Oleh: Daoed
Joesoef
Alumnus Universite' Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne
Ada dugaan bahwa niat pemerintah
mengadakan investasi kereta api cepat ala Jepang atau Tiongkok sebagai usaha
memasuki era kecepatan.
Hal ini benar sejauh kebijakan itu
dilakukan dalam konteks ”dromokrasi”, suatu kekuatan yang tidak kelihatan,
tetapi cukup berkuasa mendorong manusia bertindak serba cepat. Sama halnya
dengan istilah ”demokrasi”, ”dromokrasi” dibentuk dari dua kata Yunani, yaitu
dromos berarti ’kecepatan’ (speed) dan kratos berarti ’pemerintahan’ (rule).
Analog dengan istilah ”demokrasi”, maka kata ”dromokrasi” bermakna ’the
government of the speed, by the speed, for the speed’.
Kekuasaan dromokrasi sudah berlaku
sejak dua ribu tahun sebelum Kristus. Para Firaun (Pharao) Mesir sudah
menggunakan ”pengait” dan ”cambuk” sebagai lambang kekuasaan dan pemerintahan.
Dengan mengait orang menahan, dengan cambuk orang menggerakkan. Jadi,
pemerintahan sudah lama mengacu pada aturan. Mengatur berarti menggerakkan,
mengendalikan, dan menertibkan.
Penciptaan benda yang disebut ”roda”
dan pemikiran mengukur ”pi” (n), yaitu perbandingan antara garis tengah dan
lingkaran roda, membuat satu lompatan besar di tingkat kecepatan. Abad XIX
membangun industri kecepatan. Dalam perspektif sejarah, penerbangan angkasa luar
merupakan lanjutan dari penemuan roda tersebut. Jika masa prasejarah adalah
”berjalan” dan masa sejarah ”menggelinding”, sekarang ini adalah proto sejarah
dari ”terbang”. Dengan terbang, orang mampu bergerak lebih cepat daripada suara
dan masih terus berusaha melaju secepat gerakan cahaya.
|
|
Isra dan Miraj adalah gerakan
dromokratis yang dinarasikan oleh agama Islam, pada tanggal 27 Rajab, 16 abad
yang lalu. Isra adalah perjalanan malam yang ditempuh Rasulullah dari Masjidil
Haram di Mekkah ke Masjidil Aqsa di Jerusalem, berjarak kira-kira 1.350
kilometer. Miraj merupakan perjalanan lanjutan di malam yang sama ke angkasa
luar menuju Sidratul Muntaha tempat dia menerima perintah dari Allah tentang
kewajiban bershalat. Waktu yang dia perlukan untuk sampai ke sana, dengan
melewati berbagai galaksi di jagat raya, diperkirakan sebanyak 10 miliar tahun
cahaya. Berarti dia perlu kendaraan yang kecepatannya melebihi kecepatan cahaya
(300.000 kilometer per detik). Dalam narasi tadi kendaraan Rasulullah disebut
berkecepatan ”kilat” (Buraq atau Barqun).
Kalau dahulu jarak dan ruang
menghabiskan waktu, berkat kecepatan waktu menelan jarak dan ruang. Mengetahui
hal ini, pemerintah kita sejak kemerdekaan telah berusaha menciptakan
”kecepatan” berupa bandara di setiap pelosok Tanah Air. Namun, langkah yang
serba spektakuler ini tidak memenuhi dromokrasi. Ternyata yang dibangun itu
hanya sarana dan lambang kecepatan, bukan sekali-kali ”kecepatan” itu sendiri.
Tanpa kesadaran berdromokrasi, penikmatan ”gerak-cepat” itu tidak tanpa biaya
tak terduga, berupa penghamburan dana, kerja tumpang tindih, kehilangan waktu,
tumpukan kejengkelan dan kecelakaan, yang jauh lebih besar daripada
seharusnya.
Kita lupa bahwa makanan enak dapat
dibeli, tetapi makan enak tidak. Kasur empuk dapat dibeli, tetapi tidur enak
tidak. Buku ilmu pengetahuan dapat dibeli, tetapi sang pembaca tidak otomatis
menjadi ilmuwan sejati. Untuk kualifikasi intelektual ini diperlukan ”spirit
ilmiah” dan ini pasti tidak dapat dibeli, harus dikembangkan sendiri berdasarkan
kesadaran.
Kesadaran yang diniscayakan oleh
dromokrasi itu terutama mengenai hakikat dari faktor-faktor yang menentukan
jalannya dromokrasi, pada pokoknya berupa: berpikir integratif (perencanaan
terpadu, interdisipliner, interkoneksitas), kebijakan energi, kesadaran waktu
dan ruang. Unsur ”waktu”, misalnya, menentukan sekali keberhasilan dromokrasi
berhubung bersama-sama dengan ”jarak”, ialah yang dijadikan pengukur
perkembangannya. Adapun perilaku kita pada umumnya masih dikuasai oleh ”jam
karet”.
Miopia waktu
Manusia Indonesia kelihatan
mengalami gangguan dalam ber-”waktu”. Jangka pendek sering dianggap sebagai
horizon pasti dan cenderung bergerak dari jangka pendek ke immediate, dari
horizon tertutup ke tidak adanya horizon, hingga terpaku pada ”waktu riil”:
jarak temporal sebesar nol derajat.
Miopia waktu lalu membuat kehidupan
bersama dikuasai oleh ”tirani urgensi”, yang mendesakkan cara kerja dadakan.
Dengan dalih just on time, tirani urgensi dengan gaya pendadakannya membuat
kriteria aksi yang simpel—fleksibilitas dan adaptasi—menjadi absolut dalam
pengambilan keputusan. Keputusan ini bisa saja membuahkan manfaat sesaat,
terutama di bidang politik yang dikuasai oleh parpol dan politikus
oportunis.
Dalih just on time dari tindakan
mendadak itu sendiri bukan berarti ia dilakukan tepat waktu, sesuai jadwal.
Sesuatu yang sampai dianggap urgen sebenarnya sudah sangat terlambat—when it is
urgent, it is already too late. Maka, tirani urgensi membiasakan merespons
langsung tanpa analisis cukup hingga kebijakan pemerintahan menjadi suatu
rangkaian adaptasi pasif immediate terus-menerus. Aksi pemerintahan yang diambil
guna mengatasi kelumpuhan tadi selalu berupa tindakan spektakuler yang serba
cepat.
Jadi, investasi kereta api cepat
dilakukan bukan karena kesadaran adanya ”dromokrasi”, melainkan sebagai reaksi
terhadap penjajahan miopia waktu. Adapun sikap pemerintah dalam keadaan apa pun
seharusnya bersifat antisipatif sebab ”to govern is to foresee”. Berarti selalu
berusaha ”to foresee the present in order to build the proper future of the
nation-state”.
Etika masa
depan
Etika masa depan lahir dari
kesadaran bahwa setiap makhluk akan menjalani sisa hidupnya di masa depan
bersama dengan makhluk hidup lain yang ada. Maka, manusia, selaku khalifatullah
di bumi, bertanggung jawab tidak hanya atas dirinya, tetapi juga terhadap
makhluk lainnya itu. Berarti masa depan menuntut manusia untuk tidak mengelakkan
tanggung jawab atas konsekuensi dari setiap aksi yang dilakukannya sekarang ini,
termasuk langkah yang dia tahu harus diambil, tetapi tetap tidak dia
lakukan.
Berhubung tanpa adanya etika masa
depan di masa lalu, di masa sekarang segala sesuatu sudah terasa serba
terlambat, etika masa depan menuntut manusia mempunyai pula visi prospektif. Ini
adalah sikap intelek yang melihat sesuatu di masa depan bukan sebagai realitas
tersembunyi yang sudah eksis dan dapat ditemukan dengan menggunakan aneka metode
ilmiah yang sesuai, melainkan lebih berupa hasil yang telah diprakirakan oleh
aksi-aksi yang kita lakukan dengan sengaja, sistematik, dan terarah
sebelumnya.
Jadi, sikap prospektif dibangun
berdasarkan postulat bahwa manusia terpanggil untuk membangun masa depannya
sendiri dan adanya kebebasan manusia dalam menghadapi hal-hal mendatang,
beraneka ragam, tidak pasti, dan serba kompleks. Maka, kemampuan antisipatif dan
pikiran prospektif hendaknya dijadikan prioritas bagi orang/lembaga yang merasa
terpanggil untuk mengambil keputusan. Hal ini jelas memerlukan riset, tetapi
pasti sangat relevan bagi pembentukan kekuatan guna membebaskan diri dari
cengkeraman faktor ”tirani urgensi”, untuk menolak adaptasi ”waktu riil”, demi
menentang kebijakan just on time.
Kontrak
kealaman
Sepintas lalu tidak ada alasan untuk
khawatir bahwa anak cucu kita tidak bisa hidup bahagia di bumi Indonesia yang
terkenal kaya dengan sumber alamnya. Namun, berhadapan dengan aneka jenis
eksploitasi alam yang rakus demi keuntungan yang serba instan, kita harus
membuat suatu kontrak kealaman, a natural contract, yang menyatakan ”the does
and the don’t” dan harus kita taati dalam memanfaatkan alam demi keselamatan
(survival).
Selama ini sumber alam dianggap
sebagai warisan nenek moyang dan karena itu generasi sekarang merasa berhak
penuh menguras semuanya guna memenuhi kebutuhan sekarang dengan menyerahkan
begitu saja kepada generasi mendatang menemukan sendiri solusi masalah yang
diakibatkan oleh pengurasan itu. Akibat kerakusan ini sudah terasa sekarang:
polusi, kehancuran ekologis, penandusan, longsor dan banjir, pemanasan global,
penyusutan cadangan air tanah, kerusakan lapisan ozon, dan kepunahan berbagai
jenis flora dan fauna akibat pembabatan hutan seenaknya.
Lebih daripada seabad yang lalu,
Alexis de Focqueville, filosof politik Perancis, telah mengingatkan ”a
democratic power is never likely to perish for lack of strength or of its
resources, but it may very well fall because of the misdirection of its strength
and the abuse of its resources”. Dan di negeri tercinta ini memang terjadi
”salah arah eksploitasi alam” serta ”penghamburan
pemanfaatannya”.
Maka, dengan penyalahgunaan koleksi
terbesar dari kekayaan alam berlimpah yang pernah ada di sepotong geografi,
Indonesia kini menghadapi a now or never situation dalam keselamatan hidup
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara hingga kiamat.
Revolusi
mental
Revolusi yang sekarang gencar
dicanangkan ini seharusnya meliputi anggapan bahwa kekayaan sumber alam yang ada
merupakan ”pinjaman” belaka dari generasi sekarang kepada generasi mendatang
yang seharusnya bisa dikembalikan dalam keadaan terawat dan relatif siap
pakai.
Jangan lagi kita kacaukan hakikat
”teknologi” dan ”ilmu pengetahuan”. Jangan lagi menganggap status martil sama
dengan test-tube. Sudah waktunya kita menyadari bahwa peralatan yang dipakai
guna membelah gunung dan merusak pantai adalah perpanjangan dari sekaligus
pikiran dan otot. Ilmu pengetahuan boleh dibiarkan bebas karena ia ”mencari”
kebenaran, tetapi teknologi hanya merupakan means guna ”menerapkan” kebenaran.
Dan justru penerapan ini membutuhkan kontrol filosofis dan keseimbangan antara
kearifan dan concern for posterity.
Kita tidak mungkin
mengubah/memperbaiki masa lalu. Dengan opsi yang cenderung menyempit, kita tetap
berkewajiban membentuk masa depan. Maka, demi penanganan masa depan yang
menjanjikan, negara perlu melaksanakan tugas hakikatnya yang selama ini
terabaikan, yaitu ”membangun jiwa” sebelum ”membangun badan” Tanah Air, seperti
yang diamanatkan oleh himne nasional ”Indonesia Raya”. Berarti kiat bernegara
sinonim dengan keterampilan membangun jiwa. Statecraft is sosulcraft.
Negara-Bangsa yang merdeka bukan lagi sekadar suatu ”lokalitas fisik”, melainkan
suatu ”mindset”. []
Sumber : KOMPAS, 14 September
2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar