|
|
“Mengapa wacananya Topeng Monyet, Bu?” Begitu pertanyaan seorang pengawas sekolah kepada salah seorang guru kelas. Pertanyaan itu dilontarkan usai melakukan supervisi akademik dalam pelaksanaan proses pembelajaran. “Wacana itu yang ada di dalam buku paket Pak”, jawab guru yang mengajar di kelas lima Sekolah Dasar itu. Buku paket yang dimaksud adalah buku teks utama yang disediakan oleh pemerintah pusat. Buku pelajaran itu didistribusikan ke setiap sekolah di Tanah Air. Jadilah wacana seragam untuk seluruh Indonesia.
Untuk daerah ini (Sumatera Barat – Minangkabau), jelas “Topeng Monyet” bukanlah produk budaya yang akrab dengan anak-anak seusia sekolah. Akan tetapi, oleh kebijakan pusat, senteralistik, wacana itu harus digunakan.
“Terpaksalah” anak-anak menelan budaya sangat jauh dari kehidupan nyatanya. Kondisi seperti ini sangat bertentangan dengan prinsip belajar, “mulai dari yang dekat kepada yang jauh, dari yang konkret kepada yang abstrak, dan dari yang mudah kepada yang sulit”. Meskipun begitu, guru kelas tetap bersikukuh menggunakan wacana itu. Kalau itu tidak digunakan jangan-jangan wacana itu yang muncul ketika ujian akhir sekolah.
Kondisi seperti itu berlangsung sudah sangat lama. Sampai kini, Kurikulum 2013, buku teks utamanya (buku siswa) juga dipaketkan dari pusat. Produk budaya lokal belum atau tidak terakomodasi di dalam buku teks “buatan pemerintah pusat”. Seyogyanya, kearifan lokal setempat, terutama untuk jenjang pendidikan Sekolah Dasar teraktualisasi di dalam buku teks. Nyatanya tidak demikian karena buku-buku teks utama yang diterbitkan oleh pemerintah adalah buku dari buah tangan penulis pulau Jawa. Oleh karena penulisnya dari Pulau Jawa, maka teks atau wacana didominasi oleh wacana produk budaya yang ada di pulau yang terpadat penduduknya itu.
Mengajak sejawat guru Sekolah Dasar untuk memanfaatkan wacana produk budaya lokal amatlah berat. Masalahnya ada dua “ketakutan” yang “menghantui” sejawat guru. Kedua ketakutan itu adalah jika sewaktu-waktu ada yang melakukan supervisi. Supervisor menanyakan kenapa buku paket (buku teks) tidak digunakan. Guru akan sulit memberikan alasan dan marasionalkan alasan. Bila dipaksakan untuk mencari alasan tepat, bisa-bisa guru menangung resiko lain. Oleh karena itu wacana yang ada di buku teks “wajib” ia gunakan.
Kedua, ujian akhir sekolah yang bersifat nasional menjadi “momok” bagi guru. Jika wacananya diganti dengan wacana lain, jangan-jangan wacana yang ada di buku teks muncul di ujian akhir sekolah. Guru bisa menyesali diri atau disesali oleh banyak orang seperti siswa, kepala sekolah, orang tua siswa, dan masyarakat. Menghindar dari rasa bersalah dan berdosa itulah yang membuat guru “terpaksa” menggunakan wacana buku teks meskipun sangat jauh dari kehidupan peserta didik.
Membebaskan guru dari berpikir “paternalistis” adalah bagian penting dalam mengubah “pola pikir atau paradigma” pembelajaran. Hendaknya tumbuh keberanian guru untuk “menyimpang” dari kondisi seragam yang telah tercipta sedemikian lama. Ada keinginan dan keberaniannya untuk melakukan inovasi dalam pembelajaran, terutama dalam pemilihan bahan sebagai basis pembelajaran. Selain itu, guru perlu mendapat motivasi dari supervisornya (pengawas dan kepala sekolah) untuk membuat hal-hal baru dalam pembelajaran. Jika hal itu bisa dilakukan, guru dapat menyiasati penggunaan “produk budaya lokal” untuk bahan ajar atau basis pembelajaran.
Minangkabau – Sumatera Barat memiliki kekayaan produk budaya lokal yang melimpah. Kekayaan itu bisa benda-benda buatan, bisa ajaran, bisa mitos, bisa lemabaga kata-kata (limbago kato-kato), bisa karya seni, dan sebagainya. Menyiasati penggunaan produk budaya lokal ini bagian dari inovasi pembelajaran yang mungkin dapat diraih oleh guru. Untuk menyiasati penggunaan produk budaya lokal itu diperlukan perubahan pola pikir. Selain itu diperlukan penguasaan langkah-langkah teknis dalam menyusun perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian serta evaluasi pembelajaran.
Kisah heroik Anggun Nan Tongga dalam kaba berbahasa Minangkabau, dapat dialihbahasakan ke bahasa Indonesia. Perjuangan Nan Tongga menghadapi berbagai tantangan, hambatan, dan ancaman dalam upaya membebaskan tiga orang mamaknya yang tertawan adalah kisah yang perlu digali dan disiasati dari budaya lokal. Pengkhianatan yang dilakukan oleh orang kepercayaan Nan Tongga merupakan ekpresi kehidupan nyata yang sarat dengan nilai-nilai karakter atau budi. Bisakan Kaba Anggun nan Tongga dijadikan wacana pendek sebagai pengganti “Topeng Monyet”? Tergantung kepada kemauan dan kemampuan sejawat guru.
Mengapa harus “Tangkuban Perahu”, padahal ada “Bujang Sambilan” dari mitos asal-usul Danau Maninjau. Danau yang terletak di Kecamatan Tanjung Raya, Agam itu bukan lagi milik Sumatera Barat tetapi milik Indonesia. Bukankah dari pinggir danau itu lahir banyak tokoh seperti Hamka dan sebagainya. Kisah dan asal-usul danau terkenal itu juga dapat diolah dalam bahasa yang sesuai dengan usia peserta didik. Mengolah dan menulis ulang kisah itu merupakan salah satu langkah menyiasati budaya lokal untuk bahan ajar atau basis pembelajaran.
Mungkinkah dapat dibuatkan wacana pendek tentang “carano” dan isinya untuk pembelajaran kelas lima Sekolah Dasar? Carano dengan fungsinya berisi berbagai kelengkapan. Ada daun sirih, ada buah pinang, ada gambir, dan ada kapur (sadah). Formulasi keempat isi “carano’ itu akan menjadi instrumen dalam upacara tertentu di Minangkabau. Masing-masing isi kelengkapan itu mengandung makna dan filosofi yang sarat dengan nilai. Pertemuan sirih, pinang, gambir, dan kapur (sadah) di dalam carano bukangkah merupakan gambaran keanekaragamn yang memunculkan warna baru?
Bukankah sirih, gambir, dan pinang berasal dari tumbuhan dan kapur (sadah) berasal dari hewan di laut? Darat dan laut adalah kekayaan negeri yang merupakan hadiah dari Yang Mahakuasa untuk umat manusia. Semuanya ada di alam. Alam menjadi guru bagi orang Minangkabau, “alam takambang jadi guru”. Kerjasama antara unsur alam yang menumbuhkan daun siri, yang menghasilkan uah pinang, yang memunculkan getah gambir, dan melahirkan kapur sirih adalah gambarn budi dalam kehidupan. Hal-hal seperti inilah yang mungkin perlu disiasati untuk memperkaya khasanah bahan dan basis pembelajaran.
Pada saat pembelajaran di sekolah, khususnya di pendidikan dasar menjauh atau dijauhkan dari budaya lokal, saat itu anak-anak bangsa ini mulai tercerabut dari akar budayanya. Saat itu pula anak bangsa ini akan disalokasi, diseksistensi – tidak mengenali keberadaannya sehingga ia terombang-ambing dalam budaya yang menggelobal. Mereka kehilangan jati diri dan kehilangan milik yang sangat berharga. Menyiasati budaya lokal untuk bahan ajar dan basis pembelajaran, mungkin langkah awal untuk “mengakrabkan” anak bangsa dengan budayanya yang sarat dengan nilai-nilai “budi – karakter”. Mungkinkah? Tergantung kepada sutradara dan pemegang skenario. Semoga.
[ Sumber : Harian Singgalang, Senin 19 Januari 2015 ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar