GURU SEJATINYA TETAP KUNCI DALAM PROSES PEMBELAJARAN. NAMUN, SEBAGAI AGEN PERUBAHAN, GURU DITUNTUT HARUS MAMPU MELAKUKAN VALIDASI MEPERBAHARUI KEMAMPUANNYA, SESUAI DENGAN TUNTUTAN ZAMAN AGAR TIDAK TERTINGGAL

Loading...
 

Kamis, 25 April 2013

UN dan Devaluasi Nilai Akademik

 

 

Oleh : Junaidi
Guru SMPN 35 Padang, Alumni Ohio State University, AS
 
Kalau kita perhatikan nilai rapor anak-anak kita yang duduk di bangku sekolah hari ini, mungkin kita akan terkagum-kagum. Sebab, sebagian besar nilai mereka sangat  bagus-bagus. Rata-rata 75 ke atas (skala 0-100), bahkan ada yang 98, mendekati nilai sempurna, 100.  Sebaliknya, cukup jarang kita temukan nilai mereka yang rendah-rendah, di bawah 50 misalnya. Selain itu, kita juga tidak akan mene­mu­kan lagi nilai rapor mereka yang di tulis dengan tinta  merah sebagai simbol “gagal” atau tidak berhasil dalam satu mata pelajaran.

Jika dibandingkan dengan nilai rapor orang tua mereka yang berse­kolah beberapa puluh tahun yang lalu, misalnya saja pada era 70an atau 80an, kondisinya tentu jauh berbeda. Di masa itu, dapat nilai 7 atau 8 (skala 0-10), rasanya sudah cukup membanggakan. Sementara, untuk dapat nilai 9 di rapor,  agaknya cukup sulit dan jarang didapat di masa itu. Sebaliknya, jangan heran kalau pemalas belajar dapat banyak “lado” atau angka merah (nilai 5 ke bawah) di buku rapor.

Lalu, apakah dengan tinggi-tinginya nilai rapor anak-anak kita yang duduk di bangku sekolah hari ini merupakan bukti bahwa prestasi belajar mereka sudah jauh lebih baik dari zaman orang tua mereka dulu? Atau apakah anak-anak sekolah kita di masa kini sudah jauh lebih rajin, lebih pintar, lebih berhasil, dibanding anak sekolah di masa lalu sehingga nilai mereka jauh lebih tinggi-tinggi? Ataukah pula guru-guru di masa kini sudah jauh lebih berhasil mendidik anak-anak bangsa ini dibandingkan dengan guru-guru-guru di masa lalu?

Jawaban dari pertanyaan-pertanya­an di atas penulis rasa secara umum semuanya tidak. Nilai peserta didik kita hari ini  yang tinggi-tingi tidak serta merta menjadi garansi bahwa mereka sudah jauh lebih berhasil, lebih rajin, lebih pintar dibandingkan dengan peserta didik yang bersekolah beberapa puluh tahun yang lalu. Meskipun gizi anak-anak sekolah kita di masa kini sudah semakin tercukupi, mereka tak lagi makan ubi, ke sekolah tak lagi banyak yang harus berjalan kaki sekian kilo meter setiap hari.

Demikian juga kalau dikaitkan dengan keberhasilan guru mendidik, mungkin guru-guru kita tempo doloe yang punya dedikasi yang tinggi akan marah bila dianggap “kalah” dalam mendidik anak-anak bangsa ini oleh guru-guru di masa kini. Meskipun guru-guru dimasa lalu belum menyan­dang gelar sarjana, apalagi S.2/S.3. Atau sekalipun mereka tidak memper­oleh tunjangan sertifikasi guru seperti guru kita dimasa kini, tapi mereka punya dedikasi dan semangat juang yang tinggi untuk turut mencerdaskan kehidupan bangsa. Karena itu, nilai peserta didik kita yang tinggi hari ini juga tidak bisa dijadikan hujjah untuk menyimpulkan bahwa guru-guru di­ma­sa kini sudah jauh lebih berhasil mendidik putra-putri bangsa ini diban­ding guru-guru sekian puluh tahun yang lalu.

Lalu, apa yang terjadi sesung­guhnya dengan nilai anak-anak kita yang duduk di bangku sekolah hari ini? Bagaimana kita membaca perbanding­an nilai akademik hari ini dengan nilai akademik beberapa puluh tahun yang lalu? Menurut hemat penulis, fenome­na inilah yang bisa kita sebut sebagai devaluasi atau degradasi nilai akade­mik di sekolah. Nilai akademik anak-anak kita yang duduk di bangku seko­lah hari ini sudah jauh lebih tinggi-ting­g­i dibanding nilai akademik mere­ka yang bersekolah sekian puluh tahun yang lalu. Tapi sayangnya, kemampuan akademik mereka justru tidak jauh lebih baik dari mereka yang bersekolah sekian puluh tahun yang lalu. Nilai akademik anak-anak kita hari ini seakan seirama mengikuti nasib nilai tukar mata uang kita. Jumlahnya semakin hari semakin besar, tapi nilai tukarnya atau valuenya justru semakin rendah. Dahulu, dengan uang Rp. 20.000 orang bisa membeli beras segoni, tapi kini dengan uang Rp. 20.000 hanya bisa membeli beras segantang.

Lantas, apa pula hubungan Ujian Nasional (UN) dengan devaluasi nilai akademik di sekolah? Agaknya patut diingat kembali bahwa sejak pelak­sa­naan UN tahun 2010, kelulusan peserta didik dalam UN tidak lagi semata-mata ditentukan 100% oleh nilai UN, tapi juga ditentukan oleh nilai sekolah. Menurut peraturannya, kelulusan peserta didik dalam UN ditentukan 60 % oleh nilai UN dan 40 % oleh nilai sekolah. Sedangkan nilai sekolah yang 40 % itu diambil dari nilai rapor semester 1 sampai 5 sebanyak 40 % dan nilai ujian sekolah sebanyak 60 %. Dengan demikian, nilai rapor peserta didik saat ini berkontribusi cukup besar dalam menentukan kelulusan peserta didik dalam UN.

Karena alasan untuk membantu peserta didik lulus UN, maka saat ini guru-guru kita dengan rela ataupun terpaksa harus bermurah hati mem­berikan nilai rapor yang lebih tinggi kepada peserta didik. Salah satu cara yang dilakukan sekolah ialah dengan meninggikan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) setiap mata pelajaran. Saat ini, KKM mata pelajaran di seba­gian besar sekolah agaknya sudah berkisar 75 ke atas. Artinya, sebodoh-bodoh peserta didik dalam satu mata pelajaran jika sudah tuntas minimal harus memperoleh nilai 75. Karena itu, jika yang paling rendah saja nilainya dalam satu mata pelajaran sudah 75, maka tentu tidak heran yang paling cerdas dan paling tinggi nilainya ada yang 98 di rapornya. Dan secara umum, tentu tidak mengherankan pula rata-rata semua nilai peserta didik kita bagus-bagus. Karena nilai terendah sendiri sudah dipatok cukup tinggi.

Secara teori, menetapkan KKM atau nilai terendah yang harus dicapai peserta didik dalam satu mata pelaja­ran harus berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu dan tidak boleh semaunya guru. Ada tiga hal yang harus dipertimbangkan guru dalam mene­tapkan KKM, yaitu intake peserta didik, daya dukung, dan kompleksitas. Arti­nya, jika intake peserta didik bagus, daya dukungnya bagus, seperti gurunya hebat, sarana dan prasarana lengkap, serta materinya tidak terlalu rumit, maka KKM menjadi tinggi. Sebaliknya jika intake peserta didik rendah, daya dukung juga rendah sementara tingkat kesulitan materi yang harus dipelajari justru tinggi, maka otomatis KKM yang harus dicapai harus rendah.

Tapi, meskipun ada rambu-rambu dalam menentukan KKM, sebagian sekolah tetap saja lebih “bernafsu” menetapkan KKM yang lebih tinggi. Alasannya sederhana, agar nilai rapor peserta didik tinggi-tinggi sehingga mereka terbantu untuk lulus UN. Sekali lagi, untuk membantu peserta didik lulus UN. Dengan demikian,  salah satu sisi lemah UN saat ini ialah turut memicu terjadinya devaluasi nilai akademik di sekolah.

Bagi guru sendiri, fenomena deva­luasi nilai akademik cukup menjadi dilema, antara keinginan memper­tahan­kan idealisme dengan keinginan membantu siwa. Di samping itu, peser­ta didik yang merasa nilai rapornya sudah tinggi-tinggi justru cendrung sudah merasa berpuas diri, dan tidak mau belajar lebih giat lagi. Demikian pula peserta didik yang tidak tuntas dalam belajar atau belum mencapai kompetensi yang diharapkan, tetap pula malas-malasan belajar karena merasa yakin, setelah remedial nilainya tetap akan “diselamatkan”. Bahkan peserta didik yang paling pemalas sekalipun “terpaksa” juga harus diang­gap tuntas dan diberi nilai sebatas KKM oleh guru, sehingga mereka tetap bisa “tersenyum” melihat nilai rapor mere­ka. Ini pulalah agaknya salah satu kele­mahan konsep pembelajaran tun­tas (mastery learning) yang sudah dite­rapkan sejak beberapa tahun terakhir ini oleh pemerintah kita.

Dari fenomena yang penulis kemu­kakan di atas, agaknya patut diasum­sikan bahwa ada sesuatu yang kurang tepat dengan sistem penilaian hasil be­lajar peserta didik kita sehingga terja­dilah devaluasi nilai akademik. Untuk itu, agaknya pemerintah kita perlu meninjau kembali sistem penilai­an hasil belajar peserta didik agar menjadi lebih baik dan lebih mencer­das­kan. Bukan sebaliknya, justru mem­buat orang cerdas menjadi tidak cerdas, atau membuat orang jujur menjadi ti­dak jujur. Wallahua’alm bish shawab.

[ Sumber : Hrian Padang Ekspres • Kamis, 25/04/2013 ]

Tidak ada komentar:

e-Newsletter Pendididkan @ Facebook :

Belanja di Amazon.com :

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.

PANDUAN VERIFIKASI AKUN PAYPAL ANDA KE REKENING BANK ANDA [KLIK DISINI]