Oleh : Dra. NOVITA
(Guru Bahasa Indonesia SMPN 7 Padang)
Pendidikan dahulunya adalah institusi yang diharapkan dapat membentuk peserta didik menjadi orang yang cerdas dan berguna bagi nusa dan bangsa. Hal ini tercantum dalam tujuan pendidikan nasional yang menghendaki pembentukan manusia seutuhnya. Menyandang pendidikan tinggi, diharapkan tidak hanya memiliki pengetahuan yang luas tentang bidang yang dikuasai tapi juga harus menjadi pribadi yang memanusiakan manusia lainnya. Maka besar harapan masyarakat bahwa kedepan, manusia berpendidikan tinggi akan memimpin bangsa ini dan mewujudkan kesejahteraan sosial.
Namun, das sein dan das sollen (kenyataan dan harapan) berbeda. Justru belakangan ini kita melihat kasus-kasus mereka yang memiliki pendidikan tinggi merusak bangsanya sendiri. Sebut saja seperti kasus Melinda Dee, seorang karyawati senior Citibank yang membobol Rp17 miliar dana nasabahnya. Kasus lain seperti Gayus Tambunan yang melakukan korupsi pajak negara hingga triliunan rupiah. Adalagi kasus korupsi berjamaah oleh beberapa oknum dari partai penguasa yang menilap uang rakyat hingga triliunan. Ada juga kasus terorisme dan pembobolan ATM yang dilakukan oleh mereka yang memiliki pengetahuan tentang itu.
Dari segelintir kasus kerusakan moral diatas, maka jelaslah bahwa pendidikan tidak lagi mampu menjamin peserta didiknya untuk menjadi manusia seutuhnya. Benar mereka adalah manusia, tapi manusia tanpa moral, iman, nilai dan norma. Mereka inilah yang mencoreng nama bangsa dikancah internasional. Di saat bangsa ini berupaya mewujudkan clean governance sebagai konsekuensi dari peminjaman uang oleh negara donor, justru kejadian demi kejadian memalukan ini terjadi.
Nah, ketika mereka yang berpendidikan saja bisa menjadi maling di negaranya sendiri, maka bagaimana dengan orang-orang yang tidak berpendidikan dan tidak memiliki keahilian khusus? Masih singkronkah jika kita ungkapkan bahwa pendidikan dapat meminimalisir tindak kejahatan dan amoral?
Kasus demi kasus yang menimpa orang-orang berpendidikan harusnya membuka mata kita bahwa ada yang salah dengan pendidikan di negeri zamrud khatulistiwa ini. Nyatanya pendidikan tidak mampu mendidik manusia untuk dapat memanusiakan manusia lainnya. Ada cara yang salah dalam mendidik peserta didik hingga moral, mental dan keimanan mereka tidak terbentuk secara sempurna seperti yang dicita-citakan oleh pendidikan nasional.
Saya menyebut ini sebagai lesalahan dalam paradigma pendidikan. Selama ini, pendidikan di Indonesia hanya menitik beratkan pada pendidikan kognitif. Pendidikan cara ini disebut juga sebagai pendidikan yang kering makna. Anak didik ditempa untuk dapat memahami dan mempelajari ilmu pengetahuan secara teoritis. Mereka dididik untuk menjadi pemikir. Acuan keberhasilan pendidikan pun diambil dari seberapa besar nilai mereka saat diberikan tes kemampuan kognitif.
Pendidikan yang abai pada aspek afektif dan spiritual inilah yang mencetak para intelektual yang korupsi, kolusi dan nepotisme. Pendidikan jugalah yang menyebabkan rasio bermain diatas nurani. Pendidikan inilah yang membentuk manusia yang individual, ingin menang sendiri, hedonis dan berpikir instant dalam mencapai sesuatu. Sebab, pendidikan kita terdahulu memang cenderung berkiblat pada hasil bukan proses dalam mencapai tujuan. Jika indicator hasil yang digunakan, maka jelaslah banyak orang yang telah mengecap pendidikan tinggi berupaya untuk mengejar hasil dan mengabaikan proses bagaimana dia mendapatkan tujuannya.
Manusia cetakan seperti inilah yang mudah terbujuk permbangan zaman. Perubahan yang terjadi seiring perkembangan informasi dan teknologi membujuk manusia keluaran pendidikan berbasis kognitif untuk bertindak “semau gue”. Akhirnya, terbentuklah pribadi seperti hewan.
Mengutip pemikiran Imam al-Ghazali, bahwa ada tiga komponen di dalam diri manusia yang harus dikembangkan secara simultan. Ketiga komponen itu yakni adalah jism, fikr (pikir), dan qalb (hati). Nah, pendidikan di Indonesia selama ini hanya fokus pada aspek pikir. Betul tujuan pendidikan kita adalah membentuk manusia beriman dan bertakwa, tetapi aplikasinya tidak dilakukan. Iman dan takwa tidak boleh hanya diajarkan karena cuma menyentuh ranah kognitif. Sebab, iman dan takwa lebih pada ranah afektif dan psikomotorik. Maka dari itu, muncul dampak seperti terjadi ketidakseimbangan antara kecerdasan intelektual dan pencerahan hati. Maka dari itu, sudah saatnya paradigma pendidikan kita dirumuskan kembali. Faktanya, Indonesia kian tercabut dari nilai-nilai kelokalan yang notabene lebih berkarakter ketimbang budaya instan, serba cepat, dan pragmatis.
Kehidupan hampir semuaya diukur dari materi (uang). Inilah yang disebut dengan budaya pragmatis. Seharusnya, pendidikan mampu untuk menemukan kembali nilai-nilai kebangsaan.
Selain arah pendidikan yang hanya berkiblat pada kognitif, maka kelemahan pendidikan kita yang lainnya yakni komersialisasi pendidikan. Pendidikan cenderung dijadikan ladang uang oleh beberapa pihak. Baik institusi pendidikan negeri maupun swasta berkewajiban untuk mencerdaskan bangsa. Maka dari itu, tidak cukup hanya dengan merancang kurikulum sesempurna mungkin untuk menciptakan. Kognitif, tapi seharusnya juga diciptakan pendidikan yang estetis dan bernilai karakter. Maka dari itu, pendidikan kita haruslah ditujukan untuk melahirkan kebijaksanaan dalam hidup.
Miris jika kita melihat kondisi saat ini dimana institusi pendidikan tidak ubahnya seperi pencetak mesin ijazah. Agar lembaganya laku, sebagian memberikan iming-iming dengan kata-kata lulus cepat, status disetarakan, dapat ijazah, absen longgar, dsb. Institusi yang seperti ini jelas kering idealisme, sebab tujuan mereka tidak lagi mencerdaskan kehidupan bangsa, tapi lebih mirip mesin usang yang mengeluarkan produk yang sulit diandalkan kualitasnya.
Pendidikan Bukan Transfer knowledge
Perlu diingat, bahwa bekal pendidikan tidaklah hanya cukup dengan menuntaskan wajib belajar 12 tahun saja tapi juga harus memberikan bekal berupa ketrampilan dan kepandaian yang dilandasi kepribadian dan akhlak. Maka dari itu, guru sebagai central figure bagi peserta didik tidaklah hanya mengajar dan mendidik saja (transfer of knowledge) tetapi juga harus mampu memberikan membangun kepribadian (building personality) yang terintegrasi dengan iman bagi muridnya.
Pakar Pendidikan, Paulo Freire juga mangatakan bahwa pendidikan seharusnya berorientasi pada pengenalan realitas dari manusia dan dirinya. Hal itu berarti bahwa pendidikan bukan hanyasebagai ajang transfer of knowledge akan tetapi bagaimana ilmu pengetahuan dijadikan saranauntuk mendidik manusia agar mampu membaca realitas sosial. Pendidikan diharapkan bisa menuju tercapainya sikap dan perilaku “toleran”, lapang dada dalam berbagai hal dan bidang, berorientasi pada intensifikasi pemahaman bahasa asing sebagai alat untuk mengumpulkan ilmu pengetahuanyang semakin pesat perkembaganya, mampu menumbuhkan kemampuan untuk berswadaya dan mandiri dalam kehidupan untuk menghadapi pertumbuhan penduduk, perubaan struktur ekonomi dan sosial yang luas dan mempunyai jangkauan yang jauh, menumbuhkan etoskerja, mempunyai apresiasi pada kerja, disiplin dan jujur.
Perubahan Paradigma Pendidikan
Fenomena di atas, membuat miris dan telah lama menggugah kepedulian Nasional denga pengambilan langkah strategis melalui ketetapan-ketetapan yang mengarah kepada pendidikan. Belakangan, telah tampak adanya upaya perubahan paradigma pendidikan yang tidak lagi hanya mengandalkan kemampuan kognitif tapi juga telah melibatkan pendidikan afaktif dan psikomotorik. Bahkan belakangan, ada rencana untuk menciptakan pendidikan berkarakter guna mendapatkan lulusan yang berkarakter.
Patut disadari bahwa masyarakat dan negara tidaklah dapat melepaskan diri dari tanggung jawab pendidikan. Karena, tiap-tiap masalah yang timbul kususnya terhadap dekadensi moral akibat ulah dan perbuatan sebab akibat sebagai hukum kausalitasnya. Seiring berjalannya waktu, maka akan terjadi regenerasi. Sebab itu, generasi muda harus diberikan pembekalan yang cukup guna membangun bangsa kedepan. Pembekalan itu dilakukan oleh masyarakat dan institusi pendidikan. Sebab itulah, agar generasi penerus bangsa dikemudian hari tidak terjebak dalam system pendidikan yang buruk, diperlukan pembenahan ditubuh internal pendidikan itu sendiri.
Hampanya nilai-nilai budi pekerti serta nilai-nilai spiritual perlu memunculkan perspektif baru untuk mencari kemungkinan system dan strategi baru sebagai alternatif pola pikir manusia pendidikan. Dua konsep baru seperti paradigma peradapan modern dan rekonstruksi ajaran-ajaran tradisional peninggalan nenek moyang sebagai warisan leluhur untuk dihidupkan kembali merupakan dua alternatif kesadaran dan pandangan hidup yang diharapkan mampu mencerminkan jati diri kehidupan bangsa
[Sumber : Harian Haluan, Senin 27 Februari 2012]
(Guru Bahasa Indonesia SMPN 7 Padang)
Namun, das sein dan das sollen (kenyataan dan harapan) berbeda. Justru belakangan ini kita melihat kasus-kasus mereka yang memiliki pendidikan tinggi merusak bangsanya sendiri. Sebut saja seperti kasus Melinda Dee, seorang karyawati senior Citibank yang membobol Rp17 miliar dana nasabahnya. Kasus lain seperti Gayus Tambunan yang melakukan korupsi pajak negara hingga triliunan rupiah. Adalagi kasus korupsi berjamaah oleh beberapa oknum dari partai penguasa yang menilap uang rakyat hingga triliunan. Ada juga kasus terorisme dan pembobolan ATM yang dilakukan oleh mereka yang memiliki pengetahuan tentang itu.
Dari segelintir kasus kerusakan moral diatas, maka jelaslah bahwa pendidikan tidak lagi mampu menjamin peserta didiknya untuk menjadi manusia seutuhnya. Benar mereka adalah manusia, tapi manusia tanpa moral, iman, nilai dan norma. Mereka inilah yang mencoreng nama bangsa dikancah internasional. Di saat bangsa ini berupaya mewujudkan clean governance sebagai konsekuensi dari peminjaman uang oleh negara donor, justru kejadian demi kejadian memalukan ini terjadi.
Nah, ketika mereka yang berpendidikan saja bisa menjadi maling di negaranya sendiri, maka bagaimana dengan orang-orang yang tidak berpendidikan dan tidak memiliki keahilian khusus? Masih singkronkah jika kita ungkapkan bahwa pendidikan dapat meminimalisir tindak kejahatan dan amoral?
Kasus demi kasus yang menimpa orang-orang berpendidikan harusnya membuka mata kita bahwa ada yang salah dengan pendidikan di negeri zamrud khatulistiwa ini. Nyatanya pendidikan tidak mampu mendidik manusia untuk dapat memanusiakan manusia lainnya. Ada cara yang salah dalam mendidik peserta didik hingga moral, mental dan keimanan mereka tidak terbentuk secara sempurna seperti yang dicita-citakan oleh pendidikan nasional.
Saya menyebut ini sebagai lesalahan dalam paradigma pendidikan. Selama ini, pendidikan di Indonesia hanya menitik beratkan pada pendidikan kognitif. Pendidikan cara ini disebut juga sebagai pendidikan yang kering makna. Anak didik ditempa untuk dapat memahami dan mempelajari ilmu pengetahuan secara teoritis. Mereka dididik untuk menjadi pemikir. Acuan keberhasilan pendidikan pun diambil dari seberapa besar nilai mereka saat diberikan tes kemampuan kognitif.
Pendidikan yang abai pada aspek afektif dan spiritual inilah yang mencetak para intelektual yang korupsi, kolusi dan nepotisme. Pendidikan jugalah yang menyebabkan rasio bermain diatas nurani. Pendidikan inilah yang membentuk manusia yang individual, ingin menang sendiri, hedonis dan berpikir instant dalam mencapai sesuatu. Sebab, pendidikan kita terdahulu memang cenderung berkiblat pada hasil bukan proses dalam mencapai tujuan. Jika indicator hasil yang digunakan, maka jelaslah banyak orang yang telah mengecap pendidikan tinggi berupaya untuk mengejar hasil dan mengabaikan proses bagaimana dia mendapatkan tujuannya.
Manusia cetakan seperti inilah yang mudah terbujuk permbangan zaman. Perubahan yang terjadi seiring perkembangan informasi dan teknologi membujuk manusia keluaran pendidikan berbasis kognitif untuk bertindak “semau gue”. Akhirnya, terbentuklah pribadi seperti hewan.
Mengutip pemikiran Imam al-Ghazali, bahwa ada tiga komponen di dalam diri manusia yang harus dikembangkan secara simultan. Ketiga komponen itu yakni adalah jism, fikr (pikir), dan qalb (hati). Nah, pendidikan di Indonesia selama ini hanya fokus pada aspek pikir. Betul tujuan pendidikan kita adalah membentuk manusia beriman dan bertakwa, tetapi aplikasinya tidak dilakukan. Iman dan takwa tidak boleh hanya diajarkan karena cuma menyentuh ranah kognitif. Sebab, iman dan takwa lebih pada ranah afektif dan psikomotorik. Maka dari itu, muncul dampak seperti terjadi ketidakseimbangan antara kecerdasan intelektual dan pencerahan hati. Maka dari itu, sudah saatnya paradigma pendidikan kita dirumuskan kembali. Faktanya, Indonesia kian tercabut dari nilai-nilai kelokalan yang notabene lebih berkarakter ketimbang budaya instan, serba cepat, dan pragmatis.
Kehidupan hampir semuaya diukur dari materi (uang). Inilah yang disebut dengan budaya pragmatis. Seharusnya, pendidikan mampu untuk menemukan kembali nilai-nilai kebangsaan.
Selain arah pendidikan yang hanya berkiblat pada kognitif, maka kelemahan pendidikan kita yang lainnya yakni komersialisasi pendidikan. Pendidikan cenderung dijadikan ladang uang oleh beberapa pihak. Baik institusi pendidikan negeri maupun swasta berkewajiban untuk mencerdaskan bangsa. Maka dari itu, tidak cukup hanya dengan merancang kurikulum sesempurna mungkin untuk menciptakan. Kognitif, tapi seharusnya juga diciptakan pendidikan yang estetis dan bernilai karakter. Maka dari itu, pendidikan kita haruslah ditujukan untuk melahirkan kebijaksanaan dalam hidup.
Miris jika kita melihat kondisi saat ini dimana institusi pendidikan tidak ubahnya seperi pencetak mesin ijazah. Agar lembaganya laku, sebagian memberikan iming-iming dengan kata-kata lulus cepat, status disetarakan, dapat ijazah, absen longgar, dsb. Institusi yang seperti ini jelas kering idealisme, sebab tujuan mereka tidak lagi mencerdaskan kehidupan bangsa, tapi lebih mirip mesin usang yang mengeluarkan produk yang sulit diandalkan kualitasnya.
Pendidikan Bukan Transfer knowledge
Perlu diingat, bahwa bekal pendidikan tidaklah hanya cukup dengan menuntaskan wajib belajar 12 tahun saja tapi juga harus memberikan bekal berupa ketrampilan dan kepandaian yang dilandasi kepribadian dan akhlak. Maka dari itu, guru sebagai central figure bagi peserta didik tidaklah hanya mengajar dan mendidik saja (transfer of knowledge) tetapi juga harus mampu memberikan membangun kepribadian (building personality) yang terintegrasi dengan iman bagi muridnya.
Pakar Pendidikan, Paulo Freire juga mangatakan bahwa pendidikan seharusnya berorientasi pada pengenalan realitas dari manusia dan dirinya. Hal itu berarti bahwa pendidikan bukan hanyasebagai ajang transfer of knowledge akan tetapi bagaimana ilmu pengetahuan dijadikan saranauntuk mendidik manusia agar mampu membaca realitas sosial. Pendidikan diharapkan bisa menuju tercapainya sikap dan perilaku “toleran”, lapang dada dalam berbagai hal dan bidang, berorientasi pada intensifikasi pemahaman bahasa asing sebagai alat untuk mengumpulkan ilmu pengetahuanyang semakin pesat perkembaganya, mampu menumbuhkan kemampuan untuk berswadaya dan mandiri dalam kehidupan untuk menghadapi pertumbuhan penduduk, perubaan struktur ekonomi dan sosial yang luas dan mempunyai jangkauan yang jauh, menumbuhkan etoskerja, mempunyai apresiasi pada kerja, disiplin dan jujur.
Perubahan Paradigma Pendidikan
Fenomena di atas, membuat miris dan telah lama menggugah kepedulian Nasional denga pengambilan langkah strategis melalui ketetapan-ketetapan yang mengarah kepada pendidikan. Belakangan, telah tampak adanya upaya perubahan paradigma pendidikan yang tidak lagi hanya mengandalkan kemampuan kognitif tapi juga telah melibatkan pendidikan afaktif dan psikomotorik. Bahkan belakangan, ada rencana untuk menciptakan pendidikan berkarakter guna mendapatkan lulusan yang berkarakter.
Patut disadari bahwa masyarakat dan negara tidaklah dapat melepaskan diri dari tanggung jawab pendidikan. Karena, tiap-tiap masalah yang timbul kususnya terhadap dekadensi moral akibat ulah dan perbuatan sebab akibat sebagai hukum kausalitasnya. Seiring berjalannya waktu, maka akan terjadi regenerasi. Sebab itu, generasi muda harus diberikan pembekalan yang cukup guna membangun bangsa kedepan. Pembekalan itu dilakukan oleh masyarakat dan institusi pendidikan. Sebab itulah, agar generasi penerus bangsa dikemudian hari tidak terjebak dalam system pendidikan yang buruk, diperlukan pembenahan ditubuh internal pendidikan itu sendiri.
Hampanya nilai-nilai budi pekerti serta nilai-nilai spiritual perlu memunculkan perspektif baru untuk mencari kemungkinan system dan strategi baru sebagai alternatif pola pikir manusia pendidikan. Dua konsep baru seperti paradigma peradapan modern dan rekonstruksi ajaran-ajaran tradisional peninggalan nenek moyang sebagai warisan leluhur untuk dihidupkan kembali merupakan dua alternatif kesadaran dan pandangan hidup yang diharapkan mampu mencerminkan jati diri kehidupan bangsa
[Sumber : Harian Haluan, Senin 27 Februari 2012]
2 komentar:
-----------------------
السلام عليكم ورحمة الله وبركا ته
-------------------------------
Terima kasih kita ucapkan kepada Dra. NOVITA yang telah membuat tulisan di media EN ini, apresiasi pun kita berikan. Menulis dalam rangka menebar pengetahuan.
Ada sedikit yang perlu mendapat perhatian kita, yakni pesan Ibu Dra. NOVITA ini terlalu tendensius, terlalu menggeneralisasi. Seakan pendidikan kita sudah rusak semua di masa lampau.
Saya memang belum mengadakan penelitian, namun saya dapat memberikan keyakinan bahwa sebagian besar pendidkan masa lampau sangat berhasil. hanya segelintir orang yang bermental jahat (dalam segala bentunya). Akan tetapi kejahatan orang yang segelintir itu sangat besar pengaruhnya terhadap keamanan dan keterban dan jug di beritakan secara tendensius, menimbulkan image yang luar biasa, seperti yang di sangkakan oleh IbuDra. NOVITA ini.
Kedua, Mengomentari dunia pendidikan yang kita bangun ini jangan hanya dari sisi negatifnya saja, yang positifnya juga telah luar biasa. Pada saat ini kebanyakan komentataor memberikan komentar sering pada sisi politiknya.
Sering juga lebih-lebih kawan-kawan yang baru saja pulang dari Luar Negeri, seenaknya saja dia memaki-maki kondisi pendidikan di Tanah Air.
Ingat pembangunan pendidikan di Indonesia sudah sangat komlek, tidak bisa kita amati hanya dari sisi tertentu saja dan juga tidak bisa hanya ditanggapi dengan menggunakan konsep tertentu saja, karena dipengaruhi oleh luasnya negara kita, banyaknya penduduk dan aneka ragam budaya dan agamanya. Konsep pembangunannya tidak bisa dilaksanakan hanya menurut ide seorang atau dua orang Ahli. Semua membutuhkan penanganan yang luar biasa, baik ditinjau dari tenaga ahli, dana dan perundang-undangan serta lainnya.
Siapa yang mau bercermin ke Amerika Serikat yang dianggap sangat maju, boleh juga, namun disana tetap saja ada orang jahat dengan segala bentunya. Akibat kejahatan yang mereka lakukan tidak saja dirasakan oleh masyarakatnya sendiri dan bahkan masyarakat dunia juga mersakannya.
Demikian semoga bermanfaat.
Saya setuju berterima kasih kepada Dra Novita yang telah menulis, dan juga telah dikomentari oleh sdr. Jalius.
Pendidikan kita (baca: rakyat Indonesia) yang dikomentari Novita tentulah pendidikan untuk rakyat Indonesia Sabang Merauke dan yang bermula semenjak zaman Mojopahit dahulu sampai dengan pendidikan dengan kurikulum (KTSP) sekarang.
Hasil pendidikan yang dinilai 'mengecewakan' karena dikait-kaitkan dengan para koruptor dan teroris tentulah tidak dapat dibantah, karena realitanya memang seperti itu. Namun, para koruptor, politisi muka tembok, dan mereka yang gemar melakukan tindak kekerasan dan pelanggaran hukum jumlahnya masih jauh lebih sedikit dari orang baik-baik. Mereka juga 'produk' pendidikan di negara zamrud khatulistiwa ini.
Yang ingin saya pertanyakan sebagai ulasan dari tulisan buk Novita adalah:
1. berapa orangkah di Indonesia, saat ini yang berpikir tentang pendidikan Indonesia yang memprihatinkan ini?
2. dari mereka yang berpikir tentang pendidikan itu, berapa orang yang mempunyai 'kekuatan' dan bisa mempengaruhi pendidikan itu secara massive? Mengingat Indonesia negara luas dengan institusi pendidikan yang ratusan ribu jumlahnya.
3. Siapa sekarang yang menjadi kepala sekolah, kepala dinas, staf kementrian pendidikan, dan mereka yang mempunyai berbagai yayasan pendidikan?
4. Apakah kita berani memberikan jawaban positif atas ketiga pertanyaan di atas? Bila jawabannya negatif, jangan bermimpi kondisi pendidikan kita akan berubah menjadi lebih baik dari yang kita cermini saat ini.
Fekry Nur, Pengawas Sekolah Prop Sumbar.
Posting Komentar