Oleh : Bonefasius Sambo
Penulis Kompasiana
Penulis Kompasiana
[ Video Ilustrasi : Kumpatran ]
Bagi saya ini pertanyaan kritis. Pertanyaan yang perlu
dijawab mungkin harus pakai referensi hukum dan dilanjutkan dengan diskursus
biar bisa jelas dan terang.
Kalau seorang guru yang aktif berbicara politik kadang ia
dituduh melakukan praktik politik atau memiliki afiliasi dengan kelompok
tertentu. Apakah benar?
Seharusnya kita melihat konten, konteks dan momentum
pembicaraan baru kita membuat kesimpulan. Jangan langsung menuduh.
Jika politik yang seharusnya menjadi diskursus dalam
konteks pendidikan dianggap tabuh bagi seorang guru (PNS) maka saya yakin ada
sikap pembiaran dari guru ketika politik menempuh jalur pragmatisme dan ketika
politik membangun budaya permisif.
Kita harus tahu dan sadar bahwa guru memiliki peran vital
untuk memberi edukasi kepada peserta didik (SMP -SMA/ SMK) yang nota bene akan
menjadi calon pemilih pemula. Kalau mereka tidak dididik yang baik jelas mereka
menjadi pemilih buta. Padahal mereka-mereka ini kadang menjadi penentu atau
kunci kemenangan.
Kita tak perlu alergi dengan politik. Karena politik itu
tidak lepas dari berbagai aspek kehidupan manusia. Agama saja yang dianggap
sebagai ruang privat dan bebas dari jangkauan politik malah menjadi sarana politik.
Sarana untuk mendapatkan kekuasaan.
Agama sebagai ruang suci yang mempertemukan manusia dan
Tuhannya kini menjadi pasar politik dan transaksi politik menjadi laris manis
di sana. Saya pikir pola-pola menjadikan tempat ibadah sebagai arena politik bisa
menjadi model baru di masa yang akan datang ketika akal sehat hilang
kesadarannya dan nurani mati. Maka kita butuh sesuatu areal lain sebagai jalan
pencerahan.
Ruang yang bisa mengembalikan dan mengendalikan alam
sadar manusia tentu melalui pendidikan. Agama sulit mengendalikan tabiat
politik karena agama ruang yang ekslusif-dapat membutakan rasionalitas dalam
konteks politik.
Saya coba googling kira-kira masalah apa saja seorang PNS
itu langsung dipecat?
Baik dalam PP Nomor 32 Tahun 1979 sebagaimana diatur
dalam PP Nomor 19 Tahun 2013 tentang Pemecatan PNS atau dalam UU Nomor 5 Tahun
2014 tentang ASN beberapa poin saya bisa sebutkan bahwa seorang PNS dipecat
bila menyeleweng dari UUD 1945 dan Pancasila. Melakukan tindak pidana korupsi,
berselingkuh, melakukan tindakan kejahatan berencana, menjadi anggota atau
pengurus Parpol, menjadi pengurus organisasi terlarang menyalahgunakan
kekuasaan, malas ke kantor, narkoba, dll.
Lantas seorang guru yang berposisi sebagai PNS, misalnya
berbicara politik dari sudut pandang nilai-nilai dan pendidikan, tidak
menghasut, tidak mengarahkan massa, tidak naik ke panggung kampanye, tidak
memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan calon tertentu dibilang
berpolitik hanya karena ia berbicara politik? Sekerdil itukah cara berpikir
kita?
Lantas bagaimana dengan oknum yang menghina pancasila,
mengejek aparat keamanan, berencana menganti Pancasila apa mereka langsung
dipenjara? Tentu melalui alat ukur hukum untuk mempidanakan mereka.
Guru berbicara politik sebagai bonum commune: kebaikan
bersama itu saja. Kalau lebih itu jelas pelanggaran.
Kepada anak-anak dia cuma bilang, "nak pilihlah
pemimpin yang berintegritas, jujur, berani, peduli sama rakyatnya. Jangan pilih
pemimpin yang karena seagama-seiman, sesuku, seetnis atau karena ia ganteng
atau cantik. Kalau kamu pilih berdasarkan faktor "sama" atau karena
halo effect saja, kamu akan menderita 9 turunan," hehehe. Maksudnya biar
dia takut.
Jadi apakah ketika guru berbicara politik dia berpolitik?
Tidak ada alasan kuat jika guru bersangkutan dianggap berpolitik.
(Salam Damai)
[ Sumber : Kompasiana.com ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar