TUGAS DAN BACAAN
Tanya saja Paman Google.” Begitulah sapaan akrab mahasiswa saat mencari sesuatu yang baru. Google sudah tidak asing lagi bagi mahasiswa. Setiap referensi untuk setiap mata kuliah lebih banyak dicari di situs www.google.com.
Billy Yunarto, mahasiswa yang kuliah di Politeknik Negeri Padang ini mengatakan, Google menyediakan berbagai media dan content. Setiap referensi yang dibutuhkan mahasiswa yang akrab dipanggil Billy ini dicari melalui mesin pencari Google. Tidak hanya referensi tugas kuliah, ia juga kerap mencari bahan-bahan menarik untuk didownload melalui situs ini.
Alumni MAN 2 Padang itu menyebutkan, bahwa mencari referensi dengan Google jauh lebih nyaman ketimbang buku. Selain itu, ada juga Wikipedia yang menyediakan fasilitas dan informasi penting lainnya. Namun, beberapa pendidikan tinggi di dunia, tak membenarkan sebuah karya ilmiah memakai referensi Wikipedia ini. Ketersedian ini sangat membantu bagi mahasiswa dalam proses kuliahnya. “Tidak semua mahasiswa bisa mempunyai buku. Di samping harga buku yang mahal, buku yang harus dicari pun lebih dari satu. Jika meminjam dari pustaka, akan diberikan masa tenggat peminjaman. Tanya Paman Google lebih murah, “ kata Billy beragumentasi.
Menurutnya, ia tak takut dengan kesalahan informasi yang mungkin didapatnya. “Mutunya terjamin. Tergantung pengguna melihatnya. Selain itu juga dapat mendownload buku buku online gratis,” ia beralasan.
Tidak jauh berbeda dengan Budi Fernandes. Menurut mahasiswa STMIK Indonesia Padang ini, Google telah menyediakan fasilitas yang sangat bagus. Situs yang satu ini bisa membantu mahasiswa mencari puluhan bahkan ratusan referensi dalam waktu yang sedikit. Ini lebih efektif daripada membongkar rak perpustakaan dan membolak-balik buku. Pendapatnya ini juga diamini Tedy, mahasiswa UPI YPTK Padang.
Dicinta Mayoritas Mahasiswa Dari survei kecil-kecilan yang dilakukan terhadap mahasiswa IAIN Imam Bonjol, Padang, terungkap bahwa mayoritas mereka lebih banyak mencari referensi di internet. Memang, masih ada mahasiswa yang rela mengobrak-abrik perpustakaan kampus untuk mencari referensi, tapi jumlahnya tak banyak. Itupun, mereka masih mencari tambahan informasi dari internet, sebab bahan referensi yang disediakan perpustakaan tidak komplit.
Ini diakui sendiri oleh Eni, mahasiswa Fakultas Dakwah IAIN Imam Bonjol. “Teori dari buku referensi yang saya temukan di perpustakaan akan saya coba bandingkan dengan teori pemikir lain yang saya temukan di internet. Memang sih, jadinya saya search bahan juga di Google. Ini terpaksa dilakukan, karena bahan di pustaka tidak cukup, sementara tugas kuliah begitu banyak. Saya tak mungkin mencari bahan ke perpustakaan di kampus-kampus lain.”
Apa yang disampaikan Eni ini mungkin ada benarnya. Sudah bukan rahasia lagi beban kuliah mahasiswa begitu banyak. Tak cukup hanya menjalani 24 SKS kuliah seminggu, harus ditambah lagi dengan tugas-tugas kuliah yang harus dikerjakan dengan referensi yang banyak. Beratnya beban ini membuat mahasiswa cenderung memilih jalan pintas. Mereka pun memilih mencari informasi di internet. Tak peduli apakah informasi yang mereka dapatkan itu ditulis oleh orang yang sama sekali bukan pakar, isinya dangkal atau bahkan tidak benar.
Kecendrungan mahasiswa mencari referensi melalui internet ini ditanggapi oleh Muhammad Natsir, Dosen Sejarah Jurnalistik IAIN Imam Bonjol. Menurutnya mencari bahan lewat internet itu boleh saja.“Itu kan sifatnya teknis saja,” ujarnya.
Boleh saja mencari referensi melalui internet tersebut, asal dikritisi dan dianalisa. Yang tidak bisa dibenarkan adalah, jika artikel itu lalu dicopy paste dan diakui sebagai milik sendiri. Para mahasiswa malas umumnya hunting makalah atau artikel di internet, lalu mengganti nama di artikel tersebut dengan namanya sendiri.
“Semestinya, sebelum mencari bahan, si mahasiswa sudah memiliki kerangka tulisan sendiri, hingga yang ia cari hanyalah referensi pendukung untuk tulisan tersebut.Kata kunci yang digunakan dalam mencari juga menunjukkan kemampuan (analisa) itu,” ujar dosen yang akrab disapa Bang Acil ini sembari mencontohkan, ma hasiswa yang hendak membuat tulisan tentang sejarah pers di masa kolonial mungkin akan mengetikan kata ‘pers’ dan ‘politik etis.’
“Yang terpenting itu menganalisa dan mengkritisi referensi yang ditemukan,” ujar Bang Acil, “bukan menerimanya begitu saja, sebab hal yang demikian tidak membuat akal berkembang,” tuturnya mengakhiri. (Sumber : Harian Haluan, Minggu, 13 November 2011)
Informasi Lainnya :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar