Oleh :
Marjohan, M.Pd
Guru SMA 3 Batusangkar- Peraih Predikat I Guru Berprestasi Nasional.
Email :
marjohanusman@yahoo.com
Saya
merasa sangat beruntung bisa berjumpa langsung dengan Prof. Dr. Muhammad Nuh,
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dalam kepemimpinan Presiden SBY. Kami para
guru-guru berprestasi Indonesia memperoleh wejangan tentang rencana Pemerintah,
melalui Kementrian P dan K untuk melahirkan generasi emas sebagai kado bagi hari
Ulang Tahun Kemerdekaan
Republik Indonesia di tahun 2045 kelak.
Menteri mengatakan bahwa
saat itu bangsa kita akan menjadi bangsa yang sangat maju karena keberadaan
Generasi Emas tersebut. Dikatakan bahwa antara tahun 2012 hingga 2045, kita
menanam generasi emas tersebut. Indonesia akan mendapatkan bonus demografi yaitu
jumlah usia penduduk produktif paling tinggi antara masa anak-anak dan orang
tua. Generasi emas ini akan siap mengantarkan bangsa Indonesia menjadi bangsa
yang bermartabat dan akan menduduki posisi berkualitas setara dengan
bangsa-bangsa lainnya di dunia.
“Bagaimana
cara melahirkan generasi emas ini ?”
Pemerintah
telah menyiapkan grand-design pendidikan. Pendidikan anak
usia dini digencarkan dengan gerakan PAUDisasi. Kemudian pembangunan dan
rehabilitas sekolah dan ruang kelas baru secara besar-besaran. Aka nada
intervensi khusus untuk meningkatkan Angka Partisipasi Khusus (APK) siswa SMA dan minimal para pekerja kita
adalah lulus SMA.
|
|
Kementrian
P dan K akan mencanangkan gerakan PAUDisasi- pelayanan pemberian pendidikan buat anak-anak usia dini, usia
seputar 4 dan 5 tahun. Buat mereka- anak TK dan PAUD, diberikan pendidikan yang
ramah anak. Di dalamnya terdapat penghargaan terhadap hak-hak anak, yaitu hak
untuk memperoleh pendidikan berkualitas, hak buat dihargai dan untuk memperoleh
lingkungan bebas dari kekerasan, eksplotasi dan diskriminasi.
Wah
grand design yang sungguh
hebat yang sangat tulus dari pemerintah lewat Kementrian P dan K. Namun apakah
ini bisa benar- benar terwujud ? Memang andai kata negara ini luasnya sama
dengan negara Singapura- negara paling mungil di Asia Tenggara dan negara yang rajin reklamasi untuk memperluas
negaranya, memiliki luas sekitar 637 km2, ya sedikit di bawah Jakarta- tentu
saja kita mungkin bisa terwujud dalam hitungan semester saja.
Atau
andai tanah air ini luasnya sama dengan Malaysia mungkin bisa terwujud dalam
hitungan tahun. Tetapi luas tanah air ini sama dengan benua Eropa atau negara
benua Australia dan penduduknya beriringan banyak dengan penduduk Amerika
Serikat dan Russia. Sementara itu persoalan way of life dan kultur manusia Indonesia
ini sangat multi kompleks.
Jadi
harapan untuk memperoleh generasi emas seperti yang dicanangkan oleh Prof. Dr
Muhammad Nuh sungguh mulia, namun dalam realita tidak semudah membalik telapak
tangan. Andai para petinggi negara ini sering-sering blusukan ke bawah, tidak
hanya blusukan sebatas di kota Jakarta saja akan terpantau bagaimana cara untuk
merealisasikan mimpi tersebut.
Apa
bisa mewujudkan generasi emas dalam kurun waktu 30 tahun terjadi, kalau orang
tua dan masyarakat Indonesia pada umumnya terbiasa berlepas tangan dalam
mendidik anak ?. Kalau sudah ada generasi muda yang terlihat cerdas namun mereka
mengadopsi gaya hidup ingin senang- mereka bermental hedonis dan ingin hidup
jalan pintas.
Kemudian
cobalah para Petinggi Negara pergi blusukan ke daerah yang jauh akan dijumpai
sekolah PAUD dan TK yang sangat tidak layak. Belajar di sebuah ruangan reot,
kursi dan meja tidak layak pakai dan diajar oleh guru PAUD dengan wajah lesu
karena honor mereka susah turun, kalaupun turun hanya bisa untuk menghidupi diri
selama 3 hari. Sehingga suasana belajar PAUD dan TK tersebut sangat sepi dan
jauh dari keceriaanya dunia anak-anak.
Bapak
Muhammad Nuh mengatakan bahwa untuk mewujudkan generasi emas akan dilakukan
pembangunan dan rehabilitas sekolah dan ruangan kelas baru secara besar-besaran.
Sekarang pun ini sudah dilakukan, namun gedung-gedung pendidikan yang dibangun
sangat sarat dengan mark-up-
penggelembungan harga dan mentalitas korupsi.
Coba
perhatian pada pembangunan ruangan sekolah yang baru. Setelah beberapa waktu
kemudian, pintunya akan lepas, penggantung jendela akan copot dan di sana-sini
ada- ada saja yang terkelupas. Sungguh untuk menumbuhkan generasi emas
diperlukan masyarakat yang juga berhati dan berfikiran emas- bukan berhati yang
gemar korupsi dan mencari komisi.
Untuk
mendapatkan generasi emas juga dibutuhkan orang tua yang bertangan emas dan
kenal dengan ilmu parenting
agar tahu bagaimana menjadi orang tua yang punya peran yang benar. Sehingga
mereka bisa membimbing putra putri mereka. Namun yang kerap terjadi adalah ‘Fail Parenting- atau orang tua
yang gagal”.
Ada
beberapa kebiasaan yang dilakukan oleh orang tua yang berakibat terjadinya fail parenting. Bentuk fail parenting ini adalah:
menghukum tanpa mengajarkan
contoh yang seharusnya, orang tidak mengontrol ucapan yang dilontarkan pada
anak, orang terbiasa banyak mengkritik dan bukan mendukung, juga sering orang
tua tidak melibatkan anak dalam aktifitas keluarga di rumah.
Deskripsi
atas beberapa kesalahan dalam mendidik anak atau fail perenting ini (http://lifestyle.okezone.com/read) adalah
sebagai berikut:
1)
Menghukum tanpa mengajarkan
Banyak
orangtua yang memberi kebebasan kepada anak dengan syarat harus
bertanggungjawab. Misal, orangtua memberi anak kamar pribadi agar anak memiliki
privasi dan bebas melakukan yang mereka inginkan. Tapi, orangtua hanya menuntut
anak merapikan kamar tanpa mengajarkan bagaimana cara merapikannya. Dan ketika
orangtua mendapati kamar berantakan mereka menghukum dengan cara memarahi anak.
Dalam kasus ini, anak tidak akan merasa bahagia dan dicintai walau mendapat
fasilitas dari orang tuanya.
2)
Tidak mengontrol ucapan
Orangtua
sering banyak bicara dalam memerintah anak. Akan tetapi, kemampuan anak dalam
menerima pesan cukup terbatas. Mereka hanya bisa menerima pesan pendek,
selebihnya pesan orangtua justru terabaikan. Orangtua lebih baik menahan ucapan
mereka yang hanya terbuang sia-sia.
3)
Banyak mengkritik bukan
mendukung
Percayalah,
anak akan lebih merasa bahagia ketika mereka menerima dukungan dari orangtua,
bukan mengkritik. Sebab anak belum memahami apa arti kritikan seperti orang dewasa mengartikannya.
4)
Tidak melibatkan anak
Alih-alih
orang tua tidak ingin pekerjaan membereskan rumah mereka menjadi kacau karena
keterlibatan anak, maka orangtua melarang anak ikut membantu. Seharusnya gunakan
hati nurani mereka sebagai orangtua dan mengalah demi anak. Biarkan anak ikut
serta membereskan rumah walaupun pekerjaan menjadi kacau atau memakan waktu
lebih lama. Jangan biarkan anak merasa kecewa dan merasa tidak dicintai karena
sikap orangtuanya.
Jauh
sebelum Prof Dr Muhammad Nuh mengungkapkan gagasan untuk melahirkan generasi
emas, telah ada gagasan kea rah itu. Pemerintah, masyarakat dan stake-holder (pengambil kebijakan)
merancang program sekolah unggulan, sekolah model, sekolah percontohan, sekolah
perintis. Dan masyarakat menyerbu sekolah berlabel.
Putra
putri mereka memang tekun belajar dalam menuntut ilmu agar menjadi generasi
emas. Terkesan mereka semua ingin menjadi intelektual dengan melahap semua
pelajaran yang terlibat dalam UN- Ujian Nasional seperti. Skor UN harus tinggi
agar bisa menyerbu jurusan favorite ddi Universitas bergengsi agar nanti bisa
hidup senang dan kaya raya.
Impian
yang begitu praktis hanya dengan sekedar mengejar skor UN yang tinggi, kapan
perlu dikebut dengan metode belajar yang memang hebat di tempat Bimbel eksklusif
yang berharga mahal. Beberapa semester setelah itu memang banyak yang mampu
kuliah di Perguruan Tinggi favorite dan jurusan basah. Namun coba lihat setelah
itu setelah mereka menjasi sarjana, apa memang mereka sukses, mendapat pekerjaan
seperti yang mereka impikan dan menjadi kaya raya sementara mereka sendiri
miskin dengan life skill dan
makna menjalani kehidupan yang semestinya.
Pendidikan
unggul yang buat sementara dengan tujuan menciptakan generasi emas adalah dengan
favoritekan nilai akademik, menganggap mata pelajaran UN itu adalah raja dan
segala- galanya. Fenomena begitu bertolak belakang dengan apa yang terjadi pada
fenomena industry olah raga di Eropa dan industry music di Korea Selatan.
Saat
anak-anak kita belajar dan hidup hanya sekedar membahas pelajaran UN, dan masa
bodoh dengan hal lain, termasuk juga tidak begitu mengidolakan mata pelajaran
olah raga, sehingga tubuh mereka jauh dari kesan atletik dan tidak menyukai
pelajaran kesenian, tidak tahu bermain music kecuali memuja-muja produk music
orang.
“Ya
memang benar bahwa Generasi Emas kita adalah penggemar music bangsa lain,
terutama K-Pop, dan juga penggagum berat prestasi sepak bola bangsa
Eropa”.
Di
Eropa dan juga di Korea Selatan, mata pelajaran UN bagi kita seperti Matematika
fdan mata pelajaran Sains, atau mata pelajaran social yang diunggulkan sudah
dianggap biasa-biasa saja. Mereka, terutama pemerintah, selalu mendorong untuk
membentuk event Olah Raga dan Seni: lagu dan music, sehingga berkembang dan
sangat bergairah. Kini prestasi Olah Raga Eropa, dengan munculnya klub-klub bola
bergengsi, dan kebijakan pemerintah Korea Selatan untuk menjadi seni menjadi
industry telah menghasilkan industry sepak bola dan music Korea Pop yang sangat
menggoncang dunia. Sehingga Generasi Emas juga ikut ikutan mengagumi dan
mengidolaka mereka. Malah merasa malu dan gengsi dengan seni dan olah raga yang
ada di negara mereka sendiri.
Liga-liga
sepakbola Eropa selalu menjadi daya tarik bagi pesepak bola dari berbagai
belahan dunia (https://mercusuarku.wordpress.com), karena menjanjikan kebesaran
nama dan tentunya penghasilan yang bisa melimpah ruah. Seorang bintang bahkan
dapat mencapai nilai transfer trilyunan rupiah. Ya, sepakbola telah menjadi
sebuah industri hiburan – dan menempatkan para pemain bintang menjadi
selebritis. Keberhasilan Eropa membuat sepakbola menjadi ladang uang mengubah
wajah cabang olah raga ini di seluruh dunia. Bagaimana dengan Indonesia?
Kita
mungkin termasuk orang yang pesimis dengan perkembangan sepakbola nasional kita
sendiri. Bayangkan, bangsa sebesar ini, dengan kesebelasan nasional dan team
lokal yang pernah sanggup berbicara di pentas Asia (paling tidak), sekarang
berada di titik nadir yang memilukan. Pemain asing yang didatangkan memang
meramaikan persepakbolaan nasional – sebagai industri hiburan – namun tak
kunjung mengangkat potensi pemain lokal menjadi kompetensi. Buktinya, dalam
segala event internasional belakangan ini, team Indonesia selalu terpuruk.
“Karena
mental berlatih dan bekerja keras dan juga semangat otodidak para atlit dan
generasi muda memang sangat lemah. Pemerintah dan masyarakat mengagung-agungkan
nilai akademik putra-putri mereka dan hanya berbasabasi saja untuk melahirkan
pelajar untuk menjadi atlit kelas dunia, karena nilai otot/ keterampilan gerak
otot masih dianggap sebagai prioritas kelas dua.
APA
YANG HILANG dari pemain sepakbola kita? Kecerdasan, motivasi, nasionalisme,
atau apa? Kenapa
mereka sepertinya tidak malu selalu kalah? Hingga bisa ditebak – kalau tidak ada
berita di televisi berarti kalah, tapi kalau menang pasti heboh. Atlit-atlit
kita di masa lalu tidak diguyur dengan nilai gaji yang menggiurkan, tetapi
dinding mereka kaya dengan medali, piagam penghargaan, dan foto kejuaraan.
Bagaimana dengan atlit Indonesia sekarang?
Barangkali
remaja Korea Selatan, tidak tergila gila lagi dengan mata pelajaran sains-
tetapi dengan mata pelajaran kesenian: nyanyi dan usik karena pemerintah mereka mendorong dan
memberi reward muncul industri seni: nyanyi dan usik K-Pop yang menggoncang dunia (http://korgpa5.blogspot.com/2013/10/anak-muda-lebih-suka-budaya-korea.html).
Perkembangan
musik K-POP ke dunia In ternasional jelas sangat berpengaruh terhadap segala
aspek permusikannya. Mulai dari jenis musiknya, packaging nya, gaya dance
membawakannya dan masih banyak lagi. Demam K-Pop sepertinya mampu membuat banyak
remaja Indonesia Ingin sekali bisa mengenal artis Korea idolanya lebih dekat
lagi. Tak heran jika di Indonesia sendiri kita menemukan para K-Popers gemar
meniru apapun yang sudah menjadi trand mark artis- artis Korea. Entah itu soal
gaya bernyanyi, dance, hingga fashion yang mereka bawakan. Hingga banyak tabloid
remaja yang mengulas soal profil mereka. Uniknya lagi para penggemar K-Pop pun
kerap meniru gaya nge dance dan bernyanyi boyband dan girls band asal Korea
tersebut. Hal ini jelas menunjukkan bahwa perkembangan musik K-POP ke Indonesia
pada khususnya sangat mempengaruhi selera musik bangsa kita
sendiri.
Tentu
saja lewat mencintai budaya music Korea yang berlebihan memberi dampak negate
pada budaya sendiri. Yaitu seperti:
1.
Mengurangi rasa cinta terhadap musik Indonesia.
2.
Musik asli Indonesia lama kelamaan akan hilang.
3.
Membuat pergeseran budaya lokal.
4.
Mayarakat kita khususnya anak muda banyak yang lupa akan identitas diri sebagai
bangsa Indonesia, karena gaya hidupnya cenderung meniru budaya KPOP yang oleh
masyarakat dunia dianggap sebagai kiblat.
5.
Tercampurnya kebudayaan dalam negeri dengan kebudayaan luar, khususnya
permusikan itu sendiri.
Tidak
ada yang salah kalau olah raga Eropa, seperti Sepakbola, dan budaya KPOP dari
Korea juga ikut membuat generasi emas kita juga tergila gila, hingga hampir lupa
atau telah melupakan identitas bangsa mereka sendiri. Kenapa tidak seorang anak
Indonesia akan merasa bangga memakai baju kaos murahan asal di punggung mereka
ada label “Club Sepak Bola Juventus”, dan merasa sangat malu memakai baju kaos
berharga satu juta perak namun ada label “Club Sepakbola
Nusantara”.
Memang
banyak penyebabnya dan tidak dapat kita salahkan kalau “Ternyata Generasi Emas
Itu Suka Meremehkan Tanah Air, Memuja Olah Raga Eropa dan Musik Korea Sangat
Berlebihan. Penyebanya seperti:
1)
Media lokal lebih banyak menayangkan budaya global yang lebih modern dan lebih
menarik tanpa memperdulikan budaya lokal.
2)
Tidak ada pembaharuan pada budaya lokal seperti pengemasan dalam pentas,
sehingga banyak masyarakat yang bosan dengan budayanya sendiri.
3)
Media hanya memperhitungkan bisnis semata demi mendapatkan untung yang besar
tanpa melihat faktor budaya tulent.
4)
Tidak ada kebijakan pemerintah terhadap media baik elektronik maupun non
elektronik berkaitan dengan penayangan budaya lokal itu sendiri.
5)
Dan terakhir, kegasalahan parenting kita dan juga kebijakan pendidikan yang
mendorong generasi muda hanya menomorsatukan nilai akademik, dan memfasilasi
nilai kehidupan social dan life skill sebagai prioritas belakang. Disamping
mental “Man Jadda Wa Jadda
kita semua memang sangat lemah”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar