|
|
Oleh: Dr. Adian Husaini
Sementara itu, pemikir Kristen Harvey Cox, dalam buku terkenalnya, The Secular City, menyebutkan definisi sekularisasi adalah: “pembebasan manusia dari asuhan agama dan metafisika, pengalihan perhatiannya dari ‘dunia lain’ menuju dunia kini. (Secularization is the liberation of man from religious and metaphysical tutelage, the turning of his attention away from other worlds and towards this one).
Penulis adalah Ketua Program Magister dan Doktor Pendidikan
Islam—Universitas Ibn Khaldun Bogor. Catatan Akhir Pekan (CAP) hasil
kerjasama Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com
Dalam bukunya, Islam and Secularism (terbit pertama tahun
1978), pakar pemikiran Islam Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas,
menyebut tiga komponen proses sekularisasi dalam pemikiran manusia,
yaitu: (1) disenchantment of nature (pengosongan alam dari semua makna spiritual); (2) desacralization of politics (desakralisasi politik); dan (3) deconsecration of values (pengosongan nilai-nilai agama dari kehidupan).
Sementara itu, pemikir Kristen Harvey Cox, dalam buku terkenalnya, The Secular City, menyebutkan definisi sekularisasi adalah: “pembebasan manusia dari asuhan agama dan metafisika, pengalihan perhatiannya dari ‘dunia lain’ menuju dunia kini. (Secularization is the liberation of man from religious and metaphysical tutelage, the turning of his attention away from other worlds and towards this one).
Menyimak kedua definisi itu, pada intinya, sekularisasi adalah
proses pengosongan pemikiran manusia dari nilai-nilai spiritual dan
nilai-nilai agama. Dengan makna seperi itu, sekularisasi jelas
bertentangan dengan tujuan Pendidikan Nasional Indonesia, sebagaimana
ditegaskan dalam UU No 20 tahun 2003: “Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.”
Dalam UU No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi juga disebutkan
tentang tujuan Pendidikan Tinggi di Indonesia, yaitu: (a).
berkembangnya potensi Mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada TuhanYang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat,
berilmu,cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk
kepentingan bangsa.
Itulah tujuan Pendidikan Nasional. Maka, tidak aneh dan sudah
sepatutnya, jika Kurikulum 2013 sangat menekankan kompetensi inti pada
penghayatan dan pengamalan ajaran agama para murid sekolah/universitas.
Kita perlu memberikan apresiasi positif terhadap niat pemerintah dalam
menyusun Kurikulum 2013, karena menempatkan agama sebagai hal yang
penting dalam dunia pendidikan nasional.
Hanya saja, setelah mencermati sejumlah buku ajar dari Kurikulum
2013 yang digunakan di berbagai sekolah, kita menemukan masih dominannya
pengajaran paham sekularisme, yang secara terang-terangan membuang
ajaran Islam dan mempromosikan paham-paham materialisme, positivisme,
relativisme, dan pluralisme. Bahkan, secara tegas dan sistematis, ada
buku ajar yang menyingkirkan Islam dan ajaran-ajarannya.
Sebagai contoh, dalam buku ajar “Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan” untuk SMP-MTs Kelas VII, jilid 1 (2013), disebutkan,
bahwa kompetensi inti pelajaran ini adalah: “Menghargai dan menghayati
ajaran agama yang dianutnya.” Sedangkan kompetensi dasarnya adalah:
“Menghargai perilaku beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME dan berakhlak
mulia dalam kehidupan di sekolah dan masyarakat.”
Anehnya, buku ini dibuka dengan bab “Sejarah Perumusan Pancasila”
yang menyebutkan, bahwa nilai-nilai Pancasila sudah dirumuskan jauh
sebelum dimulainya Zaman Sriwijaya/Majapahit, zaman Penjajahan Barat,
zaman Jepang, hingga zaman Kemerdekaan. Sama sekali buku ini tidak
menyebutkan adanya unsur Islam dalam perumusan Pancasila. Padahal, jelas
sekali dalam Pembukaan UUD 1945, ada kata ‘Allah’ yang merupakan nama
Tuhan resmi dalam Islam. Sejumlah istilah kunci Islam juga menjadi
bagian dari Pancasila, seperti kata ‘adil’, ‘adab’, ‘hikmah’, dan
‘musyawarah’. Istilah-istilah itu tidak ditemukan di wilayah Nusantara
sebelum masuknya Islam ke wilayah ini yang utamanya di bawa oleh para
ulama dari kawasan Jazirah Arab.
Disebutkan juga dalam buku ini kisah tentang dihapuskannya tujuh
kata dari sila pertama Pancasila, yaitu “dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Hanya saja, buku ini tidak
menyebutkan tentang adanya kesepakatan antara Bung Hatta dengan
tokoh-tokoh Islam ketika itu, bahwa makna Ketuhanan Yang Maha Esa adalah
“Tauhid” dalam pengertian Islam.
Guru besar Ilmu hukum Universitas Indonesia, Prof. Hazairin, dalam
bukunya, Demokrasi Pancasila, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990, cet.ke-6),
menulis: “bahwa yang dimaksud dengan Tuhan Yang Maha Esa itu ialah
Allah, dengan konsekuensi (akibat mutlak) bahwa “Ketuhanan Yang Maha
Esa” berarti pengakuan “Kekuasaan Allah” atau “Kedaulatan Allah”. (hal.
31). “Negara RI, wajib menjalankan syariat Islam bagi orang Islam,
syariat Nasrani bagi orang Nasrani dan syariat Hindu Bali bagi orang
Bali, sekedar menjalankan syariat tersebut memerlukan perantaraan
kekuasaan Negara.” (hal. 34).
Argumentasi Prof Hazairin tersebut sangat masuk akal. Sebab, dalam
ajaran Islam, sekedar pengakuan saja terhadap Allah sebagai satu-satunya
Tuhan belum memenuhi konsep Tauhid yang sempurna. Iblis pun telah
mengakui Allah sebagai Tuhannya, tetapi dalam al-Quran, Iblis disebut
kafir (abaa wastakbara wa-kaana minal kaafirin). Seorang Muslim yang
baik tentulah tidak mau jika statusnya sama dengan Iblis, yakni hanya
mengakui keberadaan Tuhan Yang Maha Esa tetapi membangkang terhadap
aturan-aturan Allah Subhanahu Wata’ala.
Pemahaman sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai konsep Tauhid
ditegaskan dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama
di Situbondo, Jawa Timur, 16 Rabiulawwal 1404 H/21 Desember 1983
menetapkan sejumlah keputusan, diantaranya: (1) Sila “Ketuhanan Yang
Maha Esa” sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1
Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila yang lain,
mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam. (2) Bagi
Nahdlatul Ulama (NU) Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek
hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antarmanusia.(3) Penerimaan
dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dan upaya umat Islam
Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya. (Lihat, pengantar K.H. A.
Mustofa Bisri berjudul “Pancasila Kembali” untuk buku As’ad Said Ali,
Negara Pancasila, Jalan Kemaslahatan Berbangsa, (Jakarta: LP3ES, 2009).
Dalam ceramahnya sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia pada
pertemuan dengan Wanhankamnas, 25 Agustus 1976, Prof. Hamka menjelaskan
tentang makna Ketuhanan Yang Maha Esa: “Jadi, Ketuhanan Yang Maha Esa di
pasal 29 itu bukanlah Tuhan yang lain, melainkan Allah! Tidak mungkin
bertentangan dan berkacau di antara Preambul dengan materi
undang-undang.” (Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945,
hal. 224).
Jadi, bisa disimpulkan, buku Pendidikan Pencasila dan
Kewarganegaraan tersebut jelas-jelas telah berusaha menjauhkan
murid-murid Muslim dari agamanya, karena Pancasila hanya dipahami dalam
perspektif sekular yang dijauhkan dari nilai keislaman. Materi ajar
seperti ini pada ujungnya akan mempertentangkan antara Islam dan
Pancasila, sebab Pancasila ditempatkan sebagai satu pandangan hidup dan
pedoman amal tersendiri, yang ditempatkan sebagai tandingan bagi
pandangan hidup Islam. Akhirnya anak didik diarahkan menjadi sekular;
didorong untuk membuang ajaran agamanya ketika menerima pelajaran
Pancasila dan kewarganegaraan. Minimal, anak didik dipaksa bersikap
mendua atau munafik; pura-pura menerima ajaran Pancasila yang sekular,
sementara ia pun harus menerima pandangan hidup Islam.
Contoh lain dari buku ajar yang mendorong anak didik menjadi
sekuler bisa dilihat dalam buku berjudul “Sejarah Indonesia untuk SMA/MA
Kelas X”, yang juga berdasarkan Kurikulum 2013. Buku ini terbitan
sebuah penerbitan terkenal. Pada Bab II, tentang Asal-usul Nenek Moyang
Bangsa Indonesia, disebutkan bahwa Karakter yang dikembangkan dalam
pembahasan ini adalah: “Mensyukuri kebesaran Pencipta dan bertakwa
kepada-Nya. Mempelajari secara ilmiah terjadinya alam semesta
mengarahkan siswa untuk sadar bahwa di balik segala peristiwa sejarah,
Tuhan memiliki maksud dan tujuan yang mulia untuk kita, dan karena itu
mendorong kita untuk berserah hanya kepada-Nya.”
Jadi, karakter yang dituju dalam buku ini sangat baik. Akan tetapi,
anehnya, dalam pembahasan tentang sejarah manusia Indonesia tersebut,
tidak ada sama sekali rujukan wahyu Allah. Semua pembahasan hanya
berlandaskan empirisisme dan rasionalisme. Jelas, di benak penulis buku
ajar ini, ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan tentang penciptaan alam
semesta dan sejarah penciptaan manusia dan juga asal-usul manusia, tidak
dianggap sebagai sumber ilmu, sehingga tidak dimasukkan ke dalam
kategori “ilmiah”.
Di halaman 77, 92, dan 93 ditampilkan lukisan nenek moyang bangsa
Indonesia yang memperlihatkan sebuah keluarga homo erectus yang –
katanya – berumur sekitar 900 tahun yang lalu, dimana mereka dilukiskan
sebagai manusia purba yang mulutnya monyong dan bertelanjang bulat. Pada
bagian rangkuman (hal. 81) dikutip pendapat Charles Darwin (1809-1882)
yang menyatakan, bahwa: “Manusia sekarang adalah bentuk sempurna dari
sisa-sisa kehidupan purbakala yang berkembang dari jenis hominid, bangsa
kera.”
Dikatakan dalam buku ini, bahwa pendekatan agama dan pendekatan
sains (ilmu pengetahuan) dalam upaya memahami realitas alam semesta
adalah berbeda. “Agama berada dalam tingkat eksistensial dan
transendental (soal rasa, soal hati), sedangkan sains berada dalam
tingkat faktual (soal pembuktian empiris). Dengan kata lain, agama dan
sains memiliki otonomi masing-masing. Itu tidak berarti keyakinan
keagamaan tidak rasional. Perasaan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa itu tetap dapat dijelaskan secara rasional. Singkatnya, agama dan
sains (ilmu pengetahuan) tidak perlu dicampuradukkan.” (hal. 81).
Cara pandang terhadap agama dan sains semacam itu jelas-jelas
bersifat sekular. Itu jelas keliru. Cara berpikir semacam ini juga
merupakan dogma yang diyakini oleh ilmuwan sekular. Itu merupakan
kesalahan epistemologis, yang memisahkan panca indera dan akal sebagai
sumber ilmu, dengan khabar shadiq (true report) — dalam hal ini wahyu
Allah — sebagai sumber ilmu. Padahal, dalam konsep keilmuan Islam,
ketiga sumber ilmu itu diakui dan diletakkan pada tempatnya secara
harmonis. Dalam Kitab Aqaid Nasafiah – kitab aqidah tertua yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu – dikatakan bahwa sebab manusia
meraih ilmu ada tiga, yaitu: panca indera, akal, dan khabar shadiq.
Sistem keilmuan sekular dan ateistik tidak mengakui “wahyu” sebagai
sumber ilmu, karena wahyu dianggap sebagai dogma yang tidak ilmiah.
Padahal, pada saat yang sama, ilmuwan sekular itu pun menerima
berita-berita yang dibawa oleh para anthropolog dan ilmuwan ateis, tanpa
proses verifikasi. Mereka menolak berita dari al-Quran, tetapi menerima
berita dan dugaan-dugaan dari Charles Darwin dan sejenisnya. Itu juga
menjadi dogma bagi ilmuwan ateis itu. Darwin ditempatkan sejajar dengan
Nabi.
Teori manusia purba adalah suatu rekaan dari penyusunan tulang
belulang makhluk purba yang kemudian difantasikan ke dalam wujud manusia
purba atau manusia goa (cave man) yang telanjang, mulutnya monyong, dan
hidupnya hanya untuk cari makan sebagaimana layaknya binatang. Cara
pandang ini berangkat dari anggapan bahwa manusia adalah makhluk
“materi” yang merupakan kumpulan tulang dan daging. Ilmuwan-ilmuwan
ateis ini tidak memandang manusia sebagai kesatuan antara jasad dan ruh
(jiwa).
Bahkan, dalam pandangan Islam, unsur terpenting dari manusia adalah
jiwanya. Karena itu, jika mendefinisikan manusia, maka definisi yang
terpenting adalah definisi tentang jiwanya. Teori perkembangan fosil
manusia hanyalah menyentuh aspek jasadiah, yang tidak substansial
sebagai manusia. Suatu makhluk baru disebut manusia jika ia punya jiwa
atau punya akal; tidak masalah apakah jalannya ngesot atau tegak; apakah
mulutnya monyong atau tidak. Jiwa atau akal manusia itu tidak mengalami
evolusi. Dan sumber informasi tentang jiwa atau akal hanyalah dari
wahyu. Karena sains menolak wahyu, maka sains pun akhirnya tidak mampu
memahami manusia secara sempurna.
Ironis, bahwa teori sains yang sekularistik dan ateistik semacam
ini, masih dipaksakan diajarkan kepada anak-anak murid di sekolah. Teori
semacam ini jelas bertentangan dengan konsep keilmuan dan keimanan
dalam Islam yang Tauhidik. Sangat disayangkan, bahwa kurikulum 2013 yang
memiliki tujuan yang baik akhirnya masih juga disusupi dengan paham
sekular yang mendorong manusia untuk membuang agama dari pikiran dan
dari kehidupannya.
Mengadopsi teori evolusi Darwin tentang asal-usul manusia
sebenarnya sangat menghina manusia Indonesia. Karena nenek moyang kita
adalah Nabi, yakni manusia yang paham untuk apa hidup di dunia; yaitu
untuk beribadah kepada Allah SWT (QS 51:56); bukan hanya untuk cari
makan, sebagaimana monyet. Biarlah Darwin dan para pengikutnya saja yang
nenek moyangnya adalah monyet, yang hidupnya hanya untuk cari makan dan
memuaskan syahwat. Sangat tidak beradab memaksakan teori seperti ini
kepada umat beragama di sekolah-sekolah.
Selain kedua buku tersebut, masih ada beberapa contoh buku ajar
yang lain yang mengandung muatan-muatan sekularisme, yang sepatutnya
tidak dipaksakan kepada murid-murid Muslim. Buku-buku ajar semacam ini
sangat bertentangan dengan tujuan Pendidikan Nasional untuk membentuk
manusia yang beriman dan bertaqwa. Semoga pejabat yang berwenang di
Indonesia mau menyadarinya. Terlebih khusus lagi, semoga lembaga
pendidikan Islam memahami dampak buruk dari buku ajar bermuatan paham
ateis dan sekuler. Wallahu a’lam bish-shawab.*/Depok, 6 Juni 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar