Oleh :
Marjohan, M.Pd
Guru
SMAN 3 Batusangkar
Menjadi guru merupakan profesi yang
menarik, karena seorang guru akan membantu perkembangan seorang siswa dari
kurang cerdas menjadi cerdas, dari kondisi biasa-biasa saja menjadi pribadi yang
luar biasa, atau dari seorang kualitasnya masih zero
(kosong) hingga menjadi hero, seorang pahlawan, paling kurang
seorang pahlawan dalam keluarganya. Untuk menggenjot mutu pendidikan, tiap
lembaga pendidikan atau setiap negara memiliki strateginya masing-masing.
Karena penduduk negara ini sangat
banyak, sangat plural (majemuk) dan kualitas SDM juga berbeda maka pemerintah
mendirikan beberapa sekolah pelayanan keunggulan. Sekolah yang biasa tetap
menjadi perhatian, namun sekolah berlabel unggul dengan program khusus,
didirikan untuk melayani siswa yang membutuhkan akselerasi (percepatan) dalam
mengakses ilmu pengetahuan. Maka terbentuklah sekolah berlabel keunggulan
seperti “SMA unggul, SMA Plus, Sekolah Percontohan, SMK Model, MAN Model,
Sekolah Pembangunan, dll”.
|
|
Saya kebetulan mengajar pada salah
satu sekolah unggul. Rekruitmen siswa tentu saja memperoleh perhatian khusus,
dimana sekolah unggul merekrut murid-murid cerdas lebih awal dari rata- rata
sekolah biasa. Tidak sekedar merekrut berdasar skor yang tinggi pada nilai
rapor, ijazah dan skor Ujian Nasional. Sekolah program unggul juga memberikan
ujian tulis untuk mata pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris,
Sains dan Ilmu Sosial. Dimana semua mata pelajaran tadi diramu ke dalam satu
ujian tulis saja.
Setelah itu sekolah juga memberi
perhatian pada prestasi calon siswa yang dibuktikan oleh copy sertifikat. Yang
juga menarik bahwa calon siswa sekolah unggulan juga diwawancara untuk
memperoleh input secara langsung agar diperoleh data yang lebih tajam.
Setiap awal tahun, saya sering ikut
menjadi tenaga perekrut yang mempunyai tugas untuk mewawancarai calon siswa.
“Kelak bila sudah dewasa, kamu mau jadi apa ?”. Mayoritas calon siswa pintar
yang saya wawancarai kelak bila sudah dewasa ingin menjadi dokter, satu-satu
ingin menjadi guru, perawat, pokoknya ingin jadi pegawai.
“Mengapa
ya banyak yang ingin jadi pegawai?”. Setelah membalik-balik dokumen ternyata
ayah dan ibunya adalah PNS (Pegawai Negeri Sipil). Ya beginilah jadilanya kalau
jumlah PNS di negeri ini begitu berlimbah ruah jumlahnya, sehingga anak dan
cucunya juga ingin menjadi PNS atau bekerja sebagai orang kantoran.
Cita-cita ingin menjadi pegawai atau
PNS lebih banyak diungkapkan oleh anak perempuan. Sementara calon siswa yang
pria memberikan jawaban sedikit lebih bervariasi. Ada juga yang ingin menjadi
dokter, juga ada yang ingin berkarir dalam bidang teknik. Juga banyak yang ingin
berkarir di teknik perminyakan, dalam imajinasi mereka bahwa kalau bekerja di
perusahaan perminyakan maka akan menyembur sangat banyak uang. Disamping itu
juga ada yang ingin berkarir sebagai penguasaha.
“Pengusaha
di bidang apa?”. Namun kata pengusaha itu sendiri cukup abstrak.
Mereka protes saat saya klarifikasi
apakah mereka ingin berkarir sebagai pengusaha tempe, pengusaha ayam potong,
atau pengusaha bahan bangunan. Semua klarifikasi tersebut memperoleh bantahan,
karena itu semua adalah pengusaha rendahan dan murahan. Terkesan dari wajah
mereka bahwa pekerjaan yang hebat itu adalah pekerjaan yang mempunyai hubungan
dengan mata pelajaran yang mereka anggap sangat bergengsi seperti “Kimia,
fisika, matematik, biologi, akutansi, dan ekonomi”. Inilah efek dari mengangkat
beberapa pelajaran sebagai mata pelajaran Ujian Nasional. Hingga mata pelajaran
dan gurunya dianggap sebagai “maha penting” dan mata pelajaran lain adalah kelas
dua.
Mereka sendiri juga kebingungan
untuk mendeskripsikan tentang karir yang lebih spesifik. Saat saya konfirmasi
ulang maka lagi-lagi mereka menyebutkan karir yang sudah konvensional “menjadi
dokter, spesialis anak, spesialis jantung, dosen, insinyur, direktur bank, yang
ujung-ujungnya ingin menjadi PNS, pegawai BUMN atau orang bekerja di kantoran.
Pada hal dalam kebijakan Presiden Jokowi bahwa pintu PNS sudah ditutup. Untuk
itu diharapkan kepada para mahasiswa bila telah wisuda kelak harus mencari karir
selain PNS. Sangat bagus kalau mereka mampu menciptakan lapangan pekerjaan
sendiri.
Saat
penerimaan pegawai PNS masih mudah, mahasiswayang punya IPK tinggi punya
kesempatan buat jadi PNS atau menjadi dosen. Namun sekarang tidak, kalau ada
yang menjadi dosen, ya tentu menjadi dosen honorer yang honornya sangat kecil-
karena Perguruan Tinggi bukan gudang uang. Uang lebih mudah datang kalau bekerja
di Perusahaan atau kalau berdagang. Maka sekarang bahwa IPK-
Indeks Prestasi Kumulatif- yang tinggi atau biasa-biasa saja tidak banyak
berguna, kecuali hanya agar bisa wisuda. Semangat berwirausaha dan leadership
jauh lebih berharga.
Suatu ketika saya berjumpa dengan
seorang wisatawan Malaysia, yang aslinya keturunan kota Batusangkar- Sumatera
Barat. Saya tertarik ngobrol dengan anak lelakinya bernama Raihan. Ia tergolong
anak cerdas dan masih sekolah di Primary School di Malaysia. Saya tertarik
mencari tahu tentang cita-citanya di masa depan. Saya berfikir mungkin ia bakal
tertarik menjadi seorang dokter, apoteker, seorang pilot. Ya sebagaimana
cita-cita anak-anak Indonesia.
Ternyata
Raihan ingin bercita-cita dalam bidang kuliner. Ia ingin memiliki restoran yang
besar di kota Kuala Lumpur dan menyediakan kebutuhan kuliner berbasis masakan
Asia, seperti masakan Jepang, Korea, Indonesia dan India. Mengapa ia tertarik
berkarir dalam bidang resto dengan kuliner internasional ?, karena Raihan suka
membantu ibunya memasak masakan lezat di dapur di rumahnya di Malaysia. Cukup
beda dengan cita-cita yang diungkapkan oleh siswa saya, meski mereka diberi
label sebagai siswa unggulan, namun mereka hanya mampu menyebutkan karir yang
konvensional, atau karir yang muluk-muluk, yang mungkin jauh dari jangkauan
mereka.
Memang
benar, bahwa cukup banya siswa Indonesia, apalagi dari sekolah unggulan, hanya
mampu bercita-cita dalam ilusi, yang tidak jelas, kurang spesifik dan terkesan
di luar jangkauan. Setelah mereka bersekolah sebagai siswa di SMA Unggulan. Saya
kembali mewawancarai mereka.
Dan
kali ini dari jawaban, mereka mayoritas ingin kuliah di Perguruan Tinggi
favorite. Dan mereka menyebutkan perguruan tinggi yang bertengger di Pulau Jawa,
seperti UI (Universitas Indonesia), UNPAD (Universitas Pajajaran), UNDIP
(Universitas Diponegora), UGM (Universitas Gajah Mada). Kalau ditanya mau
mengapa setelah tamat dari Perguruan Tinggi favorite tersebut (?). Dan mayoritas
mereka terdiam, tidak tahu apa pekerjaan yang spesifik setelah itu. Dengan
demikian mereka para siswa unggulan hanya sebatas tahu untuk memburu tempat
kuiah yang favorite saja. Dalam fikiran mereka bahwa dibalik perguruan tinggi
tersebut akan terbentang sukses dan Perguruan Tinggi akan memberi mereka sebuah
pekerjaan yang basah. Sehingga ada yang bercita-cita kuliah hebat dengan deretan
gelar yang panjang dan gaji yang berlipat. Ya cita-cita siswa unggulan yang
nggak jelas.
Lagi,
suatu ketika saya berjumpa dengan grup siswa dari Jerman dan saya sempat
bertukar cerita yang panjang dengan salah seorang siswa yang bernama Lewin
Gastrich. Lewin telah menjelaskan tentang karirnya di masa depan. Ia memberi
perincian, bahwa selepas dari Secondary School, ia akan mendaftar di
Akademi Penerbangan, karena ia suka terbang dan senang dengan tantangan
ketinggian. Dan lebih ke depan ia akan bekerja di Badan Penerbangan Luar
Angkasa.
Tekhnologi
penerbangan luar angkasa yang sudah ia baca adalah seperti di Jerman, Perancis,
NASA- di Amerika Serikat,Rusia, dan China. Ia memperkirakan bahwa yang lebih
mudah untuk ia akses kelak adalah Badan Luar Angkasa dari Rusia. Namun ia
terkendala dengan bahasa. Maka dari sekarang ia sangat rajin belajar Bahasa
Rusia secara otodidak dengan memanfaatkan Google di internet. Dapat saya pahami
bahwa cita-cita yang dipaparkan oleh Lewin Gastrich lebih jelas dan lebih
terperinci dalam menggapainya.
Saya tidak bermaksud menyanjung dan
memuci siswa dari Malaysia, Jerman dan dari negara lain. Saya berharap agar
siswa kita di Indonesia, apalagi dari sekolah berlabel unggul, mampu untuk
mendesain cita-cita mereka. Cita-cita itu adalah tujuan dan perlu perencanaan
yang lebih jelas dan lebih terarah. Mengapa siswa luar negeri memiliki cita-cita
yang jelas dan siswa kita bingung dalam mencari karir masa depan mereka
?
Faktor wawasan, informasi atau ilmu
pengetahuan adalah sebagai faktor penentu seorang siswa bisa memiliki cita-cita
atau memiliki visi dan misi di masa depan. Adalah fenomena bahwa membaca yang
intensive belum menjadi budaya di kalangan masyarakat kita. Coba lihat berapa
betul orang yang terbiasa membaca- berlangganan koran dan majalah. Ya betul
berlangganan koran adalah sesuatu yang amat langka dalam masyarakat kita,
apalagi buat berlangganan majalah.
Selanjutnya
bahwa tidak begitu banyak masyarakat kita yang terbiasa membaca buku. Buku yang
berkualitas menjadi hal yang langka buat kita temui di rumah-rumah masyarakat.
Jadinya masyarakat kita adalah masyarakat yang minim ilmunya- pantaslah
peringkat SDM negara kita di dunia tidak begitu menggembirakan.
Guru
di sekolah yang berfungsi buat mencerdaskan anak-anak bangsa juga belum
membudaya untuk membaca- membaca koran, majalah dan buku-buku motivasi.Kalau
para guru sendiri juga malas dalam membaca maka Ilmu guru-guru kita hanya
sebatas menguasai buku teks, sementara kebutuhan hidup anak didik kita melebihi
dari ilmu buku teks.
Anak-anak
kita sejak dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi juga tidak terbiasa
membaca. Itulah jadinya banyak anak-anak kita di sekolah belajar hanya sebatas
4D, yaitu datang, duduk, dengar dan diam.
Kalau
di Sekolah Dasar, seorang anak harus menguasai kemampuan tiga R, yaitu Reading, wRiting dan aRismetic. Untuk
reading atau membaca, siswa kita hanya sebatas mampu membaca satu huruf, satu
kalimat, atau sebatas tahu A-Be-Ce dan De. Belum lagi sebatas mampu membaca dan
menamatkan lusinan buku. Itulah jadinya anak didik kita tidak banyak yang
memahami tokoh-tokoh kehidupan lagi. Karena mereka tidak terbiasa membaca,
mereka tidak memiliki majalah lagi. Dalam zaman cyber, anak-anak kita tenggelam
dalam permainan game online.
Seperti
yang kita lihat pada judul bahwa”siswa kita perlu memiliki cita-cita yang lebih
spesifik”, dalam kenyataan mereka memiliki cita-cita yang ngawur, ngambang,
kalau kuliah, hanya sebatas memburu universitas bergengsi, setelah wisudamalah
jadi bengong. Ini adalah problema bagi kita. Suatu problema dapat disorot dari
sudut “sebab dan akibat”.
Penyebab
mengapa siswa kita tidak memiliki cita-cita yang spesifik, adalah karena mereka
memilki ekplorasi yang minim. Ekplorasi diperoleh lewat menjelajah atau mengenal
lingkungan secara langsung. Namun mereka terbiasa mengurung diri di seputar
rumah, kurang mengenal lingkungan yang dekat hingga lingkungan yang jauh.
Program rekreasi dan eksplorasi belum menjadi agenda ke luarga. Kemudian,
ekplorasi juga bisa bisa diperoleh lewat membaca, sesuai dengan pernyataan
sebuah ungkah “dengan membaca buku kita bisa menjelah dunia”. Nah siswa kita
sendiri adalah orang belum terbiasa membaca hingga jelajah mereka
terbatas.
Karena
guru dan orang tua juga terbatas wawasan mereka, maka mereka juga tidak mampu
menjawab tantangan cita-cita mereka. Jadinya setiap kali sang anak bertanya “Apa
cita-cita saya yang terbaik ?”. Maka jawabnya selalu, ingin menjadi PNS, guru,
dokter, bidan, perawar, insinyur, kerja di Bangk. Pokoknya bekerja menjadi anak
buah terus. Hingga anak mereka belajar dan kuliah, memperoleh IPK yang tinggi
tetapi selalu tertarik sebagai “Job Seeker”- pencari kerja, menjadi
kerja kantoran, menjadi bawahan anak buah.
“Jadi
apa yang diperlukan ?”
Para
siswa membutuhkan bimbingan karir. Itulah ketinggalan kita. Di sekolah luar
negeri, guru-guru dan terutama counseling membantu anak dalam membimbing karir
mereka. Bukan selalu menjadi guru yang mengurus anak bermasalah hingga selalu
memasang wajah angker dan suara killer. Di sekolah Secondary College di Norwood,
yang sempat saya lihat, guru counseling adalah guru tempat curhat tentang karir
dan kehidupan bagi para siswa. Menjadi guru yang dicari, disenangi, bukan guru
yang ditakuti.
Ya
siswa kita memang membutuhkan bimbingan karir, agar mereka memiliki karir yang
lebih spesifik. Siswa kita banyak yang sudah sukses dalam mengejar skor- skor
yang tinggi. Mereka cukup pintar dalam belajar, mampu menjadi sang juara di
kelas- menjadi juara umum. Mereka belajar serius di sekolah, rumah dan malah
juga ikut kursus atau bimbel (bimbingan belajar). Namun bingung dalam mencari
cita-cita.
Cita-cita
klasik mereka yaitu ingin jadi presiden, jadi menteri, jadi dubes, jadi gubernur, jadi
dokter, jadi tentara/ polisi, dll. Ya sebuah cita-cita dari yang tertinggi
sampai yang terendah. Atau cukup banyak yang bengong dengan cita-cita dan
jawaban mereka:
“Bingung
dengan masa depan, tergantung papa dan mama. Tergantung nilai raport, tergantung
wali kelas, tergantung hasil ujian/ hasil T.O. Atau itu belum kepikir
sekarang…yang penting saya harus belajar dulu”.
Karena
cita-cita mereka mengambang dan kurang spesifik jadinya cita-cita mereka jadi
berubah-ubah. Apa
efek dari cita-cita yang berubah?. Ya tentu saja pilihan jurusan berubah,
pilihan gaya belajar berubah, pilihan tempat kuliah berubah. –Visi hidup juga
bisa berubah.
Mereka
perlu memahami pemilihan karir. Paling kurang pemilihan
karir ala Box-Hill atau John L. Holland, yang sempat saya kunjungi di Melbourne.
Yaitu pemilihan pekerjaan/jabatan merupakan hasil
dari interaksi antara factor, seperti hereditas (keturunan), pengaruh budaya,
teman bergaul, orang tua, orang dewasa yang dianggap memiliki peranan yang
penting. Setiap siswa perlu tahu bahwa ada enam tipe pribadi berdasarkan pilihan
kerja, yaitu tipe realistis,
intelektual, sosial, konvensional, usaha, dan artistik.
1)
Tipe realistis, ciri-cirinya yaitu; mengutamakan kejantanan, kekuatan otot,
ketrampilan fisik, mempunyai kecakapan, dan koordinasi motorik yang kuat, kurang
memiliki kecakapan verbal, konkrit, bekerja praktis, kurang memiliki ketrampilan
sosial, serta kurang peka dalam hubungan dengan orang lain. Orang yang bertipe
ini sukanya tugas-tugas yang konkrit, fisik, eksplisit/ memberikan tantangan.
Untuk memecahkan masalah memerlukan gerakan, kecakapan mekanik, seringkali suka
berada di luar gedung. Contoh pekerjaan: operator mesin/radio, sopir truk,
petani, penerbang, supervisor bangunan, ahli listrik, dan pekerjaan lain yang
sejenis.
2) Tipe intelektual,
sukanya adalah model
pekerjaan
yang
bersifat
akademik,
kecenderungan
untuk
merenungk,
berorientasi
pada
tugas,
kurang
suka terlibat dalam bersosial.
Membutuhkan
pemahaman,
menyenangi
tugas-tugas
yang
bersifat
abstrak,
dan
kegiatan
bersifat
intraseptif
(keras/tegas).
Sukanya
tugas
dengan
kemampuan
abstark,
dan juga
bersifat kreatif. Ia
suka memecahkan
masalah yang
memerlukan
intelejensi,
imajinasi,
peka
terhadap
masalah
intelektual.
Kriteria
keberhasilan
bersifat
objektif
dan
bisa
diukur,
tetapi
perlu
waktu
yang
cukup
lama
dan
bertahap.
Ia
tertarik
pada
kecakapan
intelektual
dari
pada
manual.
Kecakapan
menulis juga
mutlak.
Contoh
pekerjaan:
ahli
fisika,
ahli
biologi,
kimia, antropologi, matematika, pekerjaan
penelitian,
dan
pekerjaan
yang
sejenis.
3)
Tipe sosial, ciri-cirinya: suka membantu orang lain, pandai bergaul dan
berbicara, bersifat responsive, bertanggung jawab, punya rasa kemanusiaan,
bersifat religious membutuhkan perhatian, memiliki kecakapan verbal, punya
hubungan antar pribadi yang baik, menyukai kegiatan-kegiatan yang rapi dan
teratur, menjauhkan bentuk pemecahan masalah secara intelektual, lebih
berorientasi pada perasaan. Sukanya menginterpretasi dan mengubah perilaku
manusia, serta berminat untuk berkomunikasi dengan orang lain. Contoh pekerjaan:
menjadi guru, pekerja sosial, konselor, misionari, ulama, psikolog klinik,
terapis, dan pekerjaan lain yang sejenis.
4)
Tipe konvensional, ciri-cirinya: kecenderungan terhadap kegiatan verbal, ia
menyenangi bahasa yang tersusun dengan baik, senang dengan numerical (angka)
yang teratur, menghindari situasi yang kabur atau abstrak, senang mengabdi,
mengidentifikasikan diri dengan kekuasaaan, memberi nilai yang tinggi terhadap
status dan materi, ketergantungan pada atasan. Sukanya proses informasi verbal
dan menyukai matematik secara kontinu, suka kegiatan rutin, konkrit, dan
bersifat sistematis. Contoh pekerjaan: sebagai kasir, statistika, pemegang buku,
pegawai arsip, pegawai bank, dan pekerjaan lain yang sejenis. 5) Tipe usaha,
ciri-cirinya: menggunakan ketrampilan berbicara dalam
situasi dan kesempatan untuk menguasai orang atau mempengaruhi orang lain,
menganggap diri paling kuat, jantan, mudah beradaptasi dengan orang lain,
menyenangi tugas-tugas sosial. Menyenangi kekuasaan, status dan kepemimpinan,
bersifat agresif dalam kegiatan lisan. Sukanya tugas dengan kemampuan verbal
untuk mengarahkan dan mempengaruhi orang lain. Contoh pekerjaan: sebagai
pedagang, politikus, manajer, pimpinan, eksekutif
perusahaan, perwakilan dagang, danpekerjaan lain yang sejenis.
6)
Tipe artistik, ciri-cirinya: senang berhubungan dengan orang lain secara tidak
langsung, bersifat sosial dan suka rmenyesuaikan diri. Sukanya adalah artistik,
memerlukan interpretasi atau kreasi bentuk artistik melalui cita-rasa, perasaan
dan imajinai. Suka mengekspresikan diri dan menghindari keadaan yang bersifat
intra-personal, suka keteraturan, atau keadaan yang menuntut ketrampilan fisik.
Contoh pekerjaan: menjadi ahli musik, ahli main drama, pencipta lagu, penyair,
dan pekerjaan lain yang sejenis.
Dari
uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa anak didik kita perlu memiliki
cita-cita yang lebih spesifik. Untuk itu dari usia dini, mereka sudah terbiasa
bereksplorasi, budaya membaca untuk menambah wawasan sangat penting bagi orang
tua, guru dan siswa sendiri. Kemudian guru dan orang tua perlu memberikan
bimbingan karir lagi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar