GURU SEJATINYA TETAP KUNCI DALAM PROSES PEMBELAJARAN. NAMUN, SEBAGAI AGEN PERUBAHAN, GURU DITUNTUT HARUS MAMPU MELAKUKAN VALIDASI MEPERBAHARUI KEMAMPUANNYA, SESUAI DENGAN TUNTUTAN ZAMAN AGAR TIDAK TERTINGGAL

Loading...
 

Sabtu, 11 Februari 2012

Heboh Publikasi Ilmiah

Minggu-minggu ini media cukup dihe­boh­kan dengan keluarnya SK Dirjen Dikti, yang berisikan bahwa tama­tan S-1, S-2 dan S-3 karyanya dimuat dalam jurnal, dengan berbagai level jurnal dan pe­ringkatnya.

Banyak sekali komentar, yang lebih banyak tidak setuju dibandingkan dengan setuju. Diskusi tersebut selain di media masa, juga terjadi di mailing list para reviewer Dikti, milist dosen Unand, dan tentunya juga ada pada account masing-masing, lewat twitter, BBM, facebook dan lainnya.

Bagi yang tidak setuju, fokus diskusi lebih mengarah pada tujuan pendidikan s-1 yang merasa tidak cocok dengan isi surat keputusan. Disamping kelayakannya dari segi apakah muatan jurnal tersebut sanggup untuk dilaksanakan secara benar?. Pokoknya yang menyatakan tidak setuju tentunya memandang bahwa kebijakan Dirjen Dikti adalah dibuat seperti ‘tergesa gesa’, bahkan Kompas hari ini juga memuat dua tulisan, salah satunya Franz Magnis Suseno, yang kali ini termasuk menantang keras lahirnya SK itu.

Penulis termasuk konsisten, dan memandang bahwa kebijakan untuk publikasi karya ilmiah pada pendidikan s-1 adalah sebuah quantum leap, sebuah kebijakan yang mengangkat kualitas dari bawah ‘floor upgraded policy’, artinya penetapan standar kelulusan yang benar-benar mencerminkan sebuah kualitas untuk generasi masa depan.

 

 

Kebijakan itu bukanlah sekedar bongkar muat, bukanlah sebuah kebijakan main-main yang diluruskan oleh Dirjen Dikti. Dari mana asal muasal kebijakan itu?.

Kerangka Kualifikasi Nasional Indo­nesia (KKNI) telah disahklan pada tanggal 17 Januari 2012 oleh Bapak Presiden. KKNI adalah pertama dihasilkan oleh pemerintah Indonesia, semenjak kemer­dekaan, dimana ditetapkannya rumusan dan standar yang mesti dicapai, jika kita ingin menjelengga­rakan pendidikan, mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan level Doktor.

Konsep KKNI yang telah digodok begitu lama akhirnya membuahkan hasil. Ini merupakan sebuah penetapan standar yang jelas, dipedomani dan dilaksanakan oleh penyelenggara pendidikan. Sementara Negara tetangga sudah lama menggunakan standar mereka.

Mari kita lihat deskripsi jenjang kualifikasi 6 untuk S-1 terutama butir 2: “… menguasai konsep teoritis bidang pengetahuan tertentu secara umum dan konsep teoritis bagian khusus dalam bidang pengetahuan tersebut secara mendalam, serta mampu memfor­mula­sikan penyelesaian masalah prose­dural,…”.

Jelas sekali bahwa surat edaran DIrjen Dikti yang ditujukan kepada Rektor dan Kopertis, untuk menggunakan KKNI, dan standar “baru”. Dimana setiap lulusan S-1 sampai s-3 memuat karya ilmiahnya pada jurnal. Surat edaran adalah merupakan tindak lanjut dari formulasi KKNI. Jika banyak fihak yang keberatan, berarti masuk ke dalam kategori, biarkan saja mutu pendidikan seperti sekarang’. Seolah olah begitu.

Wajib publikasi dengan sendirinya bermuara kepada banyak tujuan. Menurut hemat kita adalah,. Pertama mahasiswa yang ingin menempuh jalur pendidikan tinggi umum, maka aspek koginitif akan lebih menonjol, disertai dengan pemenu­han aspek karakter dan soft skills. Kecuali mereka yang ingin masuk ke dalam jalur vokasional, seperti Politeknik, maka ranah Psikomotorik, berupa keterampilan akan terbangun dan lebih menonjol dihasilkan. Pada kelompok kedua ini keterampilan lebih menonjol, sementara pada kelompok pendidikan umum, adalah membangun nalar.

Lantas kalau tugas akhir adalah refleksi dalam memenuhi standar kognitif, maka selama ini penulisan skripsi diserahkan keputusannya pada proses pembimbingan oleh dosen. Bagaimana bisa dosen yang tidak pernah atau jarang menulis akan sanggup memberikan bimbingan. Oleh karenanya dengan mengangkat standar penulisan, maka diharapkan mahasiswa akan semakin banyak membaca, sekaligus akan semakin benar dalam proses menye­lesaikan penulisan skripsi.

Kedua, dengan diterapkannya standar penulisan artikel, maka dengan sendirinya dosen akan segera memperkuat kemam­puan menulis dan meneliti mereka. Bagaimana bisa menyatakan kesalahan mahasiswa ketika dosen tidak sanggup memperlihatkan mana karya mereka yang menjadi acuan mahasiswa. Dampak ganda kebijakan ini tentunya sebuah penetapan standar yang tidak main main, lebih lebih lagi pemerintah juga sudah menetapkan berbagai bentuk kompensasi untuk dosen bersertifikasi dan tunjang guru besar.

Ketiga adalah dengan sendirinya mutu kognitif akan semakin tinggi, dan kemu­dian proses dimana semakin sering terungkap proses penjiplakan dapat dikurangi. Bukankah sering kita mende­ngar plagiarism menjadi sebuah kebia­saan?, bahkan berbagai berita pernah mengungkap begitu mudahnya bagi guru dan dosen yang melakukan penjiplakan untuk kenaikan pangkat. Penerapan ini memang berat, tetapi akan mengikis kuat agar segala praktek kotor dalam bidang akademik selama ini diha­rapkan akan melahirkan budaya baru dalam dunia pendidikan.

Jika keberatan dari kebanyakan orang adalah efisiensi internal dan kesanggupan untuk mewujudkan jurnal, termasuk memenuhi standar ilmiah, maka kese­muanya itu akan dengan sendirinya semakin baik dengan semakin baiknya para dosen yang berdedikasi di perguruan tinggi. Jika persoalan artikelnya yang menjadi kesulitan, maka artikel ilmiah dapat dibuat dalam model ‘research note’, dimana tulisan mahasiswa diungkap sekitar 1500-2000 kata, atau sekitar 5-7 halaman untuk jenjang S-1, tentunya akn semakin ketat dengan semakin tingginya jenjang pendidikan yang ditamatkan.

Demikian juga jika keberatannya adalah publikasi yang menyebabkan keterlambatan, maka proses jurnal bisa diperlonggar dalam kaitannya cukup di awal penerapannya ditetapkan terlebih dahulu bahwa karya telah diterima oleh dewan redaksi jurnal. Kebijakan ini dengan sendirinya juga memaksa dosen akan semakin memperkuat diri mereka dalam meningkatkan kemampuan akademik, tidak sekedar mau jadi pendidik, tetapi malas dalam membaca dan menulis.

Oleh karenanya, sudah saatnya pergu­ruan tinggi menyatakan siap, dan segera dalam menyusun langkah operasional bagaimana mengeksekusi gagasan besar ini. Semoga SK dirjen Dikti, dapat dilihat sisi positifnya. Hanya dengan penetapan standar yang tinggilah, daya saing Indonesia akan meningkat. Bukankah saat ini daya saing Indonesia rendah dise­babkan karena kontribusi pendidikan tinggi yang masih kurang bermutu, serta inovasi yang juga rendah?.

Mari kita berdoa kepada Allah SWT, semoga kita dibimbingNYA. Iqra, setelah itu tuliskan ‘al-qalam. Begitu al-quran dalam tata urutnya. [Sumber : Harian Haluan, Sabtu, 11 Februari 2012]

Artikel Terkait : 

Tidak ada komentar:

e-Newsletter Pendididkan @ Facebook :

Belanja di Amazon.com :

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.

PANDUAN VERIFIKASI AKUN PAYPAL ANDA KE REKENING BANK ANDA [KLIK DISINI]