
mengherankan pula rata-rata semua nilai peserta didik kita bagus-bagus.
Karena nilai terendah sendiri sudah dipatok cukup tinggi.
Secara teori, menetapkan KKM atau nilai
terendah yang harus dicapai peserta didik dalam satu mata pelajaran
harus berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu dan tidak boleh
semaunya guru. Ada tiga hal yang harus dipertimbangkan guru dalam
menetapkan KKM, yaitu intake peserta didik, daya dukung, dan kompleksitas. Artinya, jika intake
peserta didik bagus, daya dukungnya bagus, seperti gurunya hebat,
sarana dan prasarana lengkap, serta materinya tidak terlalu rumit, maka
KKM menjadi tinggi. Sebaliknya jika intake peserta didik
rendah, daya dukung juga rendah sementara tingkat kesulitan materi yang
harus dipelajari justru tinggi, maka otomatis KKM yang harus dicapai
harus rendah.
Tapi, meskipun ada rambu-rambu dalam
menentukan KKM, sebagian sekolah tetap saja lebih “bernafsu” menetapkan
KKM yang lebih tinggi. Alasannya sederhana, agar nilai rapor peserta
didik tinggi-tinggi sehingga mereka terbantu untuk lulus UN. Sekali
lagi, untuk membantu peserta didik lulus UN. Dengan demikian, salah
satu sisi lemah UN saat ini ialah turut memicu terjadinya devaluasi
nilai akademik di sekolah.
Bagi guru sendiri, fenomena devaluasi
nilai akademik cukup menjadi dilema, antara keinginan mempertahankan
idealisme dengan keinginan membantu siwa. Di samping itu, peserta didik
yang merasa nilai rapornya sudah tinggi-tinggi justru cendrung sudah
merasa berpuas diri, dan tidak mau belajar lebih giat lagi. Demikian
pula peserta didik yang tidak tuntas dalam belajar atau belum mencapai
kompetensi yang diharapkan, tetap pula malas-malasan belajar karena
merasa yakin, setelah remedial nilainya tetap akan “diselamatkan”.
Bahkan peserta didik yang paling pemalas sekalipun “terpaksa” juga harus
dianggap tuntas dan diberi nilai sebatas KKM oleh guru, sehingga
mereka tetap bisa “tersenyum” melihat nilai rapor mereka. Ini pulalah
agaknya salah satu kelemahan konsep pembelajaran tuntas (mastery learning) yang sudah diterapkan sejak beberapa tahun terakhir ini oleh pemerintah kita.
[ Sumber : Hrian Padang Ekspres • Kamis, 25/04/2013 ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar