Sekolah yang satu ini memang cukup unik. Jika, umumnya sekolah diisi generasi penerus bangsa yang berprestasi, maka sekolah ini siswanya beruk semua.
Lelaki paruh baya bernama Jasman itu terdengar menghardik beruk betina yang lehernya diikat rantai. Ia sedang mengajar beruk memetik kelapa. Direntangnya sebatang bambu di antara cabang dua pohon yang bersisian, setinggi 1 meter dari permukaan tanah.
Di batang bambu itu, dua buah kelapa digantung. Beruk disuruh naik ke bambu yang terentang itu. Dengan sedikit tarikan pada rantainya, Jasman mengarahkan beruk ke kelapa yang tergantung. Diperintahnyalah si beruk memilin kelapa itu agar jatuh. Seakan mengerti perintah sang guru, beruk pun mendekati kelapa dan memutarnya hingga kelapa itu jatuh.
Begitulah, salah satu pelajaran atau latihan di sekolah beruk milik Jasman, yang terletak di Pasar Ternak, VII Koto Sungai Sarik, Kabupaten Padangpariaman. Ada empat ekor beruk yang akan dilatih ketika itu. Dibutuhkan waktu 1-2 semester bagi beruk untuk belajar, hingga benar-benar memiliki kepandaian memetik kelapa. Kebanyakan beruk yang dilatih berkelamin betina. Alasannya, menurut Jasman, sifat beruk betina lebih jinak dan mudah dilatih, sementara beruk jantan sering melawan dan agresif. Umur rata-rata beruk masuk sekolah ini 4-9 bulan.
Beruk-beruk tersebut ditangkap di rimba-rimba Sumatera Barat. Mereka dijual di pasar beruk yang ada di pasar-pasar ternak. Seperti, pasar ternak VII Koto Sungai Sarik, tempat Jasman mengajar beruk tadi. Di sana, selain sekolah beruk, juga ada pasar beruk. Para tukang beruk yang ingin membeli atau menjual beruk akan datang ke sana.
Saat itu saja, ada 12 ekor beruk yang ditempatkan dalam kandang besi untuk dijual. Begitu didekati pembeli mereka menyeringai melawan, ada pula yang memekik ketakutan. Beruk-beruk ini dihargai Rp50 ribu sampai Rp1 juta, sesuai umur, kepandaian dan tanda-tanda lain yang ada di tubuh beruk itu.
Bagi beruk-beruk yang masih liar atau baru ditangkap, disekolahkan atau dilatih sendiri oleh pembelinya.
Setelah bersekolah atau belajar intensif dengan tuannya, beruk yang sudah mumpuni dalam memilih dan menjatuhkan kelapa itu dipekerjakan sebagai mitra dalam memuhi kebutuhan hidup tukang beruk atau tuannya tersebut. Mereka akan berkeliling kampung, dengan sepeda kayuh atau sepeda motor, menawarkan jasa memetik kelapa. Ratusan kelapa bisa diturunkan oleh beruk-beruk hebat dan istimewa tersebut, dan menerima upah dari sana. Melalui upah jasa beruk ini, anak-anak tukang beruk ada yang sekolah tinggi hingga sarjana, bahkan sampai berpendidikan luar negeri.
Apenscholen di Zaman Belanda
Sekolah beruk di Pariaman ini sebenarnya sudah dirintis sejak zaman Belanda. Bahkan, orang-orang Belanda terkagum-kagum melihat kepandaian orang kita melatih beruk. Surat kabarSinggalang, Minggu, 24 Oktober 2010, pernah memuat foto sekolah beruk zaman Belanda yang dikirim Suryadi, dosen dan peneliti di Leiden, Belanda. Foto tersebut memperlihatkan cara mengajari anak beruk memetik buah kelapa.
Dalam keterangannya, Rang Piaman itu menulis; “Seekor anak beruk disuruh memilin atau menggigit tangkai buah kelapa yang diberi tali dan digantungkan di tiang berpalang panjang. Dengan telaten seekor anak beruk disuruh berkali-kali memilin buah kelapa yang digantungkan itu. Buah kelapa itu akan dijatuhkan oleh tuannya, kemudian ditarik kembali ke atas. Hal dilakukan berkali-kali sehingga anak-anak beruk itu jadi mengerti, sampai setelah besar ia dapat disuruh memetik kelapa dari pohonnya. Kurang jelas kenapa para guru di sekolah beruk ini tidak pakai baju. Mungkin juga karena mereka ingin mendekatkan dan mengakrabkan diri dengan para muridnya yang juga tidak pakai baju. Bukankah ada pepatah bahwa guru adalah teladan bagi murid-muridnya: guru kencing berdiri, murid kencing berlari.”
Gambaran di foto tersebut hampir sama dengan yang dilakukan oleh Jasman dalam melatih beruk-beruknya. Sepertinya, sistem pengajaran beruk ini turun menurun juga, tak jauh beda mungkin dengan sistem pendidikan di Indonesia yang diwariskan Belanda sejak politik etis dijalankan.
Suryadi mendapatkan foto tersebut dari artikel J. Jongejans, berjudul Apenscholen (Sekolah Beruk). Jongejans adalah seorang Belanda yang mengunjungi Sumatera Barat akhir 1930-an. Ia termasuk pengagum keindahan alam dan kehidupan masyarakat Minangkabau. Dalam kunjungannya ke Pariaman, ia tertarik melihat beruk yang dipekerjakan sebagai pemetik buah kelapa. Selain itu, ia juga kagum pada ketelatenan dan kesabaran orang Pariaman mengajari anak-anak beruk yang ditangkap di rimba.
J.C. Boelhouwer, seorang komandan militer Belanda yang pernah bertugas di Pariaman tahun 1830-an, juga menulis tentang beruk ini dalam bukunya Herinneringen van mijn verblijf op Sumtras Westkust gedurende de jaren 1831-1834 (Kenang-kenangan masa tinggal saya di Sumatera Barat selama tahun-tahun 1831-1834) (1841:66).
Ia menulis tentang seekor beruk dewasa bekerja menjatuhkan kelapa. Diceritakannya, beruk yang sudah berada di atas pohon kelapa itu mengambil sembarang kelapa saja. Namun, kelapanya masih kecil atau muda, disentak tali beruk oleh tuannya dari bawah sembari mengatakan tidak. Beruk itu pun memilih kelapa yang lain sambil melihat kearah tuannya di bawah, untuk mendapatkan persetujuan. Kalau tuannya setuju, mulailah beruk itu beraksi, menggigit tampuk kelapa itu, memutarnya dengan kaki. Kalau kelapa itu tersangkut, beruk akan berusaha menjatuhkannya. J.C. Boelhouwer juga sering menerima beruk-beruk yang pandai memetik kelapa ini.
Namun, tidak semua beruk bisa patuh kepada tuannya. Ada pula beruk yang melawan, atau tidak suka diperintah. Bahkan, tak jarang, tukang beruk menghajar ‘anak buah’-nya itu karena madaatau malas memanjat.
Seperti itulah sekolah beruk di Pariaman. Tempat binatang buas dan liar itu dipatuh, sehingga menjadi mitra tukang beruk dalam berusaha.
[Sumber : http://www.inioke.com/]
[Sumber : http://www.inioke.com/]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar