"Revolusi Industri 4.0" - Studium Generale KU-4078 oleh : Rektor ITB : Prof. Dr. Ir. Kadarsah Suryadi, DEA, Rabu, 27 Maret 2019
Oleh: Diyan Nur Rakhmah
Klaus Schwab dalam bukunya The Fourth Industrial
Revolution (2016) mengemukakan tentang Revolusi Industri Generasi Keempat
(Revolusi Industri 4.0) yang ditandai dengan kelahiran artificial
intelegent pada ragam bentukan produk yang dapat bekerja layaknya fungsi
otak manusia yang dioptimalisasikan.
Otomasi dan pengambilalihan bidang kerja yang
dimekanisasi melalui perangkat digital menjadi keniscayaan dan mengarahkan pada
praktik-praktik bidang kerja yang berpusat pada eliminasi 'berkedok' efisiensi
tenaga kerja manusia sebagai muaranya.
Ragam 'kecerdasan buatan' tersebut di antaranya adalah
super komputer, robot pintar, kendaraan tanpa pengemudi, dan lain sebagainya.
Konsep Revolusi Industri 4.0 ini menemukan pola dan mekanisme kerja baru ketika
disruptif teknologi hadir begitu cepat yang secara bertahap mendominasi sendi
kehidupan dan keseharian manusia.
Tuntutan Revolusi Industri 4.0
Revolusi Industri 4.0 merupakan perubahan strategis dan
drastis tentang pola produksi yang mengolaborasikan tiga dimensi utama di
dalamnya, yakni manusia, teknologi/mesin, dan big data.
Dalam banyak literatur, kunci dari era industri generasi
keempat ini bukan lagi berkisar pada ukuran atau besaran perusahaan atau
organisasi, tetapi kelincahan dan sifat adaptif yang dimiliki untuk dapat
bertahan dalam iklim kompetitif dan dinamis menghadapi perubahan yang bergerak
melesat.
Soft skills dan transversal skills menjadi
modal penting bagi generasi yang hidup dan menjadi pelaku perubahan di era
revolusi industri tersebut.
Peluncuran 'Program Making Indonesia 4.0' pada beberapa
bulan lalu menjadi salah satu upaya Indonesia menyambut penetrasi Revolusi
Industri 4.0, yang kedatangannya diharapkan tidak sekadar disambut oleh euforia
yang melenakan, tetapi merangsang kesadaran bahwa kesiapaan bangsa ini untuk
menceburkan diri pada arus revolusi tersebut harus disertai dengan 'pemberian
bekal' yang mumpuni agar menghindarkan diri terseret arus globalisasi yang
menenggelamkan.
Banyak analisa menyatakan bahwa keunggulan
kompetitif (competitive adventage) sebuah bangsa di era Revolusi
Industri 4.0 ini sesungguhnya mengejawantah pada kemampuan mengintegrasikan
beragam sumber daya yang dimiliki agar memiliki konektivitas pada penguasaan
teknologi, komunikasi, dan big data untuk menghasilkan 'smart product'
dan 'smart services', dan tidak sekadar pada produktivitas kerja yang berskala
besar semata.
Ada baiknya kita mencermati pernyataan Menteri
Ketenagakerjaan (Menaker) yang dirilis media tentang kesiapan bangsa ini
menghadapi perubahan besar pada pola industri dan ekonomi global melalui
Revolusi Industri 4.0 ini.
Bayang-bayang industries shock dan empower
shock semakin rentan menghantui kesiapan bangsa ini terhadap perubahan
yang telah berjalan di hadapan mata. Beberapa hari lalu, Menaker kembali
menegaskan kepada media, bahwa perkembangan teknologi dan digitalisasi akan
membuat sekitar 56 persen pekerja di dunia akan kehilangan pekerjaan dalam 10
sampai 20 tahun ke depan.
Pernyataan Menaker tersebut juga selaras dengan proyeksi
Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization/ILO) belum
lama ini.
Perkembangan teknologi dan digitalisasi akan membuat
sekitar 56 persen pekerja di dunia akan kehilangan pekerjaan dalam 10 sampai 20
tahun ke depan.
Tantangan Utama Revolusi Industri 4.0
Salah satu program prioritas dalam peta
jalan (roadmap) 'Making Indonesia 4.0' adalah peningkatan kualitas
sumber daya manusia, yang dapat mengelaborasi ilmu pengetahuan, keterampilan
hidup, dan penguasaan terhadap teknologi informasi.
Menurut survei McKinsey (2018) disebutkan bahwa
penguasaan terhadap teknologi digital dapat berkontribusi sebesar USD 3 triliun
untuk pasar ekonomi global di tahun 2030, atau setara dengan 16 persen lebih
tinggi dari total Produk Domestik Bruto (PDB) sedunia pada saat itu.
Ragam analisis mengemuka terkait dengan tantangan utama
yang dihadapi sumber daya manusia Indonesia dalam menjalankan revolusi industri
keempat ini. Mekanisasi oleh mesin dan teknologi digital menjadi tantangan
utama layaknya api dalam sekam.
Beragam penemuan teknologi, digitalisasi, dan terobosan
bidang teknologi tergambar pada studi McKinsey (2017) yang menyatakan bahwa
sekitar 52,6 juta jenis pekerjaan pada jangka waktu lima tahun ke depan akan
digantikan oleh mesin dengan sistem otomasi.
Selaras dengan kajian McKinsey, data National Science
Foundation (2016) menyebut bahwa dunia industri dalam 10 tahun ke depan akan
menunjukkan potensi kebutuhan tenaga kerja dengan kemampuan kompetensi sains,
teknologi, teknik, dan matematika pada 80 persen lapangan kerja yang tersedia.
Sekitar 52,6 juta jenis pekerjaan pada jangka waktu lima
tahun ke depan akan digantikan oleh mesin dengan sistem otomasi.- McKinsey
Ironi Bonus Demografi
Bonus Demografi menjadi salah satu istilah yang
belakangan mendadak tenar dan digandrungi para pengambil kebijakan. Pada
fenomena Bonus Demografi, jumlah tenaga kerja produktif yang tersedia di pasar
menjadi lebih banyak dibandingkan penduduk di tingkat usia lainnya.
Kajian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (2015) menyebut
bahwa pada 2013-2014, penduduk usia produktif berjumlah sekitar 62,7 persen
dari keseluruhan populasi penduduk sebesar 237 juta orang, dan mengalami
potensi kenaikan sebesar 10 persen setiap tahunnya hingga mencapai puncaknya
pada 2035.
Artinya, kebutuhan akan ketersediaan lapangan kerja dan
sumber pencaharian pada rentang tahun tersebut akan menjadi hal yang
mengkhawatirkan pemenuhannya.
Ironisnya, beberapa kajian menyimpulkan bahwa terjadinya
ketidakselarasan kualitas dan relevansi lulusan pendidikan terhadap tuntutan
pasar tenaga kerja. Laporan World Bank tahun 2011, misalnya, yang melakukan
survey terhadap 473 perusahaan jasa dan manufaktur di Indonesia, memberikan
gambaran hal tersebut.
Pun sama halnya dengan data Badan Pusat Statistik (2017),
yang dalam laporannya menunjukkan bahwa sebanyak 50,17 persen tenaga kerja
lulusan sekolah menengah banyak yang tidak terserap dalam pasar kerja.
Sebanyak 50,17 persen tenaga kerja lulusan sekolah
menengah banyak yang tidak terserap dalam pasar kerja. - BPS (2017)
Siapkah Kita?
Jika dunia industri Indonesia tengah dihadapkan pada
tantangan era generasi keempat (4.0), maka berbeda halnya dengan pendidikan di
Indonesia yang saat ini masih bergelut dengan ragam tantangan di era generasi
ketiganya (3.0).
Kondisi ini ditandai dengan tuntutan akan peningkatan
kualitas pembelajaran dan meninggalkan pola kebijakan lama yang sekadar
berkutat pada masalah pemerataan akses serta pemenuhan sarana prasarana
pendidikan.
Perubahan pola kebijakan yang berorientasi pada kualitas
pembelajaran ini selaras dengan tuntutan tentang apa dan bagaimana seharusnya
pendidikan di Indonesia sebagai media penyiapan sumber daya manusia yang siap
terlibat dalam tantangan Revolusi Industri 4.0 tersebut.
Pertanyaan yang pasti muncul adalah, “Siapkah kita
memenuhi tuntutan sekaligus menghadapi tantangan revolusi industri 4.0?”
Beberapa hal mengenai sampai di mana pendidikan kita dan persiapan apa yang
diperlukan, saya coba urai satu persatu di bawah ini.
Pendidikan di Indonesia yang saat ini masih bergelut
dengan ragam tantangan di era generasi ketiga Revolusi Industri (3.0).
Kurikulum
Penyelarasan pembelajaran dalam tataran praktik yang
disesuaikan pada konstruk kurikulum yang telah ada menjadi
fokus pertama dalam penyelesaian ‘pekerjaan rumah’ pemerintah dalam
bidang pendidikan.
Kebijakan Kurikulum 2013 telah mengelaborasi kemampuan
siswa pada dimensi pedagogik, kecakapan hidup, kemampuan hidup bersama
(kolaborasi), dan berpikir kritis dan kreatif. Ini yang kemudian disinggung
pada awal tulisan, yaitu pengedepanan 'soft skills' dan 'transversal skills',
keterampilan hidup, dan keterampilan yang secara kasat tidak terkait dengan
bidang pekerjaan dan akademis tertentu.
Namun, hal itu bermanfaat luas pada banyak situasi
pekerjaan layaknya kemampuan berpikir kritis dan inovatif, keterampilan
interpersonal, warga negara yang berwawasan global, dan literasi terhadap media
dan informasi yang ada.
Banyak kajian mengemukakan bahwa implementasi kurikulum
di lapangan mengalami degradasi yang keluar konteks dan tidak lagi berorientasi
pada pencapaian kemampuan siswa tersebut pada pemahaman ilmu dalam konteks
praktik hidup dan keseharian, namun hanya berkisar pada target pencapaian
kompetensi siswa yang digambarkan pada nilai-nilai akademik semata.
Implementasi kurikulum di lapangan mengalami degradasi
yang keluar konteks dan tidak lagi berorientasi pada pencapaian kemampuan siswa
tersebut pada pemahaman ilmu dalam konteks praktik hidup dan keseharian.
Metode Belajar
Kedua, menstimulus kemampuan siswa melalui beragam
terobosan metode belajar kontekstual yang mendorong siswa berpikir kritis dalam
beragam konteks hidup yang nanti dihadapinya, seperti problem-based
learning, inquiry-based learning, pendekatan pembelajaran Science,
Technology, Engineering, Arts, dan Mathematics (STEAM), dan ragam
pendekatan pembelajaran lainnya.
/div>
/div>
Sehingga tidak sekadar berfokus pada pola-pola lama dan
monoton pada pembelajaran yang minim kreativitas.
Selama ini kita banyak beranggapan bahwa guru adalah
kunci keberhasilan sebuah praktik pembelajaran pada siswa, tetapi lupa untuk
mengakui bahwa guru tidak lagi menjadi satu-satunya sumber belajar siswa.
Pola dan metode pembelajaran lama sering kali menempatkan
guru menjadi satu-satunya sumber belajar dan 'maha tahu' di dalam ruang kelas,
seolah melupakan bahwa siswa yang merupakan subjek belajar pun sesungguhnya
merupakan sumber belajar bagi rekan sejawatnya.
Metode pembelajaran yang beragam dan membuka keleluasaan
guru dalam mengeksplorasi sistem dan pola pembelajaran yang dijalankan di
kelas, diharapkan akan juga memperluas wawasan siswa tentang kontekstualisasi
ilmu yang didapatkannya di dalam kelas menuju praktik hidup yang dihadapinya
nanti sebagai bagian dari realitas kehidupan.
Membuka banyak kesempatan dan peluang kepada siswa, guru,
sekolah, dan iklim pendidikan secara luas untuk mengembangkan cakupan sumber
belajar yang dimilikinya, baik dari sumber yang
sifatnya tangible maupun intangible, akademis ataupun non
akademis, tanpa batasan aksesibilitas atas sumber belajar tersebut.
Dalam hal ini, pemerintah melalui kebijakan-kebijakannya
harus hadir dalam mengakomodir kebutuhan tersebut.
Selama ini kita banyak beranggapan bahwa guru adalah
kunci keberhasilan sebuah praktik pembelajaran pada siswa, tetapi lupa untuk
mengakui bahwa guru tidak lagi menjadi satu-satunya sumber belajar siswa.
Penguasaan Data, Informasi, dan Teknologi
Ketiga, menstimulus dan memfasilitasi siswa serta
masyarakat pendidikan untuk menguasai data dan informasi secara global, serta
teknologi informasi yang dielaborasi dengan menciptakan ruang-ruang kreativitas
dan ragam peluang yang memberikan keuntungan ekonomi yang sifatnya luas.
Dalam hal ini, pemerintah harus dapat mengakomodir
infrastruktur digital yang dibutuhkan siswa dan masyarakat pendidikan untuk
meniscayakan penguasaan data, informasi, serta teknologi tersebut.
Kapasitas yang Adaptif
Dan keempat, mendorong perkembangan pendidikan
berbasis vokasional, dengan ragam keterampilan yang tidak sekadar mengedepankan
konsep link and match antara SMK dengan dunia industri, tetapi juga
menekankan kapasitas lulusan yang lincah, adaptif, dan sensitif terhadap
perubahan lingkungan industri dan ekonomi.
Keseimbangan pemahaman antara konsep pengetahuan dan keterampilan
adalah hal yang penting, tetapi belum cukup bagi siswa untuk dapat memahami
cepatnya perubahan lingkungan. Survival of the fittest sepertinya
akan berlaku di era generasi keempat ini.
Hanya mereka yang adaptiflah, yang
akan survive terhadap gempuran Revolusi Industri 4.0 ini.
Survival of the fittest sepertinya akan berlaku di era
generasi keempat ini. Hanya mereka yang adaptiflah, yang akan survive terhadap
gempuran Revolusi Industri 4.0.
Epilog
Berbagai uraian tersebut di atas cukuplah menggambarkan
betapa peliknya ‘pekerjaan rumah’ di ranah pendidikan kita. Sebuah ‘pekerjaan
rumah’ yang menguji daya tahan dan daya dobrak yang meliputi perubahan dari
sisi budaya, sistem, dan sumber daya.
Oleh sebab itu, sudah selayaknya hal itu dipersiapkan
dengan sungguh-sungguh, bukan dibiarkan berlalu dengan sendirinya. Pemerintah
hendaknya memikirkan kembali secara serius bersama dengan para pegiat
pendidikan di Indonesia mengenai berbagai hal terkait dengan budaya, sistem,
dan sumber daya pendidikan dalam menyongsong gempuran Revolusi Industri 4.0.
Tidak ada perubahan yang berlalu begitu saja, perubahan
sudah selayaknya dipersiapkan dengan matang dan teliti. Seperti kata pepatah,
“berubah atau mati”.
* Artikel ini adalah penulisan ulang dengan versi yang
sedikit berbeda atas artikel yang pernah dimuat di harian Koran Republika pada
tanggal 23 November 2018, dengan judul 'Pekerjaan Rumah Pendidikan RI', yang
ditulis oleh penulis yang sama.
[ Sumber : kumparan.com ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar