|
|
Oleh:
Marjohan, M.Pd
Guru SMA 3 Batusangkar- Peraih Predikat Guru Berprestasi Nasional
Kata-kata “smart” sangat diburu oleh banyak orang.
Orang tua ingin anak mereka menjadi smart kid dan bersekolah di smart school. Banyak masyarakat yang
memburu tempat kursus yang punya label “smart”. Kemudian juga muncul istilah smart book dan smart street.
Banyak orang tahu bahwa
kata smart berarti cerdas.
Smart book berarti cerdas
buku, maksudnya kalau di sekolah seorang siswa mampu melahap semua buku teks
dengan tuntas. Apa saja yang dibaca bisa semua masuk ke dalam fikirannya.
Sementara itu, smart street berarti cerdas di
jalanan, maksudnya seorang siswa pintar dalam hidup, tahu menempatkan diri.
Orang yang smart street
adalah orang yang memiliki life
skill.
Anak anak kita yang belajar
di sekolah unggulan, pada umumnya sudah memiliki smart book. Namun suatu kali saya pergi
menemati mereka buat studi tour ke pulau jawa, mereka tersesat dalam mall yang
gede dan tidak tahu bagaima harus keluar buat berkumpul ke dalam yang menunggu
cukup jauh. Mereka cukup kehilangan akal, meski butuh waktu cukup lama buat
membantu mereka. Ini terjadi dalam akibat mereka minim dengat smart street dan bermasalah dalam sepenggal
kehidupan nyata.
Sementara itu teman teman
mereka yang berasal dari sekolah lain yang tidak punya label unggul atau label
smart. Malah mereka sedikit
terkenal nakal, tentu saja kenakalan yang masih bisa diberi tolerasi, saat
terjebak di jalan buntu dan sepenggal masal social. Mereka bisa mencari solusi.
Itu karena mereka memahami jalan atau street, sehingga mereka cukup tahu
dengan smart street.
Indonesia dan Amerika
Serikat adalah dua negara yang cukup berbeda, ibarat berbedanya timur dan barat.
Kedua negara ini berbeda dalam kemajuan system pendidikan, kualitas SDM
masyarakatnya, budayanya, dan banyak hal. Praktek pelaksaan mendidik di sekolah
Amerika juga sangat berbeda dengan sekolah di Indonesia. Saya menulis hal ini
bukan untuk maksud menyanjung Amerika Serikat setinggi langit, dan merendahkan
wibawa Indonesia, negara yang selalu saya cintai.
Di Indonesia semua anak di
dorong buat belajar dan membaca membaca sebanyak mungkin, agar mereka menjadi smart book. Meski dalam urusan
mendidik banyak orang tua sekedar pintar memerintah, menyuruh dan kapan perlu
melarang dan marah- marah, dan berpangku tangan setelah itu. Di sekolah
anak-anak belajar, berkompetisi buat memahami dan melahap isi semua buku teks.
Kapan perlu mereka harus menghafal semua teori, tanpa melewatkan titik dan
koma-nya. Al-hasil penguasaan kognitif atau akademik mereka signifikan cukup
bagus.
Di negara ini banyak anak
yang hanya belajar dan terbelenggu oleh urusan kognitif semata. Meski sudah ada
pemaham kea rah konsep afektif/ sikap dan praktek, tetapi itu hanya sebatas
basa-basi. Maksudnya belum menyentuh dasar keberanian anak.
Urusan akademik memang
selalu nomor satu, dari pagi hingga sekitar jam tiga sore- hingga datanglah usai
jam belajar buat pulang ke rumah. Setelah itu anak- anak pintar dikirim lagi ke
tempat bimbel atau bimbingan belajar. Cukup lama mereka dibelenggu atau
terpenjara dalam kamar akademik. Hingga mereka pulang ke rumah dengan letih dan
lesu menjelang senja tiba. Dan seperti itulah fenomena anak anak unggulan a’la
Indonesia.
Memang belajar pada Bimbel
sudah menjadi sebuah fenomena bagi anak-anak cerdas dan orang tua mereka punya
duit cukup. Bimbel itu sendiri gedungnya sudah bertebaran di mana-mana, malah
sudah dibikn dalam franchise education atau bisnis pendidikan. Bimbel telah
menjamur dan tinggal memilih mana yang terbaik dan cocok menurut
selera.
Antara satu Bimbel dengan
Bimbel yang lain juga ada kompetisi dalam memperebutkan anak anak cerdas. Agar
bisa menjadi menariki maka pemilik bimbel mendesain interior dan eksterior
gedungnya seapik mungkin. Pakai spray pengharum pada ruang cantik penuh AC.
Ruang belajar bimbel dengan tentor yang memiliki pribadi menarik dan performance
anggun, semuanya menjadi belajar dengan mentor pilihan.
Tentor bimbel yang ramah
tamah, bersahabat dan pribadi hangat sering lebih mereka idolakan dari guru-
guru mereka sendiri di sekolah mereka yang kadang kala berwajah sewot dan
berbahasa yang kurang simpatik. Ya ini adalah fenomena, bahwa pribadi tentor dan
proses pembelajaran pada bimbel telah mengalahkan PBM di kelas yang kusam dengan
guru yang nggak bersahabat.
Singkat cerita bahwa untuk
urusan akademik atau kognitif seorang siswa menghabiskan waktu sebanyak 10 jam
per hari. Mereka sangat percaya bahwa pencapaian akademik adalah visi dan tujuan
belajar mereka. Yang mereka yakini adalah kalau mereka mampu memperoleh skor
akademik yang tinggi maka kelak mereka bisa memilih jurusan yang bagus, kuliah
di tempat favorite. Setelah kuliah dan wisuda mereka akan tersenyum karena
bakalan merkarir di tempat yang basah, kapan perlu banjir dengan duit.
Yang mereka telah lihat dan
ditayangi video bahwa bagi yang memiliki skor akademik, bakalan di jurusan
terbaik dan universitas favorite. Pada akhirnya rententan karir- karir cemerlang
sudah menunggu. Ini memang adalah motivasi terbaik buat menggenjot minat
belajar.
Orang tua di rumah juga
sudah memahami bahwa anak perlu belajar kuat dan bersemangat untuk meraih skor
dan rangking setinggi langit. Anak perlu memiliki prestasi akademik yang bagus.
Jadinya anak-anak musti bisa belajar di sekolah favorite. Orang tua memilihkan
sekolah berlabel unggul buat mereka. Mereka menyerbu sekolah berlabel unggul,
sekolah model, sekolah perintis, sekolah percontohan, sekolah multi-talenta,
dll.
Memang bangsa kita dan
apalagi anak anak muda senang dengan merek atau label. Mereka selalu mencari
pakaian mereka, sebagai contoh. Sehelai baju kaos berharga 50 ribu perak yang ada merek “Foot Ball Europe” lebih
dikagumi dan diminati dari pada sehelai baju kaos berharga “satu juta perak”
namu pada punggungnya ada tulisan “Club Sepak Bola Bintang Kecil”.
Seorang family yang baru
pulang dari Amerika Serikat, setelah mengikuti program pertukaran pelajar, YES-
Youth Exchange Program” tindak henti henti berbagi cerita dan pengalaman menarik
tentang way of life mereka dan way of life kita. Ia mengatakan bahwa program
pembelajaran di sekolahnya di Colorado cukup berbeda dari sekolahnya yang di
Bukittinggi.
Banyak
teman-temannya yang sekolah di Bukittinggi, juga siswa-siswa di Indonesia secara umum, pada terlalu sibuk
dengan urusan akademik. Semua anak pada bersitungkin untuk melahap rumus- rumus
pelajaran. Pagi hingga awal sore belajar di sekolah dan dari sore hingga malam
belajar lagi di bimbel. Pulang sekolah dan pulang bimbel membuat badan sudah
tersa capek dan pengen tidur saja atau nonton saja lagi, dan mana ada waktu lagi
buat menolong mama di rumah.
Badan
mereka lesu karena asupan gizi yang salah dan tidak berimbang. Pada umumnya anak
anak kita telah merasa sebagai warga modern dengan mengkonsumsi jajanan cepat
saji, makanan dan minuman yang kaya dengan racun- racun kimia. Kemudian
kebiasaan mengkonsumsi minuman langsung dari show-case, minumah dalam labelmewah
namun tidak menjanjinkan kesan ikut mendorong anak berperilaku hidup tidak sehat
dan mengadoppsi life style mewah. Pokoknya asupan gizi yang kurang hewat membuat
mereka juga kurang sehat. Mana mungkin tubuh dan fikiran terasa bisa jadi segar
dan bugar dengan life style seperti itu.
“Ya
demikianlan realita cara belajar dan gaya hidup mereka. Gaya hidup yang hanya
belajar buat menggapai cerdas akademik setinggi mungkin semata”
Di
negara Paman Sam sana, dikatakan bahwa bahwa anak-anak belajar secara alami
saja, tidak begitu demam bimbel betul. Tempat bimbel itu tetap ada. Belajar di
sekolah saja itu mereka rasa sudah cukup. Mereka tidak perlu lagi pergi harus
ikut bimbel.
Guru-
guru mereka di sekolah sudah cukup professional. Penampilan menarik, pribadi
hangat, sangat menguasai bidang studi dan tahu cara menyajikannya dengan cara
kreatif dan menyenangkan. Ruangan kelas dan lingkungan sekolah penuh dengan
iklim layanan prima: look smile,
greed, serve, and thank. Bisa jadi guru-guru di kelas Amerika sebagus
kualitas guru-guru bimbel kita, atau malah lebih lagi.
“Ya
betul bahwa di sana kami tidak perlu pergi bimbel lagi. Dan bimbel memang ada,
tapi hanya dikunjungi bagi yang betul- betul memerlukan layanan”.
Kebiasaan
di sana, usai sekolah mereka pulang dan selanjutnya pergi untuk menekuni hobi
mereka. Bagi yang gemar berolah raga akan pergi ke lapangan, ada yang main
badminton, menunggang kuda, main base ball, main cricket, hingga main karate.
Mereka menekuninya bersungguh- sungguh- sangat menikmati hobinya. Sehingga pada
akhirnya banyak yang menjadi atlit nasional atau internasional
beneran”.
Bagi
yang gemar pada midang music dan seni, mereka pada menyerbu theater. Ada yang
mendalami music jazz, music pop, biola, key board, mendalami ballet hingga seni
lainnya. Mereka juga menekuni hobi ini hingga pada akhirnya- saat tumbuh
dewasa- mereka bisa berkarir
pada bidang ini. Menjadi pemain biola, music, dan theter professional.
Bagaimana
dengan urusan akademik ? Ya mereka juga selalu memahami dan menekuni. Walau
mereka pada umumnya tidak beragama Islam, namun mereka berbuat sesuai dengan
konsep agama kita “man jadda wa jadda- barang siapa yang bersungguh akan
berhasil”.
“Sekali
lagi bahwa kualitas PBM di kelas di sekolah Amerika sebagus kualitas bimbel di
kelas bimbel terbaik di negara kita, atau lebih baik lagi”.
Orang
tua juga punya peran penting dalam mendukung sukses kehidupan seorang anak.
Orang tua di negara kita memahami bahwa setiap anak perlu memahami dan menguasai
akademik. Mereka sangat bersimpati dengan anak mereka yang telah menghabiskan
waktu di sekolah dan di tempat bimbel agar bisa memperoleh skor akademik yang
tinggi dan kelak kuliah di tempat yang favorite (?). Setelah itu seperti ilustrasi yang mereka
peroleh bahwa karir cemerlang datang dengan mudah.
Makanya
orang tua bersimpati bahwa anak- anak mereka sudah cukup lelah oleh urusan
akademik dan mereka tidak mau mengganggu anak lagi. Anak tidak perlu lagi ikut
cuci piring, cuci motor, merapikan ruang rumah, juga tidak perlu terlibat dalam
kegiatan social di lingkungan tetangga.
Karena
anak sudah begitu lelah, mereka perlu dibantu dan dilayani. Kalau perlu anak
harus dimanjakan. Ada kesan bahwa pendidikan di rumah sekarang bahwa anak tidak
perlu lagi dilibatkan. Jadinya anak tidak kenal dengan pengalaman memasak,
mencuci malah juga tidak tahu bagaimana orang tua mereka berbisnis.
Kasihan
anak sudah letih, dan akhirnya anak memilih untuk bersenang- senang, bersantai,
sibuk dengan gadget, terbenam dengan game online atau hanyut dengan facebook,
twitter, bbm, dan media social lainnya. Karena sudah terlanjur suka dengan
aktifitas sendiri, tidak melebur dengan tetangga atau lingkungan social maka
lahir ribuan generasi yang kurang peduli dengan social.
Kita
mendidik dengan salah konsep, anak korban tekhnologi dan hiburan, hingga
rumah-rumah dan sekolah kita yang menciptakan anak yang hanya cerdas akademik
namun buta dengan lingkungan- tidak punya life skill- kurang mampu dalam
mengurus diri. Pendidikan kita telah menciptakan anak- anak yang sekedar “rancak
di labuah” yang sekedar cakep
pada penampilan, smart book but
poor life skill.
Hal
yang berbeda dengan orang tua di Amerika- bukan bermaksud untuk memuji bangsa
Amerika- mereka adalah orang tua yang memahami konsep parenting. Perkawinan di sana punya
sarat bahwa semua calon pengantin sebelum menikah musti mengikuti kursus
parenting- bagaimana menjadi orang tua yang ideal. Orang tua yang bertanggung
jawab dalam mendidik dan menumbuhkan anak- anak yang berkualitas.
Hampir
semua orang tua di sana tahu dengan peran mereka. Orang tua sebagai educator,
dan guru di sekolah sebagai teacher. Educator berarti pendidik dan teacher
berarti pengajar. Orang tua sebagai educator akan menumbuh kembangkan prilaku
dan tanggung jawab anak. Individu yang baik adalah individu yang tahu dengan
tanggung jawab mereka.
Al-hasil
setiap anggota keluarga tahu dengan job description (pembagian tugas)
mereka. Setiap orang di rumah punya tugas dan tanggung jawab masing- masing.
Ayah dan ibu ikut melibatkan anak dalam aktifitas di rumah dan mendorong anak
untuk juga aktif dalam social. Hingga sekolah dan rumah- rumah di Amerika
menciptakan anak-anak yang smart
book and smart street.
Anak-
anak di Indonesia berlomba-lomba buat belajar smart agar kelak mampu menuju perguruan
tinggi terbaik. Mereka sudah terbiasa dengan belajar dan belajar demi kualitas
akademik- hingga mereka menjadi smart book, dan itu juga sangat penting.
Namun proses kehidupan membuat mereka menjadi miskin dengan smart street atau life skill.
Karena
memiliki skor akademik yang bagus, pada akhirnya mereka mampu menerobos
perguruan tinggi terbaik. Mereka kemudian mengikuti proses perkualiahan hingga
tamat dan wisuda. Namun semua universitas tidak memberikan sebuah jabatan dan
pekerjaan yang basah buat mereka sebagai sarjana baru, kecuali hanya memberikan
selembar janji dalam bentuk ijazah dan transkrip nilai.
Selepas
itu bagi sarjana yang miskin smart street dan tidak punya life skill akan
dilanda oleh ketidak berdayaan dan kegalauan akademik. Mereka berusaha bertahan
buat menunggu datangnya “job-
fair” tahun berikutnya atau mengirim lamaran demi lamaran ke daerah yang
jauh darim kampung halaman. Mau pulang kampung ahhhhh enggan. Biarlah dulu
menghabiskan masa hingga usia merangkak tua.
Anak-
anak di sekolah sana, saat masih di level SLTA telah punya pilihan karir yang
jelas. Pembinaan dan pilihan karir mereka sangat jelas. Jadi mereka memilih
perguruan tinggi tidak secara menerabas atau hantam kromo. Memilih jurusan dan
perguruan tinggi bukan sekedar ikut-ikutan atau gengsi- gengsian. Di sana tidak
ada fenomena memfavoritekan suatu jurusan dan perguruan tinggi secara
berlebihan.
Proses
belajar di sekolah dan perkuliahan di Perguruan Tinggi telah menggiring anak-
anak untuk menjadi smart
book dan smart street. Kemudian semua orang yang
mengerti dengan konsep parenting juga telah menjadi guru terbaik bagi anak- anak
mereka, hingga juga ikut mendorong mereka menjadi generasi yang cerdas dengan
buku, cerdas di lapangan, berani, punya nyali dan punya rasa tanggung jawab.
Kualitas
pendidikan kita di tanah air, apakah di sekolah berlabel unggul, apalagi di
sekolah biasa- biasa saja mendidik anak menjadi cerdas. Namun cerdas mereka
mungkin baru sebatas cerdas di tingkat sekolah, tingkat, kecamatan, atau kota.
Hanya segelitir saja yang cedas berkualitas propinsi apa lagi cerdas di level
nasional. Sementara pendidikan di sana, juga di negara maju lainnya, seperti di
Singapura, Jepang, Eropa, anak- anak belajar untuk menjadi generasi cerdas
tingkat nasional, dan kapan perlu cerdas untuk tingkat internasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar