Oleh :
Haidar Bagir,
Ketua Yayasan Sekolah-Sekolah Lazuardi
"...
Kegagalan akademik siswa bukanlah dikarenakan tidak adanya/kekurangan upaya oleh
sekolah, melainkan justru akibat 'ulah' sekolah." John Holt dalam How
Children Fail
PENDIDIKAN,
tidak seperti pendapat orang-orang seperti John Locke (teori tabula rasa), pada
dasarnya bukanlah penanaman atau pengisian, melainkan aktualisasi potensi siswa.
Sudah sejak berabad lalu, dengan puitis Plutarch menyatakan, "Pikiran bukanlah
bejana untuk diisi, tapi api untuk dinyalakan." Di zaman modern, Paulo Freire
menolak apa yang disebutnya sebagai banking concept of education, yang di
dalamnya siswa dianggap sebagai 'celengan' yang harus diisi guru.
Pandangan
yang sejalan juga diungkapkan para ahli seperti Steven Pinker, Sir Ken Robinson,
dan Noam Chomsky. Dalam metode banking, peserta didik bukan saja dianggap
sebagai celengan kosong, ke dalam celengan itu pun dijejalkan terlalu banyak
'uang receh'. Bukan hanya banyak, malah tak banyak bermakna bagi kebutuhan
siswa.
Mengutip
George Bernard Shaw, yang terjadi dalam metode ini, bukan 'anak mengejar
pengetahuan, melainkan pengetahuan mengejar anak', sampai si anak
terengah-engah. Lalu, anak merasa bahwa belajar itu melelahkan. Sebagai
akibatnya, mereka justru kehabisan waktu dan tenaga untuk mengembangkan
kreativitas, keterampilan riset, dan kemampuan reflektif.
Sayangnya,
selama ini pandangan seperti inilah yang disadari atau tidak, dominan dalam
pendidikan kita. Sebaliknya, paradigma aktualisasi melibatkan proses belajar
yang alami, yang sejalan dengan kenyataan bahwa seluruh apa yang hendak
dipelajari manusia sebetulnya sudah ada di dalam dirinya. Ia benar-benar
melibatkan inisiatif siswa. Inilah active learning sejati. Tugas guru dan
lingkungan ialah mempersiapkan lahan-atmosfer dan bimbingan- yang subur (secara
fisik, psikologis, dan rohani) demi berkembang-suburnya 'biji' potensi dalam
diri manusia itu.
Kurikulum
pemandu
Falsafah pendidikan sebagai aktualisasi bersifat alami sekaligus lebih autentik (berjalin dan berkelindan dengan sifat kehidupan di dunia nyata), kontekstual (berjalin berkelindan dengan concern kehidupan sehari-hari), dan sejalan dengan berbagai prinsip pendidikan lainnya, yakni sekaligus sejalan dengan keharusan proses belajar bersifat fun (menyenangkan).
Di
atas semuanya itu, masih ada manfaat lain yang tak boleh diabaikan. Paradigma
tepat guna ini justru mengimplikasikan aspek-aspek pendidikan yang sejalan
dengan temuan-temuan mutakhir di bidang ini. Termasuk, penerapan Project dan
Problem Based Learning (PBL) yang di dalamnya, kurikulum- betapa pun penting-
bukan merupakan aspek yang paling penting dan lebih bersifat sebagai pemandu,
bukan rincian proses belajar mengajar yang kaku dan justru bisa mengerangkeng.
Strategi ini juga lebih kondusif bagi pengembangan kreativitas dan berbagai
karakter yang termasuk dalam 21st century skills, yang menjadi kunci kemampuan
bersaing.
Sampai
di sini saya kira semuanya masih sejalan dengan gagasan atau wacana full day
school yang dikembangkan Mendikbud Muhadjir Effendy. Pak Muhadjir dalam
penjelasannya menyampaikan bahwa tambahan waktu sekolah dalam sistem full day
school tak akan dihabiskan untuk belajar yang bersifat intrakurikuler, tetapi
akan diisi dengan kegiatan ekstrakurikuler yang berorientasi pendidikan karakter
melalui berbagai kegiatan yang bersifat menyenangkan.
Namun,
yang sama sekali tak boleh dilupakan, paradigma ini juga melibatkan pergeseran
kualifikasi guru, di samping kurikulum, dan cara penilaian (assessment) yang
sesuai- yakni, penilaian berdasar portofolio yang tak hanya bersifat kognitif,
tetapi juga afektif dan psikomotorik. Dalam hal kompetensi guru ini, meski tentu
kompetensi sektoral (atas subject matter) oleh guru tetap penting, semuanya itu
tak sepenting motivasi/passion, dan profesionalisme-yakni kecintaan dan
kesetiaan kepada pekerjaan mendidik dan kepada para peserta didik- yang pada
gilirannya akan melahirkan intuisi mengajar yang pas dan semangat belajar
guru.
Ada
Persoalan
Justru
di sinilah letak masalahnya. Seperti diketahui, sekolah-sekolah dasar dan
menengah kita yang tersebar di seluruh pelosok negeri justru kekurangan dalam
hal kompetensi-kompetensi utama guru ini. Uji kompetensi guru yang belum lama
diselenggarakan hanya menghasilkan nilai rata-rata di sekitar 5 (dari 10). Itu
pun baru uji kompetensi yang bersifat teoretis (betapa pun computer
based).
Sejak
dulu, lebih-lebih dalam kerangka paradigma baru ini, yang sebetulnya lebih
penting dimiliki seorang guru- yakni motivasi dan passion yang tak bisa begitu
saja diketahui lewat uji kompetensi yang bersifat teoretis seperti itu- justru
merupakan masalah terbesar dalam kualifikasi guru-guru kita. Penyebabnya bisa,
tapi tidak mesti bersumber dari para guru sendiri. Ada persoalan kualifikasi
guru yang tidak memadai, baik dari segi latar belakang akademik maupun wawasan,
juga ada persoalan rendahnya remunerasi.
Dari
pengalaman penulis mengembangkan belasan sekolah untuk anak-anak dari keluarga
kelas menengah yang mampu menggaji guru secara pantas, kompetensi-kompetensi
yang disoroti oleh tulisan ini pun masih menjadi masalah. Apalagi, di
sekolah-sekolah 'miskin' tempat anak-anak dari keluarga sederhana dan miskin
bersekolah. Hal ini dengan jelas penulis dapati dalam berbagai kegiatan
pelatihan puluhan ribu guru dan pendampingan puluhan sekolah yang penulis
terlibat di dalamnya.
Kenyataannya,
di sebagian besar wilayah di negeri kita, sekolah masih jauh dari bisa dibilang
sebagai tempat yang menyenangkan bagi anak-anak. Bahkan, dalam lelucon sangat
realistis yang banyak beredar, dikatakan bahwa mata pelajaran yang paling
disukai peserta didik ialah mata pelajaran kosong. Ini karena sebaliknya dari
menjadi taman yang menyenangkan, sekolah selama ini masih merupakan tempat yang
membuat be-te (boring total).
Dalam
kelebihan tentu juga masih banyak persoalan lain dalam gagasan tentang full
day school ini, termasuk tambahan beban biaya pendidikan, berkurangnya
waktu anak dalam berinteraksi dan bermain di luar sekolah, khususnya dalam
keluarga. Belum lagi adanya kenyataan yang tak dapat diingkari bahwa di banyak
wilayah, anak masih menyandang peran sebagai pendukung aktivitas keluarga.
Maka,
tanpa menutup sama sekali, kemungkinan sistem ini bisa diterapkan dalam
kondisi-kondisi yang sesuai, kiranya prioritas perlu diberikan pada perbaikan di
bidang kurikulum- termasuk sistem penilaian, sebagaimana yang sekarang sedang
berada dalam proses penyempurnaan-serta peningkatan kualifikasi (dan remunerasi)
guru, seperti disinggung di atas. Kalau tidak, sistem full day
school jangan-jangan hanya akan melahirkan be-te school, yang
makin membuat be-te peserta didik di negeri kita. Akibat fatalnya ialah
akan lebih banyak peserta didik membenci kegiatan belajar atau setidaknya justru
terhambat dari mendapatkan manfaat maksimum dari proses belajar.
[ Sumber : http://mediaindonesia.com/ ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar