GURU SEJATINYA TETAP KUNCI DALAM PROSES PEMBELAJARAN. NAMUN, SEBAGAI AGEN PERUBAHAN, GURU DITUNTUT HARUS MAMPU MELAKUKAN VALIDASI MEPERBAHARUI KEMAMPUANNYA, SESUAI DENGAN TUNTUTAN ZAMAN AGAR TIDAK TERTINGGAL

Loading...
 

Senin, 05 Maret 2012

Desakralisasi Teknologi

Oleh: Ibnu Hamad
Kepala Pusat Informasi dan Humas Kemdikbud 




Masih ingat mobil ESEMKA? Tentu saja. Kehadirannya telah menarik perhatian berbagai pihak. Bukan hanya hanya di dalam negeri, tetapi juga menembus batas negara. Tidak percaya? Coba buka arsip-arsip di dunia dotcom. Beberapa fakta berikut akan Anda temukan.Vivanews memberitakan (Rabu 11 Januari 2012), Duta Besar AS melalui email mengundang SMK Negeri 2 Surakarta, untuk hadir dalam acara pertemuan asosiasi kewirausahaan Amerika di Kedutaan Besar AS, Jakarta. Tetapi, menurut Dwi Budhi Martono, salah seorang guru di SMK ini, mereka tidak dapat datang pada tanggal saat acara dilaksanakan 10 Januari 2012 karena pada yang saat bersamaan ada kegiatan mobil Esemka. 

Masih dari SMK 2 Surakarta. Humas SMK 2 Surakarta, Kasmadi, mengakui sejak berita keberhasilan siswa SMK Solo muncul, wartawan Malaysia dan  Australia mewawancararinya. Bahkan jaringan Aljazeera, kata Kasmadi, mewawancarai warga masyarakat yang ingin membeli mobil Esemka (Vivanews, 12 Januari 2012).

Dari Solo juga diberitakan, Duta Besar Jerman, Norbet Baas mengunjungi pabrik mobil Esemka di Solo Tekno Park (STP) pada tanggal 28 Januari 2012. Diberitakan, sebelumnya sang Dubes mengakui telah banyak mengetahui Esemka melalui pemberitaan di media massa maupun laporan dari stafnya, namun ingin melihatnya di lapangan (Kompas.com, 29 Januari 2012).

Penulis selaku pengelola Pusat Informasi dan Humas Kemdikbud punya pengalaman diwawancarai wartawati NHK Jepang dari Tokyo. Wartawati, yang alumni Unpad Bandung ini, mewawancarai saya seputar pengembangan SMK di Indonesia, termasuk perbandingannya dengan SMA. Saya menduga kuat, wawancara ini dilakukan atas perintah redakturnya di NHK guna memenuhi keingin-tahuan warga Jepang, dan karenanya wawancara tersebut akan disiarkan – tentu saja kalau memang disiarkan— dalam bahasa Jepang.

Ancaman untuk Negara Maju?

Dengan fakta-fakta di atas, tak berlebihan jika dikatakan bahwa negara-negara kampium teknologi itu berkepentingan dengan SMK. Pertanyaannya, apakah negara-negara penguasa teknologi itu benar-benar tertarik? Apakah sekadar basa-basi diplomatik para duta besar dan kepentingan berita dari medianya? 

Perlu disadari bahwa negara-negara maju secara teknologi itu cenderung berpikir jauh dan untuk jangka panjang. Mereka berpikir bahwa kemampuan siswa-siswa SMK itu merupakan bibit kemajuan yang jika dipelihara dan dipupuk dengan baik akan menjadi kekuatan yang dahsyat.

Mereka tidak mengabaikan begitu saja kemampuan merakit mobil, laptop, pesawat, dan lain-lain teknologi dari para siswa SMK. Setelah bisa merakit, akan dilanjutkan dengan kemampuan membuat komponen sendiri. Setelah itu bukan mustahil akan muncul ide untuk melakukan inovasi teknologi dalam berbagai bidang. 

Mereka memandangnya sebagai ancaman? Besar kemungkinan, paling tidak secara ekonomi. Mereka sudah mafhum bahwa Indonesia adalah pasar yang sangat potensial. Dengan jumlah penduduk yang banyak dan wilayah yang luas, Indonesia merupakan pasar yang bagus untuk memasarkan produk-produk mereka sejak alat dapur hingga pesawat tempur, mulai dari paku ukir hingga teknologi nuklir. Kalau bangsa Indonesia bisa memenuhi sendiri sebagian besar (semua) kebutuhan akan mobil, laptop, pesawat, dan lain sebagainya, tentu saja akan mengancam pasar mereka di dalam negeri Indonesia.

Lebih dari itu, secara geopolitik, jika Indonesia kuat secara teknologi maka akan menjadi kekuatan yang patut diperhitungkan di kawasan. Cobalah, pandang lagi peta Indonesia di kawasan ASEAN. Tampaklah di sana sebagian besar wilayah ASEAN adalah Indonesia. Karena itu, sekiranya Indonesia kuat dalam pembuatan mobil, motor, pesawat, kapal laut, teknologi informasi dan komunikasi, alat pertanian, mesin-mesin pabrik, dan beragam teknologi lainnya, maka akan menjadi kekuatan yang signifikan di wilayah ini, bahkan di kawasan Asia Pasifik.

Dalam kerangka ini pula, dapat dipahami suatu kenyataan: negara-negara maju terlanjur pelit dalam transfer teknologi. Jangankan teknologi yang superstrategis seperti teknologi nuklir, terknologi peralatan rumah tangga saja (tv, kulkas, mesin cuci, rice cooker, dlsb) mereka sudah pelit. Oleh sebab itulah, bagi negara maju yang menempatkan kebangkitan teknologi Indonesia sebagai ancaman, maka sejak awal mereka berkeinginan mengendalikan kemajuan SMK ini. Dengan mengawalnya sejak dini, mereka paling tidak menjadi tahu gerak-gerik kemajuan Indonesia dari waktu ke waktu. Lebih dari itu mereka ingin mempengaruhi, kalau tidak bisa mengontrolnya sama sekali, kemajuan Indonesia sesuai kehendak mereka.

Lain halnya dengan negara-negara yang menempatkan kebangkitan teknologi Indonesia sebagai peluang kerjasama, maka mereka akan mencari peluang untuk bermitra. Sekalipun, semangat yang satu ini masih sesuatu yang sering kita impikan, sekecil apapun peluangnya patut dicermati oleh para pihak yang terkait dengan pengelolaan SMK dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional kita.

Kunci Keberhasilan: Desakralisasi Teknologi

Tepatnya, apa yang dilakukan peserta didik dan tenaga kependidikan SMK-SMK sehingga bisa menarik publik termasuk negara asing? Apa rahasianya mereka mampu membuat mobil, kapal laut, pesawat terbang, laptop, alat pertanian, katering, kecantikan dan lain sebagainya? Apa yang mereka kerjakan? Jawabnya, meminjam istilah Mendikbud, karena secara praktis mereka melakukan desakralisasi teknologi. Peserta didik dan tenaga kependidikan di SMK-SMK telah berhasil menempatkan teknologi sebagai barang yang tidak sakral lagi, melainkan menjadikan teknologi sebagi sesuatu yang dapat diakses, disentuh, dipelajari, diutak-atik, dan direplikasi, dan produksi.

Itulah kuncinya. Melalui desakralisasi ini, dapat dikatakan semua pihak yang terkait dengan SMK menjadikan teknologi sebagai sesuatu yang biasa, yang bisa dipelajari dan dikuasai. Mereka berhasil menciptkan budaya teknologi dengan cara membiasakan para siswa dan gurunya berinteraksi dengan teknologi.

Hal penting lain berkaitan dengan desakralisasi teknologi ini adalah berkurangnya (Insya Allah kedepan akan menghilangkan) anggapan seolah-olah teknologi hanya milik bangsa-bangsa maju, sedangkan bangsa yang berkembang hanya boleh mengekor saja. Selanjutnya, dari sana akan timbul pula semangat untuk berdiri sama tinggi dengan negara-negara lain yang memacu kemajuan bangsanya.Kabar gembiranya, terkait dengan desakralisasi teknologi melalui SMK ini sudah sejak beberapa tahun terkahir ini Kemdikbud terus menambah jumlah SMK. Pada tahun 2008/2009 jumlahnya adalah 7.592 sekolah; masih kalah jauh dari SMA yang berjumlah 10.762 sekolah. [Sumber : http://kemdiknas.go.id]

Informasi Lainnya, klik :



Tidak ada komentar:

e-Newsletter Pendididkan @ Facebook :

Belanja di Amazon.com :

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.

PANDUAN VERIFIKASI AKUN PAYPAL ANDA KE REKENING BANK ANDA [KLIK DISINI]