Oleh: Freddy Nababan *)
DUNIA sedang mengalami turbulensi. Efeknya adalah banyak hal yang berubah dengan cepat, tidak pasti, kompleks dan bisa jadi membingungkan. Dan hari-hari ini kita kerap melihat bermunculannya benda-benda yang tidak pernah kita bayangkan akan hadir sebelumnya.
Contohnya, beberapa waktu lalu, kita menyaksikan bahwa Sophia-robot berbasis kecerdasan buatan yang bisa bertindak sebagai asisten manusia besutan David Hanson-menerima status kewarganegaraan untuk entitas nonmanusia pertama di dunia dari Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi, Pangeran Muhammad bin Salman. Kemudian, kita menyaksikan Alexa, juga produk kecerdasan buatan persembahan Amazon yang mampu bertindak sebagai asisten pribadi dengan berbagai keunggulannya. Ada juga Rina (Microsoft), dan Siri (Ios Apple).
Intinya, semua entitas tersebut adalah pencapaian terkini manusia yang mampu memberikan nilai lebih dan kemudahan hidup bagi penggunanya. Inilah perubahan-perubahan yang tampak kasatmata dan sangat signifikan memengaruhi cara hidup dan pola pikir manusia secara keseluruhan.
Jika kita amati, ada berbagai macam ekses dari perubahan-perubahan ini, salah satunya dikenal sebagai disrupsi atau kekacauan. Disebut “gangguan/kekacauan” karena hal ini-baik langsung maupun tidak langsung, masif maupun mikro-menyebabkan peralihan-peralihan yang tidak kentara, juga ketidaknyamanan bagi sebagian orang, terutama yang berada dalam status quo atau zona nyaman (comfort zone).
Orang-orang menjadi tidak nyaman karena bisnis ataupun karir pekerjaan mereka terganggu, bahkan “terancam” oleh para pendatang baru pengusung disrupsi, yaitu kaum milenial. Bagi kaum milenial “berubah-ubah” dan “ketidakberaturan” adalah lifestyle mereka.
Karena punya pola pikir yang berbeda dengan generasi sebelumnya, dalam berbisnis ataupun berkarir mereka juga banyak menawarkan konsep-konsep baru yang tidak terpikirkan sebelumnya. Hal ini bisa dilihat dari menjamurnya bisnis rintisan (start up business) berbasis digital akhir-akhir ini, seperti Uber, Gojek, Grab dan lain sebagainya. Para pemain lama terganggu oleh karena inovasi dan berbagai kemudahan yang ditawarkan para pemain baru (milenial) pelaku bisnis rintisan tersebut. Inilah dunia VUCA.
VUCA Penawar VUCA
VUCA (volatility, uncertainty, complexity dan ambiguity)-sebagaimana disitir oleh Victor Yasadhana-adalah istilah yang pertama kali dipopulerkan oleh US Army War College untuk menggambarkan keadaan dunia yang semakin rentan, tak pasti, rumit dan membingungkan sebagai dampak multilateralisme dunia pasca-Perang Dingin.
Jika pada awalnya fenomena ini bergelayut pada ranah bisnis dan teknologi-informasi, maka kini hal yang serupa bisa kita saksikan dalam domain pendidikan. Sebagaimana sudah banyak diulas oleh para ahli di bidangnya, tatanan dunia pendidikan global sekarang ini menghadapi apa yang disebut jurang teknologi dan informasi antara digital immigrants (guru lama pembelajar teknologi) dan digital natives (siswa penikmat dan pengguna teknologi), di mana kebanyakan guru yang ada sekarang masih terbilang gagap menghadapi para siswa penutur teknologi.
Para guru lama ini kerap susah untuk mengubah paradigma belajar dan mengajar, sulit menyesuaikan diri dengan tren-tren terbaru pengajaran berikut media-media pembelajaran berbasis digital yang berkembang cepat, merasa terancam dengan teknologi, dan merasa bimbang/bingung untuk berubah. Alasan paling klise adalah: sudah tua dan mau pensiun. Dan barangkali sudah merasa nyaman dengan suasana yang ada.
Namun sejatinya, para guru harus mau dan mampu mengubah mindsettersebut sebab perubahan itu adalah abadi. Guru harus mau terbuka dengan perubahan zaman sebab guru adalah pembelajar sejati seumur hidup. Guru adalah role model dan agent of change kehidupan.
Perubahan dan kesulitan yang mungkin ditimbulkannya tak mesti ditakuti sebab sesungguhnya di balik kesulitan pasti ada jalan. Di balik perubahan pasti ada kemudahan. Selalu ada semacam “serum” penetralisir. Dalam bukunya, Leaders Make the Future: Ten New Leadership Skills for an Uncertain World, Bob Johansen yang juga peneliti pada Institute for the Future menawarkan solusi untuk mengatasi dunia VUCA ini, juga dengan VUCA (vision, understanding, clarity dan agility).
Sejatinya resep VUCA ini bisa diaplikasikan dalam dunia pendidikan sebagai berikut. Volatility (perubahan cepat tak terduga) bisa diakomodir dengan menerapkan visi (vision) yang jelas. Apa yang hendak dicapai di masa depan ditetapkan hari ini. Guru harus menetapkan apa yang menjadi program bulanan, semester, dan tahunan. Guru harus memastikan semua materi sudah on the track, kontekstual dan sinkron dengan tren terbaru.
Uncertainty (sulit terprediksi) dinisbihkan dengan pemahaman (understanding) yang baik akan apa yang menjadi penyebabnya. Hal ini umumnya berkaitan dengan karakter siswa. Untuk itu, guru harus menjadi fasilitator yang lebih banyak mendengar, membaca dan melihat perspektif yang berbeda dari para muridnya. Guru harus mengenali gaya belajar mereka karena mengenali murid secara utuh adalah keharusan.
Selanjutnya, complexity (keruwetan dan kerumitan) yang dialami dari para siswa dalam pembelajaran diatasi dengan kemauan para pendidik untuk lebih banyak merespon, tidak reaktif, dan mengklarifikasi setiap permasalahan yang ada agar tercipta kejelasan (clarity) dalam mengambil keputusan.
Dan terakhir ambiguity (kebingungan/kebimbangan) dalam pembelajaran dapat diselesaikan dengan agility (kelincahan/keluwesan) para guru melihat solusi-solusi yang ada. Kelincahan (baca: kearifan) para guru dalam memberikan jalan keluar yang terbaik dari kebimbangan siswa berkorelasi dengan kematangan seorang pendidik dan “jam terbangnya” yang hanya bisa didapat dari kemauan para guru untuk terus belajar, baik individual maupun kolaboratif dengan siapa saja dan di mana saja.
Esensinya adalah para pendidik harus adaftif dengan segala macam dinamisasi pendidikan, termasuk denga perkembangan-perkembangan terbaru dalam dunia teknologi (digitalisasi pendidikan). Guru harus selalu on, tidak boleh off.
Volatility, uncertainty, complexity dan ambiguity boleh jadi hanyalah salah satu fenomena yang kebetulan mendera dunia sekarang ini. Akan ada fenomena-fenomena lain ke depannya. Untuk itu, tugas kita semua adalah, tidak hanya pendidik, bersiap-siap sebab perubahan itu pasti dan abadi adanya.***
Penulis adalah alumnus CULS (Ceko), mahasiswa FKIP Pascasarjana Nommensen, Medan dan pegiat literasi di Toba Writers Forum (TWF) Medan.
[Sumber : http://harian.analisadaily.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar