Oleh: Y. Nugroho Widiyanto,
Kandidat Doktor Ohio State University, Dosen FKIP Unika Widya Mandala Surabaya
Kandidat Doktor Ohio State University, Dosen FKIP Unika Widya Mandala Surabaya
Rezim ujian standar pendidikan secara
nasional, secara singkat kita sebut UN, sudah berkuasa dalam beberapa dekade di
Indonesia. Menteri datang dan pergi silih berganti, kurikulum berubah dari
bandul satu ke bandul yang lain, tetapi semua takluk pada rezim ini.
Rezim UN sangat berpengaruh dalam mengatur
mobilitas sosial dan ekonomi para siswa dari berbagai jenjang. Tak mengherankan,
kesakrakalannya harus dijaga sebagai “Rahasia Negara”, diinapkan di kantor
polisi sebelum diberikan kepada siswa, bahkan Densus Anti Teror pun ikut
terlibat mengawalnya.
Namun, sebuah rezim yang begitu berkuasa
tiba-tiba runtuh terkulai di tangan pemerintahan baru yang menyatakan UN bukan
satu-satunya alat menentukan kelulusan siswa, melainkan sarana pemetaan untuk
membantu menyusun kebijakan. Reaksi beragam pun mulai muncul.
Seorang kepala sekolah mengeluhkan anak
didiknya yang tidak lagi bersemangat belajar untuk mempersiapkan diri menghadapi
UN (Kompas, 26 Januari 2015). Para kepala daerah kehilangan “mainan” untuk
membuktikan kepada publik keberhasilan program pendidikan mereka. Para guru
kebingungan bagaimana membuat siswa mereka disiplin sampai ada oknum yang
bertindak ekstrem dengan menghukum siswanya hingga meninggal hanya karena tak
mengerjakan pekerjaan rumah. Saat tawuran pelajar kembali merebak dan melibatkan
siswa-siswa senior, ketiadaan UN pun dijadikan sebagai kambing hitam.
|
|
Jati diri
sekolah
Inilah situasi masyarakat yang disebut
sosiolog terkemuka, Emile Dukheim (1897), sebagai situasi ‘anomie’, di mana
tatanan baru belum terbentuk dengan sempurna dan banyak pihak yang menginginkan
kembali pada tatanan lama dengan iming-iming “Enak jamanku tho, le?” (Lebih enak
di zaman saya kan, Nak?) Dalam situasi yang masih galau inilah, perlu keteguhan
hati dari segenap jajaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengantar
segenap pemangku kepentingan dunia pendidikan dalam visi yang sama.
Filsuf Driyarkara (1950) dengan lugas
menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia muda. Sekolah
sebagai salah satu lembaga pendidikan memiliki peran yang sama dengan institusi
sosial lain seperti keluarga, kelompok agama, dan kelompok masyarakat, dalam
membentuk para manusia muda ini sehingga menjadi manusia yang utuh.
Untuk jadi manusia yang utuh, para siswa
ini terlibat dalam proses pembelajaran bersama dengan para guru mereka, baik
sebagai mentor ataupun fasilitator. Namun, rezim UN sudah mereduksi sekolah jadi
tempat persiapan ujian, yang secara substansif tidak berbeda dengan sejumlah
lembaga bimbingan belajar yang selalu tumbuh bak jamur di musim hujan menjelang
UN atau ujian standar lain.
Rezim UN sudah membuat para manusia muda
ini hanya dihargai sebatas nilai-nilai kuantatif semata. Sungguh sebuah
degradasi eksistensi yang begitu rendah atas diri manusia-manusia muda ini.
Padahal, dalam dunia nyata, seorang Rudi Hartono yang juara badminton; Rudy
Hadisuwarno yang penata rambut atau Rudi Salam yang aktor tidak lebih rendah
kemanusiwiannya bahkan kecerdasannya dibandingkan dengan Rudi Habibie yang bisa
merancang pesawat.
Membandingkan para “Rudi” muda ini dalam
sebuah penggaris yang sama jelas bukan merupakan tujuan membangun sekolah.
Apalagi, rezim UN sudah mengabaikan keanekaragaman situasi sosial ekonomi di
Indonesia dengan memakai Jawa perkotaan sebagai standar yang harus diikuti semua
wilayah di Indonesia. Karena itu, penghilangan kekuasaan UN sebagai penentu
kelulusan siswa jelas mengembalikan sekolah pada jati diri
sesungguhnya.
Seiring pudarnya kekuasaan rezim UN, peran
guru jadi sangat penting dalam memanusiakan para manusia muda ini. Pada APBN
tahun ini saja, pemerintah dan DPR sudah menggelontorkan dana lebih dari Rp 60
triliun hanya untuk menambah tebal dompet para guru lewat dana sertifikasi guru
sehingga bisa fokus untuk membimbing anak didik mereka. Kebijakan ini harus
dibalas oleh para guru dengan menunjukkan kinerja yang semakin
profesional.
Guru dan
multi-kecerdasan
Runtuhnya rezim UN harus disambut gembira
para guru bidang studi yang selama ini disepelekan siswa karena tidak masuk
dalam materi UN, seperti Pendidikan Seni dan Pendidikan Jasmani. Pada masa rezim
UN masih berkuasa, pemerintah begitu giat “membuktikan” keberhasilan pendidikan
kita dengan mengirimkan para siswa pilihan untuk mengikuti berbagai olimpiade
Matematika dan Sains tingkat internasional.
Akan tetapi, usaha ini tidak lengkap dan
cenderung mengistimewakan guru dan mata pelajaran Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam. Padahal, pandangan sempit ini sudah ditentang oleh pemikiran
Howard Gardner (1983) tentang multiple intelligences yang menguraikan bahwa
kecerdasan manusia tidak hanya ditentukan oleh IQ yang mendasarkan dari logika
matematika dan bahasa, tetapi juga meliputi segenap aspek kemanusiaan yang lain,
seperti kecerdasan kinestetik tubuh, musik, ruang-visual, alam, interpersonal,
dan intrapersonal.
Dengan pemahaman multiple intelligence
ini, para siswa, guru, dan orangtua akan menyambut datangnya hari konser atau
invitasi olahraga sekolah seperti mereka mempersiapkan UN. Untuk itu, para siswa
akan bergairah mengasah kecerdasan musik mereka dalam paduan suara, band maupun
orkes simfoni. Demikian juga dalam bidang olahraga, para siswa melatih diri
mengembangkan kecerdasan kinektetik tubuh saat mengocek bola atau mengayunkan
raket badminton.
Saat hari konser atau pertandingan tiba,
mereka semua memang merasakan kekhawatiran, apakah para siswa itu akan tampil
dengan prima seperti yang selama ini dilatihkan, tetapi ada kegembiraan saat
melihat para tunas-tunas muda ini tampil memainkan alat musik dengan percaya
diri atau bersalaman dengan satria saat timnya belum meraih kemenangan. Inilah
perwujudan revolusi mental yang tidak harus disampaikan dengan kata-kata sampai
berbusa-busa.
Runtuhnya rezim UN juga memberi kesempatan
pada para guru-guru bahasa dan ilmu sosial dalam mempertinggi daya
intelektualitas anak dalam hierarki pemikiran yang tinggi, seperti melakukan
analisis, sintesis, dan berpikir kritis. Rezim UN jelas tak akan mampu mengolah
hal ini mengingat hanya ada satu jawaban benar dari soal pilihan ganda, padahal
dalam hidup tiada jawaban tunggal atas persoalan kemanusiaan.
Hilangnya pengaruh UN juga bukan musibah
untuk para guru matematika dan ilmu alam, tapi justru memperkaya pengajaran
mereka selama ini. Dalam pengamatan penulis terhadap para siswa Indonesia
jenjang pendidikan menengah dan dasar yang mendapat kesempatan pendidikan di
Amerika, mereka tampak sangat hafal dengan rumus dan bisa menyelesaikan soal
hitungan dengan lebih cepat dibanding rekan sejawatnya. Akan tetapi saat mereka
harus mengaplikasikan rumus tersebut dalam soal seperti dalam kehidupan
sehari-hari, mereka gagap.
Dengan kesadaran akan multiple
intelligence ini, para pemangku kepentingan pendidikan di Indonesia hendaknya
mulai melihat bahwa patahnya sayap UN bukanlah malapetaka. Justru runtuhnya
kemahakuasaan UN ini akan membawa perspektif baru yang semakin luas bagi siswa,
guru, orangtua dan segenap masyarakat bahwa kemajuan bangsa di masa depan akan
kian cerah. ***
[ Sumber : Harian Kompas, 2 April 2015 ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar