Oleh: Daoed
JOESOEF
Kebijakan pendidikan berupa full day
schooling sebaiknya dibatalkan. Menerapkan kebijakan berkonsep mentah di bidang
pendidikan sama saja dengan membuat semua peserta didik menjadi kelinci
percobaan, mengotak-atik masa depan negara-bangsa melalui anak-anak yang lugu
tak berdaya. Jangan mempermainkan pendidikan hanya bersendikan kekuasaan
formal.
Tanggapan harfiah full day
schooling, yaitu siswa berada sehari penuh di sekolah, harus ditolak karena
membebaskan orangtua dari tugasnya mendidik anak- anaknya sendiri. Rumah adalah
home, sekolah kedua dan orangtua adalah guru kedua anak di rumah. Anak butuh
family education. Ada nilai-nilai kekeluargaan khas yang pantas kita hormati
kalau kita tidak mau negara kita menjadi totaliter.
Di samping family education,
anak-anak Indonesia, selaku warga dari negara-negara yang merdeka, memerlukan
pula formal education. Ia berupa proses pembelajaran nasional yang mengembangkan
mereka dari makhluk menjadi warga negara terbaik dan yang terbaik dalam diri
warga negara-to cultivate the best citizens and the best in citizens. Berarti
yang kita perlukan adalah education, bukan schooling. Schooling memang beda
dengan education. Mengidentikkan kedua nomenklatur kerja ini bisa dan sudah
mengacau pelaksanaan pendidikan selama ini.
Schooling secara esensial berurusan
dengan keterpelajaran (scholarship), yaitu kemampuan intelek untuk mengolah
informasi menjadi pengetahuan, dari pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan, dan
berujung pada penguasaan teknikalitas. Semua jenis kemampuan tersebut diperlukan
bagi anak didik selaku bekal kelak bagi pencapaian kehidupan yang layak.
Education however is more than that. Then what is this "more"?!
Manusia terdidik (educated
man)bukanlah orang yang menuntut kiat dan ilmu pengetahuan demi manfaat
komersialnya. Spirit begini dapat betul-betul merusak konsep pendidikan karena
mendegradasi sekolah menjadi sekadar training institutes, mengelirukan bayangan
sebagai substansi. Pendidikan merupakan sejenis tangga yang kita panjat dari
informasi ke pengetahuan, dari pengetahuan ke ilmu pengetahuan, dan selanjutnya
meningkat lagi ke kearifan. Yang dibina keseluruhan siswa, tidak hanya
inteleknya.
Gagasan full day schooling
diketengahkan, katanya, demi meningkatkan karakter siswa yang tidak tercakup
secara eksplisit dalam pembelajaran mata pelajaran yang berlaku. Jika demikian,
justru untuk keperluan itulah maka diperlukan education, bukan
schooling.
Namun, apakah pendidikan karakter
yang diniscayakan ini memerlukan waktu yang begitu banyak hingga siswa perlu
hendaknya jangan diukur dengan banyaknya (jumlah) jam yang dihabiskan oleh
pendidikan ini, melainkan durasi jam belajar yang pada umumnya berlaku sebagai
standar di setiap jenjang dan jenis pendidikan. Dalam hal ini bukan yang banyak
itu baik, tetapi yang baik itu adalah banyak. Dengan kata lain, waktu belajar
yang tersedia diisi dengan kegiatan didaktis yang memberikan teladan terbaik,
dengan program kerja kolektif yang mendukung atau mengukuhkan pembentukan sikap
dan perilaku positif.
Pelaksanaan program kerja kolektif
mau tidak mau memerlukan pemimpin. Siswa perlu dibiasakan sedini mungkin
mengakui dengan jujur "kelebihan orang lain" dan berdisiplin. Melalui kejadian
yang terarah, siswa akan banyak belajar berkomunikasi. Selaku makhluk sosial,
kinerjanya sangat bergantung pada kepiawaiannya berkomunikasi dan melalui kerja
sama tadi mereka akan menemukan minat dan bakatnya sendiri. Setiap orang punya
bakat dan kemampuan berlainan yang tidak gampang dikuantifikasi dengan hanya
sekadar tes IQ.
Pembentukan
karakter
Harus diakui bahwa pembentukan
karakter memerlukan waktu. Selain ini, keteladanan ikut berperan dalam
pembentukan tersebut. Ia berasal-disengaja atau tidak, disadari atau tidak-dari
orangtua, teman sebaya (peer group), lingkungan, dan organisasi
masyarakat.
Selaku lembaga pendidikan yang
adalah bagian dari kebudayaan, nilai-nilai yang dapat diajarkan sekolah kepada
siswa/mahasiswanya selaku calon warga negara andalan adalah disiplin diri (self
discipline), jujur, tanggung jawab, nasionalisme, gotong royong, kemandirian,
kemaritiman, kewirausahaan, sense of holistic interrelationship, dan spirit
kepanduan.
Apabila pembelajaran ilmu
pengetahuan dilakukan dengan betul dan konsisten sesuai dengan metode ilmiah
yang tepat dan ketat (regorous), ia dengan sendirinya mengukuhkan nilai-nilai
keintelektualan tadi. Kebajikan keilmuan dissent (membantah), misalnya, akan
mengukuhkan nilai self discipline, originality, dan tolerance mengukuhkan nilai
"gotong royong", the habit of truth merupakan "nilai jujur", sedangkan freedom
of inquiry dan thought and speech adalah nilai kemandirian. Jadi, kalau metode
ilmiah sudah diterapkan dengan baik dan konsisten, karakter sudah menjadi second
nature.
Nilai kekeluargaan apa yang relevan
dan perlu kita biasakan pada anak sedini mungkin? Ia berupa serangkaian
pertanyaan yang perlu direspons anak. Apakah mereka mengatakan kebenaran kepada
sesama dan diri sendiri? Apakah mereka turut ambil bagian dalam setiap kerja
kolektif/berkelompok? Apakah mereka dapat mengendalikan/mengekang diri dan
menyalurkan dorongan agresif pribadinya secara benar? Apakah mereka dapat
dipercaya jika diberi tanggung jawab dalam bertugas, mengenai keuangan atau hal
lain? Kalau memang bertalenta positif/kreatif, apakah mereka sudah
memanfaatkannya? Apakah mereka ikhlas membantu penyandang cacat atau anak-anak
difabel? Apakah mereka punya toleransi sosial, religius, ideologis, dan
politis?
Melampaui
persekolahan
Keberadaan seorang anak diawali
dengan pengakuan anak terhadap larangan/pantangan. Anak-anak perlu dibiasakan
untuk menerima larangan-larangan tertentu (the don'ts). Jika anak belajar hidup
dewasa, dia harus memulainya dengan menghargai (respecting) orang dewasa yang
paling dia kenal, yaitu ibu dan bapaknya, serta nenek dan kakeknya. Dengan
belajar mematuhi orangtuanya, anak akan memiliki kebebasan dalam batasan yang
pasti.
Jika demikian, dapat disimpulkan
bahwa yang perlu diwujudkan adalah full day education, bukan full day schooling.
Berarti menteri pendidikan dan kebudayaan perlu bertugas sesuai dengan sebutan
itu sebab lembaga resmi yang dipimpinnya adalah "kementerian pendidikan", bukan
"kementerian persekolahan", dan merupakan bagian dari kebudayaan (sistem nilai
yang kita hayati).
Pendidikan jauh melampaui
(transcends) persekolahan. Dalam rangka full day education, ia bermakna proses
pembentukan disposisi intelektual dan emosional ke arah keterdekatan (closeness)
dengan alam dan sesama manusia, menjadi betah (at home) menetap di
mayapada.
Makna ini jika dipahami dengan betul
bisa mengantar ke penghayatan pengertian Pendidikan yang berhuruf awal P
kapital, yaitu "pendidikan seumur hidup", life long education yang dicanangkan
oleh UNESCO. Hal ini hendaknya jangan ditafsirkan sebagai full day schooling,
tetapi kesadaran bahwa manusia perlu belajar sendiri meneruskan studi formalnya
di sekolah. Bukankah adagium ini yang persis diucapkan oleh Rasulullah SAW pada
abad VII, yaitu "Tuntutlah ilmu sejak buaian hingga liang lahat".
Maka, Pendidikan berinisial P
kapital berarti suatu proses yang membiasakan manusia sedini mungkin menggali,
mengenal, mempelajari, menguasai, dan menerapkan nilai-nilai yang diakui berguna
bagi kehidupan pribadi, keluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Demikianlah, sebelum nasi menjadi
bubur, senyampang masih bisa dikendalikan oleh pencetusnya sendiri, pelaksanaan
full day schooling yang berkonsep serba mentah, sebaiknya distop saja. Untuk apa
menghamburkan energi bagi hal yang tidak berguna, bertindak hanya untuk
bertindak, berkebijakan berhubung aji mumpung. Jangan main-main dengan
pendidikan karena masa depan negara-bangsa menjadi taruhannya.
[]
[ Sumber : KOMPAS, 14 Oktober
2016 ]
Daoed Joesoef | Alumnus Université
Pluridisciplinairs Panthéon-Sorbonne
Tidak ada komentar:
Posting Komentar