Oleh Suparlan
*)
***
We trust teachers. That is
very important, and it’s not easy to realize in all countries. The culture of
trust we have in Finland
(Reijo Laukkanen, Finnish
National Board of Education in Helsinki)
***
Tanggal 2 April 2002, tiga belas tahun yang lalu, Dewan Pendidikan dan Komite
Sekolah telah lahir.
Lembaga representasi masyarakat dalam bidang pendidikan ini dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002. Usia tiga belas tahun bagi
usia suatu organisasi memang belum dapat dikatakan dewasa, apalagi tua.
Tetapi usia tersebut setidaknya dapat digunakan satu tonggak evaluasitentang apa yang telah terjadi dalam usia tersebut. Tulisan singkat ini dimaksudkan untuk
tujuan tersebut.
Sama-sama Bernama
Dewan
Keberadaan Dewan Pendidikan sering dibanding-bandingkandengan lembaga legislatif (DPR). Setidaknya sama-samamenggunakan nama “dewan”. Keberadaan Dewan Pendidikan tentu saja tidak sama dengan DPR,
karena keberadaan DPR secara macro system setara dengan lembaga eksekutif (Presiden) dan lembaga
yudikatif (pengadilan) dalam konsep negara demokrasi. Ketiga lembaga tersebut keberadaannya memang merupakan
amanat “trias
politika” dalam
mengurus pemerintahan negara, setidaknya untuk
membedakan sistem pemerintahan diterapkan bukan negara otoriter dengan negara demokrasi.
|
|
Pelaksanaan urusan pemerintahan dalam bidang pendidikan dieksekusi oleh satu kementerian, yang
nomenklaturnya dikenal dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Tentu menjadi tangan kanan
atau atas nama
Presiden. Sedang legislatif mempunyai fungsi untuk ikut membahas anggarannya, sertamengawasi pelaksanaan anggarannya. Sementara pihak yudikatif
adalah pihak yang melakukan pengadilan jika dalam pelaksanaan urusan pendidikan
tersebut telah terjadi penyimpangan. Itulah yang disebut eksekutif, dan itulah yang disebut
birokrasi pemerintahan yang mengurus pendidikan dan
kebudayaan.
Lalu, bagaimana dengan lembaga Dewan Pendidikan jika dibandingkan
dengan ketiga lembaga tersebut? Dewan
Pendidikan lahir
sebagai “anak desentralisasi”,
sementara itu eksekutif, legislatif, dan yudikatif lahir sebagai anak “Trias Politika”. Dengan demikian Presiden, Lesislatif (DPR), dan
Yudikatif masuk kategori macro
system, sementara Dewan Pendidikan masuk dalam kategori micro
system, karena lahir setelah konsep desentralisasi pemerintahan untuk melaksanakan urusan pemerintahan
tersebut. Memang sama-sama
menangani dalam urusan pemerintahan dalam bidang pendidikan. Sebagai
representasi dari masyarakat, Dewan Pendidikan memang bukan termasuk unsur birokrasi, bukan
eksekutif. Meskipun bukan eksekutif, eksistensinya tidak dapat dinafikan, karena
fungsi dan tugasnya untuk mewakili masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan.
Oleh karena itu, fungsi dan tugas Dewan Pendidikan dalam meningkatkan mutu
pelayanan pendidikan. Jika
Dewan Pendidikan di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota, maka Komite
Sekolah di tingkat satuan pendidikan sekolah.
Itulah sebabnya, lembaga Dewan Pendidikan lahir dalam upaya implementasi penyelenggaraan urusan pemerintahan (dalam
hal ini urusan pendidikan). Dewan
Pendidikan menjadi representasi masyarakat dalam bidang pendidikan, di tingkat penyelenggaraan
pendidikan. Sementara DPR yang menjadi representasi rakyat dalam urusan
pemerintahan yang lebih luas, di tingkat macro system, tentu saja hanya
dalam urusan
pendidikan.
Tentang
Desentralisasi
Kebijakan desentralisasi merupakan lompatan tajam dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pemerintah dan masyarakat menjadi ujung
tombaknya. Dewan
Pendidikan lahir sebagai
anak desentralisasi
tersebut berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1999. Semangat UU inilah yang telah
mendorong kelahiran UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
yang kemudian melahirkan kebijakan Dewan Pendidikan, otonomi pendidikan di tingkat
Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota, yang pada gilirannya melahirkan sistem pengelolaan
pendidikan menjadi manajemen berbasis sekolah (MBS), Komite Sekolah/Madrasah, dan kebijakan sejenis di tingkat satuan pendidikan
sekolah.
Menurut pengamat politik dan
pemerintahan, kelahiran
desentralisasi tidak didasarkan pada kehendak politik (political
will) yang tulus dari
pemerintah, melainkan lebih karena “respon untuk meredam munculnya tuntutan dari beberapa bagian wilayah
Indonesia yang hendak
memisahkan diri NKRI” (Krisno
Hadi, http://ilmupemerintahan.blogspot.com), padahal sebenarnya kelahiran desentralisasi
dimaksudkan untuk memberikan otonomi (termasuk dalam urusan pendidikan) kepada Pemerintah, yang dalam praktiknya pemberian
kewenangan lebih kepada Pemerintah Kabupaten/Kota, karena kalau diberikan kepada
provinsi, maka khawatir akan terjadi negara serikat. Dus, khawatir terjadi
perpecahan NKRI.
Terkait dengan implementasi desentralisasi,
kelahiran Dewan Pendidikan dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat
dalam urusan pendidikan. Itulah sebabnya saat kelahirannya Pasal 186 PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang
Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan dinyatakan bahwa “Masyarakat dapat
berperan serta dalam penyelenggaraan pendidikan melalui berbagai komponen
masyarakat, pendidikan berbasis masyarakat, dewan pendidikan, dan komite
sekolah”. Sejalah dengan ketentuan tersebut, maka dalam Pasal 192 (2) dijelaskan
bahwa “Dewan Pendidikan berfungsi dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan
dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan
prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat nasional, provinsi, dan
kabupaten/kota”.
Dalam konteks ini, maka keberadaan Dewan Pendidikan sering
dibandingkan dengan keberadaan DPR. Bahkan dalam Kepmendinas Nomor 044/U/2002
Dewan Pendidikan memili empat peran yang mirip dengan peran DPR. Dalam
Kepmendiknas tersebut, Dewan Pendidikan dinyatakan dengan tiga peran, bahkan
empat peran, yakni 1) sebagai advisory
agency (memberikan
pertimbangan), 2) sebagai supporting
agency (memberikan
dukungan), dan 3) controlling agency (melakukan pengawasan), serta mediatory
agency (menjadi
mediasi
antara pemerintah dengan
masyarakat).
Titik Balik
Desentralisasi
Implementasi desentralisasi ternyata mempunyai
dampak negatifyang berat. Beberapa di antaranya menjadi dampak yang serius.
Misalnya Pemerintah Kabupaten/Kota telah berjalan sendiri-sendiri dan tidak “patuh” kepada Pemerintah Provinsi. Dengan nada yang serius
implementasi ini sering dinyatakan sebagai terjadinya “raja-raja kecil” yang
boleh jadi dapat menjadi biang terjadinya korupsi yang menggurita di berbagai
level pemerintahan yang
paling bawah yang kemudian ditiru oleh masyarakat secara luas. Dalam tulisannya bertajuk Evaluasi
Penyelenggaraan Otonomi Daerah Pasca UU Nomor 32 Tahun 2004, Krishno Hadi
menyebutnya sebagai titik balik desentralisasi (resentralisasi). Sejalan dengan
menurunnya semangat desentralisasi, maka peran Dewan Pendidikan dalam
Kepmendiknas Nomor 044/U/2002 telah berubah menjadi fungsi dan tugas Dewan
Pendidikan dalam PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelengga-raan
Pendidikan. Dalam Pasal 192 (2) disebutkan bahwa “Dewan Pendidikan berfungsi
dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan,
arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan
pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota”.
Sebenarnya perubahan
tersebut sebenarnya dari aspek istilah atau Bahasa, namun dari sisi lain dapat
diartikan terjadinya penurunan semanat Dewan Pendidikan yang dinilai tidak lagi
bergigi lagi. Apalagi kita ketahui bahwa Surat Keputusan Dewan Pendidikan
Kabupaten/Kota diterbitkan oleh Bupati/Walikota, dan Surat Keputusan Dewan
Pendidikan Provinsi diterbitkan oleh Gubernur. Ketentuan SK tersebut sebenarnya
tidak mengapa, asalkan masih dalam semangat kedudukan yang sederajat antara
Dewan Pendidikan dengan Bupati/Walikota dan antara Dewan Pendidikan Provinsi
dengan Gubernur. Namun pada umumnya orang berpendapat bahwa pihak yang
mengeluarkan Surat Keputusan adalah pihak yang lebih tinggi, padahal seperti SK
KPK dikeluarkan oleh Presiden, bukan berarti KPK tidak dapat memeriksa perilaku
korupsi yang kemungkinan dilakukan oleh Presiden.
Terkait dengan isu titik balik
desentralisasi tersebut, perlu dimaknai bahwa dampak desentralisasi memang dapat dicegah, dengan menyempurnakan mekanisme
implementasi
desentrasilasi
secara tegas. Misalnya
pemberian kewenangan yang
lebih jelas antara
Pemerintah dengan Pemerintah Daerah, dengan kendali yang kuat dari
Pemerintah. Dewasa ini,
titik balik desentralisasi yang semakin menguat adalah pengembalian kewenangan
dalam urusan guru kepada pusat. Sudah barang tentu, pengembangan urusan pendidik
dan tenaga kependidikan perlu dipertimbangkan secara seksama, karena
sesungguhnya yang lebih mengetahui permasalahan pendidik dan tenaga kependidikan
sebenarnya adalah Pemerintah Daerah. Oleh karena itu, pemberian kewenangan
kepada Dewan Pendidikan untuk ikut bersama mengawasi proses pemerataan pendidik
dan tenaga kependidikan perlu dipertimbangkan secara seksama keuntungannya. Pada saat ini, meski Dewan
Pendidikan telah memperoleh selempang berat dengan peran ataupun fungsi dan
tugas sebagai controlling agency, namun pada kenyataannya rekomendari atau pun pertimbangan
dari Dewan Pendidikan kurang memperoleh perhatian sebagaimana mestinya. Dengan
kata lain titik balik desentralisasi memang benar-benar telah terjadi. Dewan
Pendidikan yang diharapkan menjadi representasi masyarakat, namun kenyataannya
ada fenomena yang menunjukkan masyarakat tidak lain dan tidak bukan hanya
menjadi abdi dalem dari yang berkuasa. Pemerintah dan masyarakat belum menjadi
pasangan ideal untuk mengatus urusan pendidikan. Jika kemudian titik balik desentralisasi ini
benar-benar terjadi, maka hal ini akan menjadi set back yang akan
memperberat lagi beban
sentralisasi seperti masa lalu. Oleh karena itu, jalan tengan harus dapat
ditempuh dengan mempertahankan sistem desentralisasi, tetapi perlu diperkuat
adanya kendali desentralisasi. Tentu saja lembaga representasi masyarakat dapat
difungsikan secara untuk melaksanakan fungsi dan tugasnya secara optimal.
Sebagai contoh, program pemerataan guru telah diporakporandakan oleh raja-raja
kecil di daerah. Dinas Pendidikan tidak mampu menahannya, karena menjadi tangan
kanannya. Nah, Dewan Pendidikan sebagai representasi masyarakatlah yang
semestinya harus mampu melaksanakannya.
Dewan
Pendidikan Nasional
Belum adanya pasangan ideal antara Pemerintah
dengan masyarakat ini ditandai oleh belum adanya kemauan politik
(political will) yang
kuat dari
Pemerintah untuk membentuk Dewan Pendidikan
Nasional. SK Panitia Dewan
Pendidikan Nasional yang telah diterbitkan oleh Muhammad Nuh belum juga
menghasilkan calon anggota Dewan Pendidikan Nasional. Dengan demikian, nasib
Dewan Pendidikan masih menjadi tanda tanya yang besar bagi masyarakat. Lalu
dengan siapakah Pemerintah harus menjalin kemitraan dalam penyelenggaraan urusan
pendidikan? Kembali kepada Trias Politika dengan menyatukan pihak eksekutif,
legislatif, dan yudikatif, memang harus bersatu padu implementasinya dalam
tataran macro system, yakni dalam level tingkat tinggi pendidikan.
Tetapi secara operasional pada level yang lebih
rendah, siapakah lembaga yang harus menjadi representasi masyarakat untuk
membantu eksekusi penyelenggaraan pendidikan?
Dalam hal ini, proses pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan, dalam tataran micro system, Pemerintah dan masyarakat harus dapat
menjalin kemitraan dengan
Dewan Pendidikan secara
sinergis. Untuk ini, representasi masyarakat, yang dalam hal ini Dewan
Pendidikan, harus
dihidupkan lebih dahulu. Di tingkat, Dewan Pendidikan Nasional harus segera
dibentuk, karena di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota sedang menunggu tanpa
ada informasi yang jelas.
Terkait dengan program Mendiknas
“membangun sekolah menjadi
taman yang menyenangkan
bagi anak”, kuncinya adalah membangun kepercayaan kepada masyarakat agar
masyarakat,yang semakin hari kepercayaan tersebut semakin banyak yang telah
hilang, paling tidak telah tergadai. Percayakanlah kepada guru, dan
percayakanlah kepada masyarakat agar
kita dapatbersama-sama membangun sekolah sebagai taman yang menyenangkan bagi
anak-anak Indonesia. Insyaallah.
*) Konsultan individu Dewan Pendidikan dan Komite
Sekolah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar