Oleh : Drs. H. Athor Subroto, M.Si
( Dosen STAIN Kediri)
( Dosen STAIN Kediri)
Tiga ratus lima
puluh tahun bukan waktu pendek. Sungguh sangat panjang. Kalau mau menghitung,
bisa enam
generasi. Itulah masa perjuangan bangsa Indonesia mengusir penjajah kolonial
Belanda.
Korban harta-benda
dan jiwa-raga, sudah tak terhitung lagi jumlahnya. Sanggat besar –dan sangat
banyak. Bila generasi sekarang mau menghitungnya, sungguh tak sanggup
mengkalkulasi saking banyaknya.
Proklamator, Bung
Karno sering mengingatkan Jasmerah. Jangan (suka) melupakan sejarah.Sungguh
suatu pesan yang sangat cerdas (saat itu). Perjuangan bangsa Indonesia yang
sangat panjang dan menelan banyak korban itu jangan mudah Bahkan
jangan (suka) melupakan dengan (kelakuan) berfoya-foya. Sedikit-sedikit sontak
berhura-hura. Bersenang-senang. Gembira luar biasa sehingga seakan lupa
daratan. Memperlakukan orang lain yang kalah dalam kompetisi, seperti melawan
penjajah (saja). Seakan telah mampu menumpas habis lawan peperagan. Padahal,
itu masalah kecil. Sangat kecil bila dibanding dengan perjuangan nenek moyang
mengusir penjajah yang banyak korban itu.
Nenek moyang kita
(dahulu), saat merebut kemerdekaan direwangi ora turu rino lan wengi.Ngleno
turune tentara Londo (Belanda) pamrih biso nyolong bedile neng markase Londo.
Ngono kuwi direwangi toh nyowo. Wani mati. Ora sitik sing bener-bener dadi
korban. Dipulasara, dienggo bal-balan tentara londo. Disaduk ngalor, disaduk
ngidul. Kanggo oper-operan koyo e-bal. Disiksa sampek klenger. Lan dadi tewase.
Rekasane kaya ngono iku –ora pamrih apa-apa. Uga ora pamrih jabatan lan
kedudukan. Mung murih bangsa lan negarane –Indonesia bisa merdeka.
(Sekarang)Indonesia telah merdeka 70 tahun. Apakah
benar-benar telah sirna perasaan dijajah. Apakah telah ada perasaan merdeka di
negeri sendiri. Bebas memilih sekolah yang disuka. Bebas mendapatkan pekerjaan
yang wajar. Bebas berkreasi sesuai tuntutan zaman. Bebas mengembangkan riset
sesuai kebutuhan di Era Global. Bebas menciptakan mobil (listrik) yang ramah
lingkungan. Bebas mendirikan fabrik untuk memenuhi kebutuhan bangsa. Bebas
bersarikat dalam berdagang. Bebas mendirikan mass media yang sehat. Bebas
berorganisasi. Bebas mendapatkan rasa keadilan tanpa pandang bulu dan tebang
pilih. Bebas menjalankan ajaran agamanya tanpa tekanan dan ancaman.
Kalau tidak, sama
halnya bangsa Indonesia belum bisa merdeka di negerinya sendiri.Masih (tetap)
ada penjajahan di negerinya sendiri. Bangsanya sendiri yang mengobok-obok
negerinya sendiri. Ingin mendapatkan berbagai kepentingan –tak ubahnya penjajah
kolonial Belanda (dulu). Menekan, mengancam, membunuh, merampas, dan membuang
bangsa jajahannya –sampai diujung jauh dari pandangan mata.
Hal ini sesuai dengan peringatan Allah Swt di dalam Al
Qur’an Surah An-Naml 34:
قَالَتۡ
إِنَّ ٱلۡمُلُوكَ إِذَا دَخَلُواْ قَرۡيَةً أَفۡسَدُوهَا وَجَعَلُوٓاْ أَعِزَّةَ
أَهۡلِهَآ أَذِلَّةٗۚ وَكَذَٰلِكَ يَفۡعَلُونَ ٣٤
Dia berkata: "Sesungguhnya raja-raja, apabila memasuki suatu negeri, niscaya mereka membinasakannya, dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina; dan demikian pulalah yang akan mereka perbuat. (QS. An-Naml [27]: 34)
Begitu itu sifat penjajah. Mereka
datang ke negeri orang –mengambil kekayaan yang diinginkan. Kalau terhalang,
dia mengancam, menyiksa atau membunuh penghalangnya sampai lumpuh.
Seperti peristiwa
yang baru saja terjadi. Seluruh umat Islam dikecewakan dengan tragedi
intoleransi di Papua belum lama ini, justeru tepat di hari Raya Idul Ftri. Hari
kemenangan Umat Islam.
Ketua Tanfidziyah
PWNU Jawa Timur, KH. M. Hasan Mutawakkil Alallah menulis dalam OPINI Jawa Pos,
20 Juli 2015, pada Jumat itu (17/7) keheningan pagi pecah di tanah Papua.
Tepatnya di daerah Karubaga, Kabupaten Tolikara. Peristiwa berawal ketika imam
salat Idul Fitri mengumandangkan takbir pertama.
Tiba-tiba sekitar
70 orang menyerang warga yang sedang menunaikan rangkaian salat itu. Dari
beberapa penjuru, mereka melempari jamaah yang sedang salat, sambil berteriak
meminta warga yang sedang salat -bubar.
Rangkaian salat Idul Fitri berantakan. Informasinya, sebuah musalla dan 70
rumah kios berkonsruksi papan kayu terbakar.Umat Islam, diminta tenang.
Kasusnya, diserahkan kepada aparat yang
berwenang. (JP. 20/7)
Menurut Bagong
Suyanto, dosen FISIP Universitas Airlangga Surabaya, sebagai bangsa yang sejak
lama memiliki struktur masyarakat yang majemuk, Indonesia sebetulnya sudah
makin dewasa dan tidak mudah terprovokasi.
Tetapi, peristiwa
yang terjadi diTolikara, Papua, belum lama ini menunjukkan bahwa ada sesuatu
yang belum sepenuhnya tuntas dalam persoalan integrasi di tanah air ini. (JP.
20/7)
Lebih parah lagi
kalau peristiwa itu dipicu dengan rencana Peraturan Daerah (Perda) Papua
tentang larangan Lebaran dan berjilbab di daerah itu (JP. 21/7).
JATI DIRI Jawa
Pos, 20 Juli 2015 menulis, dalam kasus pembakaran masjid di Tolikara, sangat
wajar apabila umat Islam marah. Marah kepada pelaku pembakaran. Bukan marah
kepada pemeluk agama lain. Kemarahan itupun harus disalurkan secara sehat,
yakni dengan mendesak aparat keamanan menindak tegas pelakunya.
Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Badrodin Haiti membuka kemungkinan
adanya aktor intelektual dibelakang
kerusuhan di Karubaga, Kabupaten Tolikara, Papua, saat pelaksanaan salat Idul
Fitri pada Jumat pagi (17/7).Menurut Kapolri, insiden di Tolikara adalah kasus
pelanggaran hukum, dan Indonesia adalah Negara hukum. Karena itu,
penyerangan ataupun penembakan akan diselesaiakan secara hukum. (JP/20/7).Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (HAM) menegaskan, Awasi Pihak yang Bikin Panas. (JP. 20/7)
Selanjutnya OPINI
Jawa Pos berharap, Para pemimpin agama harus kembali bergandengan tangan.
Saling memaafkan. Forum-forum antar umat beragama juga harus dibangun lagi
seperti yang pernah diajarkan Gus Dur dulu. Kalau diantara para pemimpin sudah berangkulan, tentu
masyarakat akan meneladaninya.
SBY, Presiden RI
ke 6 di media sosial belum lama ini menyatakan sangat prihatin terhadap
berbagai kasus yang terjadi di negeri ini. Dia berharap, para pemimpin dan elit
politik –agar tetap bisa berfikir jernih demi negara dan bangsanya. SBY memohon
kepada Allah Swt, semoga berkenan memberikan pencerahan kepada para pemimpin
dan elit politik di Indonesia ini. Sehingga mereka bisa membuat kebijakan
dengan seadil-adilnya dan sebaik-baiknya.
Kalau bangsa sudah (keruh) seperti ini, tidak dipungkiri
lagi, Allah akan menurunkan adzab sangat dahsyat kepada siapapun yang menentang
aturan-Nya, apalagi bagi seorang pemimpin atau elit yang sengaja bertindak
semina-mina (dumeh kuasa). Sebagaimana firman Allah Swt di dalam Al
Qur’an Surah Al Baqarah [2] ayat 90 yang artinya:
بِئۡسَمَاٱشۡتَرَوۡاْ
بِهِۦٓ أَنفُسَهُمۡ أَن يَكۡفُرُواْ بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ بَغۡيًا أَن يُنَزِّلَ
ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦ عَلَىٰ مَن يَشَآءُ مِنۡ عِبَادِهِۦۖ فَبَآءُو بِغَضَبٍ
عَلَىٰ غَضَبٖۚ وَلِلۡكَٰفِرِينَ عَذَابٞ مُّهِينٞ ٩٠
“Alangkah
buruknya (hasil perbuatan) mereka yang menjual dirinya sendiri dengan kekafiran
kepada apa yang telah diturunkan Allah karena dengki, bahwa Allah menurunkan
karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya diantara hamba-hamba-Nya. Karena
itu mereka mendapat murka sesudah (mendapat) kemurkaan. Dan untuk orang-orang
kafir siksaan yang menghinakan”. (QS. Al Baqarah [2]: 90)
Tidak
pandang bulu, siapapun yang melanggar aturan Allah, pasti akan ditindak dengan
adzab yang sangat pedih. Karena itu, menegakkan keadilan dan mewujudkan kesejahteraan adalah suatu kewajiban bersama,
utamanya para pemimpin bangsa. Jangan hanyamementingkan nafsunya sendiri.Lalu,
gak peduli kepentingan
orang banyak.
RasulullahSawpernahmengingatkan,
kullukumraa’in, wakullukum mas-ulun ‘an ra’iyyatihi, kamusemuaadalahpemimpin,
dan kamu semua akan dimintai pertanggung jawabannya. Artinya,
kalau tidak beres dalam menjalankan kepemimpinannya, tentu akan dituntut dan dibendu
(adzab) oleh Allah Tuhan Yang Maha Perkasa dan Maha Adil.
Di sini
pentingnya peranan iman dan ketaqwaan seseorang. Siapa yang tangguh iman
takwanya, tentu memiliki sifat-sifat terpuji. Lebih suka memberi dari pada
mendapatkan (apalagi merebut). Suka mengendalikan emosi. Tidak mudah marah.
Memaafkan kesalahan orang. Bila telah berbuat khilaf, segera ingat Tuhannya.
Lalu beristighfar. Dan menghentikan perbuatan tercelanya itu. (QS. Ali Imraan
[3]: 134-135).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar