Oleh : SILFIA HANANI
(Dosen Sosiologi Pascasarjana Universitas Andalas Padang)
Pramoedya Ananta Toer, dalam Tetralogi Jejak Langkah pada halaman awal setelah daftar isi menulis sebuah kalimat penuh harap dan sangat arif begini “sudah lama aku dengar dan aku baca ada suatu negeri di mana semua orang sama di depan hukum. Tidak seperti di Hindia ini”.
Kalimat itu, bermetamorfosis sampai saat sekarang, hingga belum juga melahirkan sebuah kejujuran dalam lintas kehidupan berbangsa dan bernegara.
Negara masih diperangkap oleh ketidakjujuran, hingga ketidakjujuran itu membuat bangsa ini, tidak sejahtera dibandingkan dengan negara-negara tetangganya. Pada hal, hutannya luas tapi dirampok oleh pemegang ketidakjujuran, sumber daya alam di perut buminya begitu kaya, tetapi dikuasai oleh pemegang ketidak jujuran, begitulah seterusnya ketidak jujuran itu.
Ketidakjujuran itu merambah dan mengendemi kemana-mana.
Tidak saja di ruang pengadilan, penjara dan seterusnya tetapi juga masuk ke dalam lembaga-lembaga berkedaulatan. Di perguruan tinggi misalnya, merayap budaya ketidakjujuran bernama plagiat, bernama joki, bernama beli skripsi, tesis dan disertasi atau sejenisnya. Dimanakah kejujuran itu, tersuruk?
Ketidakjujuran itu, juga dikerjakan berkolektif, berkelompok. Akhirnya, ketidakjujuran itu dibela menjadi sebuah kebenaran. Terkuburlah sebuah kebenaran. Keterkuburan kebenaran itu dirasakan saat sekarang oleh manusia-manusia yang masih menyimpan kejujuran dalam nuraninya, tak terkecuali dirasakan oleh suku Samin di ujung negeri sana, hingga masyarakat suku ini menggelar aksi damai, dengan menulis curahan nurani yang hampir sama dengan apa yang “dicurhatkan” Pramoedya Ananta Toer itu.
Tulisan dalam aksi damai masyarakat Samin itu adalah “Demi Nama Allah Yang Pengasih Yang Penyanyang, Kembalikan Kejujuran ke Indonesia Sebelum Murka-Nya Datang” tulisan itu terpampang di hari Senin (19/3) yang lalu di depan Gedung DPR-RI Jakarta. Dari tulisan yang arif ini, cobalah menginprovisasi pikiran ke belakang, sambil mengenang kejadian demi kejadian, sambil mengingat murka-murka yang datang silih berganti menerjang. Jangan-jangan, bencana yang melanda begitu bertubi-tubi itu adalah sebuah murka Tuhan yang datang karena kejujuran terbelenggu.
Jika, kita menonton Indonesia Lawyer Club (ILC) yang dipandu oleh Karni Ilyas di salah satu stasiun televisi swasta terkemuka di negeri ini, maka betapa belajarnya kita menyimak dengan saksama, celah-celah ketidakjujuran itu diungkai, terakhir pada malam Selasa (20/3) membahas tentang kewajaran kenaikan bahan bakar minyak (BBM), saya terpaku mendengar paparan Kwik Kian Gie, bahwa pada sebuah laporan anggaran negara yang tebal itu, juga ada diselipkan ketidakjujuran. Laporan anggaran itu, dimanipulatif dengan apik, diakal-akali. (lihat tayangannya sbb)
Selanjutnya, di jalan raya pun ketidakjujuran itu kita lihat. Betapa entengnya pengguna jalan raya melanggar rambu-rambu lalu lintas. Hidup serba menerobos, serba ingin menang sendiri itulah salah satu buah lagi dari ketidakjujuran itu. Kita tak terdidik dengan, kejujuran itu lagi. Hari-hari kita sudah tersuguh dengan perilaku yang tidak jujur, sehingga perilaku tidak jujur itu menjadi kebiasaan yang kita biarkan dan terlakukan.
Ketidakjujuran itu menjadi mashur. Buktinya, semakin tak terbendungnya ketidakjujuran itu, lembaga pendidikan terpaksa membangun pendidikan berkarakter. Pendidikan moral, pendidikan nurani, pendidikan budi pekerti, supaya nilai kejujuran itu kita miliki kembali, kita tradisikan kembali, kita hayati kembali.
Di balik semua perilaku ketidakjujuran itu, teringat saya tokoh-tokoh berperilaku jujur. Teringat sudah Hatta, bagi saya. Dalam catatan biografinya terurai sikap-sikap jujur itu. Jujur dalam bertindak, jujur dalam berbuat, jujur dalam berkata. Kejujuran itu pula kiranya yang menuntut ia hidup penuh dengan kesehajaan dan kesederhanaan. Kesederhanaan itu yang pantang oleh orang sekarang. Semuanya berpacu untuk ke puncak, dengan apa pun caranya rela mengalahkan kejujuran. Hatta itu pantang sekali mengalahkan kejujuran dalam hidupnya. Jujur sudah menjadi “pakaiannya”. Bayangkanlah betapa teguhnya kejujuran itu dipeliharanya, hingga akhir hayatnya Hatta tak terbelalak matanya oleh suguhan-suguhan yang bertentang dengan sikap jujur yang dipeliharanya.
Kejujuran itu pula yang membuatnya tidak mau memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya, lihatlah betapa tidak maunya Hatta membuat kenduri anaknya mewah-mewah seperti pejabat-pejabat negara lainnya. Hatta juga tidak meninggalkan warisan-warisan kekayaan layaknya ia sebagai wakil kepala negara pada anak-anaknya, malahan warisan terbanyak ditinggalkan Hatta itu adalah, buku. Bukan tanah, bukan emas, bukan perusahaan dan seterusnya.
Seking begitu jujurnya Hatta oleh penyair Taufiq Ismail, ia menciptakan puisi “Rindu pada Jas Putih dan Pentolan Putih Bung Hatta.”
Saya juga teringat dengan Baharuddin Lopa, jaksa agung teladan dan pendekar hukum. Ia jujur dangan berani dalam menengakkan hukum. Situs tokoh Indonesia.com, menulis tentang Lopa, sebagai berikut.
“Dalam menegakkan hukum dan keadilan, Lopa, jaksa yang hampir tidak pernah merasa takut, kecuali kepada Allah. Ia teladan bagi orang yang berani melawan arus kebobrokan serta pengaruh kapitalisme dan liberalisme dalam hukum...”Lopa pun, begitu jujurnya ia pernah menolak diskon dari pembelian sebuah mobil yang tidak berpatutan dari pengusaha penjual mobil. Ia rela mencicil untuk melunasi mobil yang dikreditnya, tak mau mengambil sesuatu dikarenakan oleh jabatan dan kedudukannya.
Terakhir, pertanyaan mendasar yang harus kita jawab bersama dengan hati yang jernih adalah, mengapa harus jujur? Jawabannya pasti kita tahu bersama, kita sudah faham bersama. Akar ketidakjujuran yang menular itu sudah terbukti dengan nyata yang membuat binasa bangsa ini. Membuat bangsa tercabik-cabik seperti sekarang ini. Ya, bergegaslah kata suku Samin untuk mengembalikan ke jujuran itu ke Indonesia, sebelum murka-Nya datang. [Sumber : http://harianhaluan.com]
(Dosen Sosiologi Pascasarjana Universitas Andalas Padang)
Pramoedya Ananta Toer, dalam Tetralogi Jejak Langkah pada halaman awal setelah daftar isi menulis sebuah kalimat penuh harap dan sangat arif begini “sudah lama aku dengar dan aku baca ada suatu negeri di mana semua orang sama di depan hukum. Tidak seperti di Hindia ini”.
Kalimat itu, bermetamorfosis sampai saat sekarang, hingga belum juga melahirkan sebuah kejujuran dalam lintas kehidupan berbangsa dan bernegara.
Negara masih diperangkap oleh ketidakjujuran, hingga ketidakjujuran itu membuat bangsa ini, tidak sejahtera dibandingkan dengan negara-negara tetangganya. Pada hal, hutannya luas tapi dirampok oleh pemegang ketidakjujuran, sumber daya alam di perut buminya begitu kaya, tetapi dikuasai oleh pemegang ketidak jujuran, begitulah seterusnya ketidak jujuran itu.
Ketidakjujuran itu merambah dan mengendemi kemana-mana.
Tidak saja di ruang pengadilan, penjara dan seterusnya tetapi juga masuk ke dalam lembaga-lembaga berkedaulatan. Di perguruan tinggi misalnya, merayap budaya ketidakjujuran bernama plagiat, bernama joki, bernama beli skripsi, tesis dan disertasi atau sejenisnya. Dimanakah kejujuran itu, tersuruk?
Ketidakjujuran itu, juga dikerjakan berkolektif, berkelompok. Akhirnya, ketidakjujuran itu dibela menjadi sebuah kebenaran. Terkuburlah sebuah kebenaran. Keterkuburan kebenaran itu dirasakan saat sekarang oleh manusia-manusia yang masih menyimpan kejujuran dalam nuraninya, tak terkecuali dirasakan oleh suku Samin di ujung negeri sana, hingga masyarakat suku ini menggelar aksi damai, dengan menulis curahan nurani yang hampir sama dengan apa yang “dicurhatkan” Pramoedya Ananta Toer itu.
Tulisan dalam aksi damai masyarakat Samin itu adalah “Demi Nama Allah Yang Pengasih Yang Penyanyang, Kembalikan Kejujuran ke Indonesia Sebelum Murka-Nya Datang” tulisan itu terpampang di hari Senin (19/3) yang lalu di depan Gedung DPR-RI Jakarta. Dari tulisan yang arif ini, cobalah menginprovisasi pikiran ke belakang, sambil mengenang kejadian demi kejadian, sambil mengingat murka-murka yang datang silih berganti menerjang. Jangan-jangan, bencana yang melanda begitu bertubi-tubi itu adalah sebuah murka Tuhan yang datang karena kejujuran terbelenggu.
Jika, kita menonton Indonesia Lawyer Club (ILC) yang dipandu oleh Karni Ilyas di salah satu stasiun televisi swasta terkemuka di negeri ini, maka betapa belajarnya kita menyimak dengan saksama, celah-celah ketidakjujuran itu diungkai, terakhir pada malam Selasa (20/3) membahas tentang kewajaran kenaikan bahan bakar minyak (BBM), saya terpaku mendengar paparan Kwik Kian Gie, bahwa pada sebuah laporan anggaran negara yang tebal itu, juga ada diselipkan ketidakjujuran. Laporan anggaran itu, dimanipulatif dengan apik, diakal-akali. (lihat tayangannya sbb)
Selanjutnya, di jalan raya pun ketidakjujuran itu kita lihat. Betapa entengnya pengguna jalan raya melanggar rambu-rambu lalu lintas. Hidup serba menerobos, serba ingin menang sendiri itulah salah satu buah lagi dari ketidakjujuran itu. Kita tak terdidik dengan, kejujuran itu lagi. Hari-hari kita sudah tersuguh dengan perilaku yang tidak jujur, sehingga perilaku tidak jujur itu menjadi kebiasaan yang kita biarkan dan terlakukan.
Ketidakjujuran itu menjadi mashur. Buktinya, semakin tak terbendungnya ketidakjujuran itu, lembaga pendidikan terpaksa membangun pendidikan berkarakter. Pendidikan moral, pendidikan nurani, pendidikan budi pekerti, supaya nilai kejujuran itu kita miliki kembali, kita tradisikan kembali, kita hayati kembali.
Di balik semua perilaku ketidakjujuran itu, teringat saya tokoh-tokoh berperilaku jujur. Teringat sudah Hatta, bagi saya. Dalam catatan biografinya terurai sikap-sikap jujur itu. Jujur dalam bertindak, jujur dalam berbuat, jujur dalam berkata. Kejujuran itu pula kiranya yang menuntut ia hidup penuh dengan kesehajaan dan kesederhanaan. Kesederhanaan itu yang pantang oleh orang sekarang. Semuanya berpacu untuk ke puncak, dengan apa pun caranya rela mengalahkan kejujuran. Hatta itu pantang sekali mengalahkan kejujuran dalam hidupnya. Jujur sudah menjadi “pakaiannya”. Bayangkanlah betapa teguhnya kejujuran itu dipeliharanya, hingga akhir hayatnya Hatta tak terbelalak matanya oleh suguhan-suguhan yang bertentang dengan sikap jujur yang dipeliharanya.
Kejujuran itu pula yang membuatnya tidak mau memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya, lihatlah betapa tidak maunya Hatta membuat kenduri anaknya mewah-mewah seperti pejabat-pejabat negara lainnya. Hatta juga tidak meninggalkan warisan-warisan kekayaan layaknya ia sebagai wakil kepala negara pada anak-anaknya, malahan warisan terbanyak ditinggalkan Hatta itu adalah, buku. Bukan tanah, bukan emas, bukan perusahaan dan seterusnya.
Seking begitu jujurnya Hatta oleh penyair Taufiq Ismail, ia menciptakan puisi “Rindu pada Jas Putih dan Pentolan Putih Bung Hatta.”
Saya juga teringat dengan Baharuddin Lopa, jaksa agung teladan dan pendekar hukum. Ia jujur dangan berani dalam menengakkan hukum. Situs tokoh Indonesia.com, menulis tentang Lopa, sebagai berikut.
“Dalam menegakkan hukum dan keadilan, Lopa, jaksa yang hampir tidak pernah merasa takut, kecuali kepada Allah. Ia teladan bagi orang yang berani melawan arus kebobrokan serta pengaruh kapitalisme dan liberalisme dalam hukum...”Lopa pun, begitu jujurnya ia pernah menolak diskon dari pembelian sebuah mobil yang tidak berpatutan dari pengusaha penjual mobil. Ia rela mencicil untuk melunasi mobil yang dikreditnya, tak mau mengambil sesuatu dikarenakan oleh jabatan dan kedudukannya.
Terakhir, pertanyaan mendasar yang harus kita jawab bersama dengan hati yang jernih adalah, mengapa harus jujur? Jawabannya pasti kita tahu bersama, kita sudah faham bersama. Akar ketidakjujuran yang menular itu sudah terbukti dengan nyata yang membuat binasa bangsa ini. Membuat bangsa tercabik-cabik seperti sekarang ini. Ya, bergegaslah kata suku Samin untuk mengembalikan ke jujuran itu ke Indonesia, sebelum murka-Nya datang. [Sumber : http://harianhaluan.com]
Baca juga artikel/informasi berikut :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar