Oleh : ZULKARNAINI DIRAN
(Praktisi dan Pemerhati Pendidikan)
(Praktisi dan Pemerhati Pendidikan)
MURID-MURID SEKOLAH HARI INI
Ia tinggal di pinggir kota. Letak
rumahnya lebih kurang dua puluh kilometer dari pusat kota tempat ia
bersekolah. Setiap hari, ia meninggalkan rumah sebelum pukul enam
pagi. Pulangnya menjelang Magrib jika tidak terjebak macet. Jika
kendaraan yang ditumpanginya terjebak macet, ia baru sampai di rumah
hampir menjelang Isya.
Pada tahun terakhir ini, hari Minggu pun dipakai untuk
kegiatan sekolah. Pukul 07.15 sampai pukul 13.00 mengikuti pelajaran
kurikuler di sekolahnya. Sore belajar untuk program jam tambahan.
Selanjutnya tiga kali seminggu mengikuti les Matematika. Dua kali
seminggu mengikuti les bahasa Inggris. Akhirnya hari-harinya benar-benar
habis untuk kegiatan yang bernama belajar.
Hampir semua anak sekolah di daerah ini bernasib
seperti ilustrasi di atas. Hari-hari, tenaga, dan pikirannya terkuras
habis untuk mengikuti program-program yang dirancang oleh orang dewasa.
Nyaris tidak ada lagi waktu untuk bermain, untuk bercengkerama dengan
teman sebaya. Tidak ada lagi ruang dan waktu untuk berbagi kasih dengan
orang tua dan suadara-saudara di rumah. Jika ada sedikit waktu yang
tersisa di rumah masih harus mereka gunakan untuk mengerjakan pekerjaan
sekolah. Beban yang mereka pikul melebihi kapasitas kemampuannya.
Secara formal, pemerintah sebenarnya telah menetapkan
waktu belajar bagi anak sekolah. Seusia SMP dan SMA disediakan waktu
belajar 42 jam pelajaran (satu jam pelajaran 45 menit) satu minggu.
Rata-rata jam pelajaran satu hari adalah tujuh jam. Kemudian anak
sekolah dapat diberi pekerjaan rumah berupa tugas-tugas. Tugas-tugas itu
dapat diselesaikan setengah dari waktu belajarnya di sekolah. Misalnya
jam pelajaran bahasa Indonesia di SMP enam jam pelajaran. Tugas yang
boleh diberikan oleh guru bahasa Indonesia paling banyak adalah tiga jam
pelajaran. Jadi di rumah, mereka belajar separoh dari jam yang
disediakan sekolah. Akan tetapi, dengan berbagai alasan, orang dewasa
menyediakan program-program yang “luar biasa” untuk mereka.
Waktu belajar sekitar tujuh jam pelajaran di sekolah dan tiga setengah jam pelajaran di rumah, dianggap normal dan wajar untuk usia remaja. Dengan pengalokasian waktu belajar itu, masih ada sisa waktu dalam keseharian. Sisa itu dapat digunakan anak sekolah untuk bermain, mengembangkan minat di berbagai bidang.Dengan waktu yang tersisa itu mereka dapat berkesenian, berolah raga, dan hobi lainnya. Hal itu diasumsikan akan melahirkan keseimbangan dalam pertumbuhan pisik dan psikologis remaja. Keseimbangan pertumbuhan itu penting untuk menghadapi masa dewasanya.
Waktu belajar sekitar tujuh jam pelajaran di sekolah dan tiga setengah jam pelajaran di rumah, dianggap normal dan wajar untuk usia remaja. Dengan pengalokasian waktu belajar itu, masih ada sisa waktu dalam keseharian. Sisa itu dapat digunakan anak sekolah untuk bermain, mengembangkan minat di berbagai bidang.Dengan waktu yang tersisa itu mereka dapat berkesenian, berolah raga, dan hobi lainnya. Hal itu diasumsikan akan melahirkan keseimbangan dalam pertumbuhan pisik dan psikologis remaja. Keseimbangan pertumbuhan itu penting untuk menghadapi masa dewasanya.
Jika waktu yang tersedia untuk belajar di sekolah dan di
rumah itu digunakan secara efektif dan efisien, diperkirakan hasilnya
akan optimal. Efektivitas pemanfaatan waktu maksudnya adalah
keberdayagunaan dan ketepatgunaan. Pembelajaran yang dilakukan guru
selama satu jam pelajaran (45 menit) benar-benar berdaya guna dan tepat
guna. Waktu yang ada itu benar-benar digunakan untuk membelajarkan anak
sekolah. Tidak ada detik dan menit yang terbuang. Tidak ada waktu yang
dibiarkan berlalu tanpa bermanfaat. Tidak ada keterlambatan memulai
pelajaran, tidak ada pembelajaran yang usai sebelum waktunya.
|
|
Sekolah yang satu shif (belajar pagi saja), rata-rata
menggunakan waktu 45 menit untuk satu jam pelajaran. Sekolah yang dua
shif kurang dari itu, ada yang 40 menit dan ada yang 35 menit. Hal itu
tergantung kepada kebijakan sekolah setempat. Pada dasarnya, jika guru
menggunakan kurikulum sebagai pedoman pembelajaran, waktu yang tersedia
itu cukup memadai untuk pembelajaran. Artinya, materi pelajaran,
bahan ajar, dan kompetensi yang hendak dicapai akan selesai dengan waktu
yang tersedia itu. Tentu saja hal penting yang diperlukan adalah
perencanaan pembelajaran yang aplikatif, penyajian pelajaran yang
pragmatis, dan penilaian yang valid.
Pembelajaran yang terlaksana di kelas sering tidak
efektif. Efektif dalam konteks ini adalah mangkus, berdayaguna, dan
berhasil guna. Pembelajaran yang efektif ditandai dengan anak sekolah
belajar, bukan guru mengajar. Artinya, anak sekolah melakukan aktivitas
dalam bentuk berinteraksi dengan sumber belajar dan objek belajar.
Interaksi itu bernaung di bawah bimbingan, arahan, motivasi, dan
pengawasan guru. Aktivitas tersebut berorientasi kepada tujuan yang
jelas dan tegas, berlandaskan kepada indikator yang dapat diuji. Hal itu
akan melahirkan kebermaknaan bagi anak sekolah. Pembelajaran yang
bermakna itulah yang pada dasarnya yang dirindukan oleh anak sekolah.
Kebermaknaan pembelajaran ditandai dengan keterlibatan
mental, emosional, dan fisik pebelajar. Jika guru mengajar, anak
sekolah jadi pendengar. Keterlibatannya sangat tipis. Jika ceramahnya
tidak menarik, mereka hanya akan menerima dengan telinga kiri dan
mengeluarkannya melalui telinga kanan. Jika menarik, mereka akan sedikit
berkonsentrasi dan sambil mencatat. Kemudian catatan dihafal untuk
menghadapi ujian. Akan lain halnya jika mereka melakukan.
“Saya lakukan saya akan mengerti, saya akan paham.” Itu antara lain ungkapan yang sering didengar.
Tak Efisien
Pembelajaran di kelas sering tidak efisien. Efisien
dikaitkan dengan waktu dan tenaga yang dikeluarkan untuk mendapatkan
hasil yang optimal. Hal itu terlihat dari ketepatan waktu mulai
belajar dan ketepatan waktu mengakhiri pelajaran. Jika disiasati secara
teliti, waktu yang tersedia untuk tatap muka dengan anak sekolah di
kelas, akan selalu tidak pas, selalu kurang. Misalkan di dalam daftar
pelajaran tertera dua jam pelajaran (2x45 menit). Pertukaran jam,
keterlambatan guru sampai di kelas, keterlambatan anak sekolah
mempersiapkan diri, membuat waktu yang dua jam itu telah berkurang
sekian menit. Itu kalau situasi normal. Pada situasi tidak normal
kondisinya akan lain, dan sangat lain.
Seyogiyanya bukan penyiksaan terhadap anak sekolah yang
dilakukan. Perbaikan proses pembelajaranlah yang harus dilakukan. Bukan
menambah jam pelajaran dan memforsir tenaga anak sekolah yang
diperbuat, melainkan membuat pembelajaran menjadi efektiflah yang
dilakukan. Bukan dana untuk jam tambahan yang perlu disediakan, tetapi
dana untuk melengkapi srana pembelajaran dan peningkatan komepotensi
gurulah yang diperlukan. Akan tetapi kita telah terlanjur latah,
telanjur “anacak-ancak”. Orang Minangkabau mengatakan, “malabihi
ancak-ancak, mangurangi sio-sio”. Kita orang dewasa telah melakukan
“ancak-ancak”, kelatahan, bahkan kegilaan. Mengapa?
Ada semacam tekanan psikologis terhadap orang dewasa
yang mengurus pendidikan.Tekanan itu bisa berasal dari masyarakat,
politisi, dan birokrat yang lebih tinggi. Tekanan itu terjadi karena
sikap dan cara pandang terhadap pendidikan. Dalam banyak pertemuan,
seminar, dan dalam pidato para pejabat pendidikan sering terdengar. Mutu
pendidikan diindikasikan dengan angka-angka persentase kelulusan ujian
nasional. Semakin banyak anak sekolah peserta ujian nasional yang
lulus, semakin tinggilah mutu pendikan di sekolah itu, di kecamatan itu,
di kabupaten/kota itu. Dengan semakin tingginya angka kelulusan,
dianggap kepala sekolahnya berprestasi, kepala dinasnya berprestasi dan
berprestise, walikota/bupatinya semakin berkualitas. Asumsi itulah yang
membuat terjadinya tekanan psikologis.
Bahwa anak sekolah harus lulus ujian nasional adalah
merupakan kemutlakan. Harus. Jika tidak lulus berarti gagal, tidak
berhasil. Akan tetapi tujuan pembelajaran terhadap anak sekolah
bukanlah sekedar untuk lulus, melainkan lebih luas dari itu. Kalau
hanya sekedar untuk lulus ujian, mengapa harus repot-repot. Ambil saja
jalan yang praktis.
Begitu anak sekolah diterima di suatu sekolah,
langsung didril atau dilatih tiap hari menjawab soal-soal ujian
nasional untuk dua atau tiga tahun terkahir. Kalau tiga tahun berlatih
menyelesaikan soal yang sudah diujikan, dapat diberi jamainan angka
lulus akan sangat tinggi. Bahkan untuk menyatakan lulus sertus persen
sudah dapat dijamin. Akan tetapi, apakah memang anak sekolah belajar
hanya untuk mendapat sertifikat lulus ujian nasional? Inilah
masalahnya.
Tujuan pendidikan nasional tertuang di dalam
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Tujuan pendidikan di tingkat satuan pendidikan
(sekolah) dicantumkan di dalam peraturan pemerintah tentang pendidikan
itu (dasar, menengah, atau tinggi).Tujuan pembelajaran untuk setiap
mata pelajaran biasanya dicantumkan di dalam keputusan menteri atau
pertauran menteri. Keputusan atau peraturan itu biasanya mengatur
tentang kurikulum yang berlaku.Penjelasan lebih rinci tentang tujuan
pembelajaran tiap mata pelajaran dapat dilihat pada kuriklum setiap mata
pelajaran. Selain itu, standar kelulusan dicantumkan di dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan. Jika perangkat-perangkat hukum itu dipedomani, tentu tidak
akan terjadi salah persepsi dan salah resepsi tentang tujuan pendidikan
dan tujuan pembelajaran.
Orang dewasa boleh saja bernafsu tinggi untuk
meningkatkan angka kelulusan, persnetase kelulusan untuk ujian
nasional. Akan tetapi, mereka tidak boleh mengorbankan hal-hal prinsip
dalam pendidikan. Hal prinsip itu misalnya aspek pedagogis. Anak sekolah
bukan alat mekanik yang dapat distel secara otomatis untuk menjawab
pertnayaan-pertnayaan ujian nasional. Mereka bukanlah benda mati yang
dapat diperlakukan dan dibentuk menurut kemauan “nafsu” orang dewasa.
Mereka adalah anak manusia yang memiliki minat, bakat, aspirasi, dan
aspek psikologis lainnya. Hal itu harus tumbuh dan berkembang. Harus
tersalur secara wajar di dalam ruang dan waktu. Harus tumbuh secara
alami dalam kewajaran. Akan tetapi, akibat “nafsu” orang dewasa, hal
itu mulai tersendat, macet, bahkan terhenti.
Pemaksaan demi pemaksaan dirasakan oleh anak sekolah.
Khususnya anak sekolah yang akan mengikuti unjian nasional. Penambahan
jam pelajaran yang melebihi kemampuan anak sekolah dilakukan. Guru-guru
dipaksa (sekurang-kurangnya merasa terpaksa) untuk mengajar di luar
kemampuan tenaganya.
Meskipun disediakan pembayaran ala kadarnya, guru
tetap saja merasa tersiksa melakasnakan tugas. Orang tua anak sekolah
harus membayar tambahan untuk jam tamabahan, yang kadang-kadang
pertanggungjawabannya tidak jelas. Hal ini seolah-olah berjalan
normal, padahal sudah di luar kepatutan dan kepantasan. Anak sekolah
tidak sempat menyampaikan keluhannya kepada guru dan orang tua. Guru
tidak berani menyampaikan deritanya kepada kepala sekolah dan kepala
dinas. Orang tua tidak sempat lagi mengeluh kepada walikota atau bupati.
Akhirnya, anak sekolah, guru, dan orang tua anak sekolah
terpaksalah melayani “nafsu orang dewasa”.
Apakah orang-orang bernafsu ini memiliki kesadaran
tentang makna pendidikan dan pembelajaran?Sepertinya tidak. Sebagian
dari mereka dengan rasa bangga mempublikasikan melalui surat kabar.
“Untuk meningkatkan hasil UN dilaksanakan jam tambahan”.
(Sumber : http://www.harianhaluan.com/)
-->
Tidak ada komentar:
Posting Komentar