Oleh : Doni Swadarma
Bagi sebagian orang usia SD merupakan masa kritis. Dimana anak mulai mempertanyakan segala sesuatu yang ada di sekelilingnya, menyentuhnya dan mengamati secara langsung. Hal tersebut diperkuat dengan teori konstruksivisme Piaget yang mengatakan usia 7-11 tahun adalah tahapan “operasional konkret”, dimana anak mulai berpikir secara logis dengan mengoperasikan benda-benda secara konkret.
Sedangkan khusus untuk muslim, anak usia 7 tahun sudah dituntut untuk menjalankan shalat, bahkan dalam salah satu hadits orang tua diperbolehkan memukul anak yang tidak melakukan shalat bila sudah berusia 7 tahun, asalkan bukan pukulan yang membahayakan fisik maupun psikis anak.
Oleh karenanya tak mengherankan bila banyak orang tua muslim (perkotaan) yang menyekolahkan anaknya di Sekolah Dasar Islam Terpadu.Dengan harapan anak mereka tumbuh dengan dasar pemahaman agama Islam yang baik.
Bila kita perhatikan perkembangan SDIT memang luar biasa. Luar bisa cepat pertumbuhannya, luar biasa mahalnya. Saking banyaknya, sampai-sampai dibentuk JSIT (Jaringan Sekolah Islam Terpadu), yaitu sejenis forum komunikasi antar SDIT/SMPIT. Segmen masyarakat muslim perkotaan memang konsumen yang mereka bidik oleh karenanya biaya sekolah di SDIT terkenal mahal.
Namun bagi saya pribadi, saya tak tertarik untuk ikut-ikutan memasukkan anak saya untuk sekolah di SDIT manapun, mengapa?
Sedangkan khusus untuk muslim, anak usia 7 tahun sudah dituntut untuk menjalankan shalat, bahkan dalam salah satu hadits orang tua diperbolehkan memukul anak yang tidak melakukan shalat bila sudah berusia 7 tahun, asalkan bukan pukulan yang membahayakan fisik maupun psikis anak.
Oleh karenanya tak mengherankan bila banyak orang tua muslim (perkotaan) yang menyekolahkan anaknya di Sekolah Dasar Islam Terpadu.Dengan harapan anak mereka tumbuh dengan dasar pemahaman agama Islam yang baik.
Bila kita perhatikan perkembangan SDIT memang luar biasa. Luar bisa cepat pertumbuhannya, luar biasa mahalnya. Saking banyaknya, sampai-sampai dibentuk JSIT (Jaringan Sekolah Islam Terpadu), yaitu sejenis forum komunikasi antar SDIT/SMPIT. Segmen masyarakat muslim perkotaan memang konsumen yang mereka bidik oleh karenanya biaya sekolah di SDIT terkenal mahal.
Namun bagi saya pribadi, saya tak tertarik untuk ikut-ikutan memasukkan anak saya untuk sekolah di SDIT manapun, mengapa?
1. Politisasi pendidikan Sulit mengatakan bahwa tidak ada hubungan antara JSIT ( SDIT dan SMPIT) dengan PKS. Silahkan cek sendiri mulai dari para pengurus JSIT, pengurus Yayasan di tiap sekolah, hingga para guru dan karyawannya. Bila sudah begini jangan heran bila PKS punya hajat untuk mengerahkan massa maka sekolah-sekolah ini akan mengerahkan baladnya untuk ikut terjun ke lapangan walau di saat jam kerja sekalipun! Padahal isyu yang diangkat banyak yang tidak berhubungan dengan dunia pendidikan, seperti pengerahan massa untuk pilkada, direct selling (istilah untuk menarik massa pemilih dengan cara door to door), Palestina, anti Amerika, dan lain-lain. Stiker, spanduk, baliho calon yang dukung dalam pilkadapun terkadang dapat ditemukan dengan mudah di dalam maupun di sekitar area sekolah. Sampai-sampai ada sebuah SDIT yang taglinenya kelewat maksa dengan mengambil kepanjangan dari PKS menjadi Pintar, Kreatif, Soleh. Luar biasa….kalau sudah begini saya hanya bisa geleng-geleng kepala.
2. Mahal tapi tak sebanding dengan kesejahteraan karyawan Mahal itu subjektif, tapi bila harus merogoh kocek di atas 10hingga 25 juta untuk uang pangkal dan SPP mendekati 1 jutaan per bulannya maka bagi sebagan besar masyarakat Indonesia harga tersebut jelaslah mahal. PKS boleh menyatakan sebagai partai yang memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan. Tapi di lapangan, terutama di dunia pendidikan yang dikelola oleh para kader-kadernya hal tersebut jelaslah hanya sebuah ungkapan manis tanpa makna, alias sampah tak berguna. Sebab pada kenyataannya kerja keras guru dan karyawannya yang harus bekerja di atas 8 jam, bahkan harus ikut-ikutan pengerahan massa di arena pilkada segala tidak sebanding dengan gaji yang diterima. Dengan uang masuk dan SPP seperti di atas rata-rata gaji guru-guru SDIT hanya berkisar 1 hingga 2 juta an saja. Oleh karenanya tak heran bila di SDIT lalu lalang guru yang keluar masuk sangat tinggi. Dengan kondisi demikian bisa dibayangkan suasana belajar yang dirasakan oleh para siswa yang sering gonta ganti guru seperti itu.
3. Jadi kendaraan politik Banyak para pemilik/pengurus yayasan yang menaungi SDIT ini menjadi politisi berkat limpahan uang dari penyelenggaraan pendidikan ala SDIT ini. Tak semuanya memang. Namun ulah oknum-oknum seperti ini ibarat orang yang menari di atas bangkai saudaranya sendiri. Di saat karyawan dan guru sedang kesusahan mereka malah bergelimang kemewahan.
4. Eklusif dan homogen Alasan ke-4 ini sangat subjektif. Bagi saya anak harus diajarkan menghargai perbedaan sedari kecil. Oleh karenanya biarkan anak berinteraksi dengan ingkungan yang plural, lintas suku, agama warna kulitstrata sosial dan lain-lain. Hal ini tidak akan ditemui di SDIT, karena semua serba eklusif dan homogen (Muslim, menengahatas, perkotaan). Seandainya anak-anak ini telah menamatkan SD dan telah masuk ke jenjang SMP/SMA maka banyak yang “kaget”hingga mereka menjadi sulit berbeda, manja, dan cenderung ingin lepas bebas. Tak jarang alumni SDIT yang begitu memasuki usia remaja malah menjadi anak yang sulit diatur, bandel dan lepas kendali. Mungkin karena terlalu terkekang sewaktu kecilnya….
[ Sumber : http://www.kompasiana.com/ ]
[ Sumber : http://www.kompasiana.com/ ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar