Oleh : Iwan Pranoto
(GURU BESAR ITB SERTA ATASE PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DI KBRI NEW DELHI, INDIA)
(GURU BESAR ITB SERTA ATASE PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DI KBRI NEW DELHI, INDIA)
Bagi
negara dengan mutu pengajaran di sekolah masih rendah, tak menguntungkan
menceraikan perguruan tinggi dari pendidikan dasar dan menengah. Di zaman ini,
perjalanan karier seorang guru -- dari sebelum mengajar sampai saat
mengajar—senantiasa berhubungan dengan perguruan tinggi.
Tersebutlah
seorang profesor kimia yang tak senang saat mengetahui bagaimana cara anak
kandungnya diajar kimia di sekolah. Maka, kemudian sang profesor minta bertemu
dengan guru kimia anaknya tersebut untuk menegur dan hendak ”mengajari”
bagaimana seharusnya mengajarkan kimia. Saat bertemu, sang profesor kaget karena
ternyata guru kimia itu bekas mahasiswanya sendiri. Kejadian ini dikutip di
laporan ”Educating Teachers of Science, Mathematics, and Technology” keluaran
National Research Council, 2001.
Kisah
ini, pertama, mengingatkan para dosen dan perguruan tinggi bahwa mahasiswanya
ada yang akan menapaki jalan guru. Perlu disadari, tak semua mahasiswa di
perguruan tinggi akan menjadi peneliti, rekayasawan, arkeolog, apoteker,
pengacara, sejarawan, manajer, atau politisi. Sebagian insan menetapkan hati
untuk menelusuri jalan guru saat ia studi di perguruan tinggi. Maka, semua
perguruan tinggi, tanpa kecuali, bertanggung jawab dan berperan dalam merawat
jalan guru. Terlebih karena saat ini institut keguruan dan ilmu pendidikan
(IKIP) juga sudah tak ada lagi.
Kedua,
pengajar perguruan tinggi berperan dan amat berdaya dalam menginspirasi
mahasiswa untuk menjadi guru. Momen kegiatan akademik sarat perdebatan pemikiran
mendalam serta argumen mencerahkan, semacam yang digambarkan di film Dead Poets
Society, mengilustrasikan keindahan dan kenikmatan mengajar. Pengalaman
intelektual macam ini kerap mengukir sukma mahasiswa dengan hasrat diri menapaki
jalan guru.
Walau
demikian, harus diakui bahwa banyak yang memilih jalan guru berdasar motivasi
lebih rasional, seperti ekonomi. Akan tetapi, ada pula insan menapaki jalan guru
karena alasan yang dianggap emosional dan romantis seperti di atas.
Ketiga,
kejadian di atas mengingatkan para dosen untuk selalu memperbaiki pengajarannya.
Gaya dosen mengajar akan dijadikan rujukan, model, dan dipertontonkan kembali
secara berulang-ulang dalam pengajaran di sekolah. Oleh karena itu, khususnya
para dosen pengampu mata kuliah di tahun pertama perlu memberi perhatian saksama
tidak saja pada konsep apa yang dibelajarkan, tetapi juga pada bagaimana
membelajarkannya.
Dengan
kenyataan di atas, selain merancang kebijakan perekrutan guru, perguruan tinggi
juga perlu memikirkan program studi lanjut bagi guru. Khususnya karena hari ini
semua perguruan tinggi di dunia sedang ditantang membuat terobosan inovasi studi
lanjut bagi guru.
Studi
lanjut
Amatlah
tak bijak anggapan bahwa perguruan tinggi tertentu tak perlu memedulikan
pendidikan pra-universitas. Perlu dicatat, pengajaran yang bermakna di sekolah
akan menjamin suburnya tunas ilmuwan, rekayasawan, sejarawan, dan lain
sebagainya, di masa depan dan tentunya meneguhkan keberlanjutan ilmu pengetahuan
dan peradaban.
Perguruan
tinggi papan atas dalam riset di AS, seperti Stanford, UCLA, Harvard, Rice,
Illinois Urbana, dan UC Berkeley, juga mengelola program studi lanjut bagi guru.
Oleh karena itu, menyedihkan jika hari ini masih saja ada yang mengedepankan
dikotomi antara perguruan tinggi keguruan dan non-keguruan. Indonesia butuh
banyak guru yang cakap, tak mungkin kebutuhan ini dipenuhi hanya oleh sebagian
perguruan tinggi.
Hari
ini sudah tersedia ragam program studi lanjut bagi guru yang ditawarkan
perguruan tinggi, termasuk di Indonesia. Ada yang menekankan pada keilmuan serta
pengajarannya secara mikro. Ada pula yang menekankan pada pengkajian isu
pendidikan secara makro.
Pada
program studi S-2 matematika bagi guru di ITB, misalnya, mahasiswa guru
(mahasiswa yang merupakan guru) menelaah konsep matematika sekolah, tetapi
menggunakan sudut pandang matematika lanjut. Para mahasiswa guru ini mendalami
berbagai gagasan keilmuan di sekolah yang mungkin sebelumnya dianggap sepele,
dengan sudut pandang yang canggih.
Mahasiswa
guru akan menghargai kedahsyatan dan kegeniusan gagasan yang mereka belajarkan
di kelas. Pendekatan seperti ini amat mungkin disalin dan diterapkan pada
disiplin lain, seperti kewarganegaraan dan sejarah.
Demikian
pula tugas atau proyek akhir di program seperti ini fokus pada analisis konten
keilmuan secara spesifik dan mikro. Mahasiswa meneliti, antara lain, bagaimana
murid sebagai individu mempelajari pemahaman spesifik tertentu.
Ada
pula studi lanjut yang menekankan pada keterampilan meneliti isu pendidikan
secara makro, seperti kurikulum, metode pengajaran tertentu, dan sebagainya.
Bentuk tugas akhir di program studi seperti ini fokus pada penelitian kebijakan
pendidikan. Di sini, mahasiswa guru belajar menjadi peneliti.
Ada
pula sebuah inovasi program studi lanjut yang secara sistematis merangkaikan
pemahaman konsep serta kemahiran mengajar. Setiap topik (bahan pengajaran
sekolah) diajarkan dua kali, pada dua semester secara berurutan.
Pada
semester pertama, mahasiswa mempelajari sebuah topik sebaik-baiknya dan berperan
sebagai murid. Mahasiswa harus merasakan bagaimana belajar sampai memahami
sebuah konsep sebagai murid. Kemudian, di semester selanjutnya, mahasiswa akan
mempelajari konsep yang sama lagi, tetapi sekarang mereka akan mempelajarinya
sebagai seorang guru. Mereka harus menelaah bagaimana mereka cipta pembelajaran
agar murid berhasil mengalami proses belajar yang efektif dan belajar secara
bermakna seperti yang dialaminya pada semester sebelumnya.
Inovasi
dalam studi lanjut bagi guru menelurkan keberagaman pilihan pendidikan bagi
guru. Seperti yang disampaikan dalam laporan Science Teachers Learning dari
National Academies of Sciences, Engineering, and Medicine (2015: 215), studi
lanjut mana yang lebih cocok bergantung pada tiap individu guru. Namun, yang
jelas, berbagai inovasi studi lanjut bagi guru perlu terus didorong.
Rekomendasi
Bagi
perguruan tinggi, dosen dapat secara sukarela sesekali menjadi guru tamu di
sekolah sekitar perguruan tingginya. Ini tentu memberi pencerahan bagi murid,
menjadi model pengajaran yang baik bagi guru, serta menambah pemahaman dosen
pada permasalahan pengajaran di sekolah. Yang juga tak kalah penting, kegiatan
seperti ini akan meningkatkan relevansi perguruan tinggi terhadap masyarakat di
lingkungannya.
Bagi
mahasiswa, perlu diresapi pernyataan Paus Fransiskus dalam siaran radionya pada
14 Maret 2015, yakni ”Mengajar itu profesi yang indah.” Jika memang diberkahi
bakat mengajar, mengapa pula menolak jalan guru?
[ Sumber : Harian Kompas edisi 1 Agustus 2016 ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar