GURU SEJATINYA TETAP KUNCI DALAM PROSES PEMBELAJARAN. NAMUN, SEBAGAI AGEN PERUBAHAN, GURU DITUNTUT HARUS MAMPU MELAKUKAN VALIDASI MEPERBAHARUI KEMAMPUANNYA, SESUAI DENGAN TUNTUTAN ZAMAN AGAR TIDAK TERTINGGAL

Loading...
 

Selasa, 27 Maret 2012

Negara Terperangkap dalam Ketidakjujuran

Oleh : SILFIA HANANI
(Dosen Sosiologi Pascasarjana Universitas Andalas Padang)


Pramoedya Ananta Toer, dalam Tetralogi Jejak Lang­kah pada halaman awal sete­lah daftar isi menulis sebuah kalimat penuh harap dan sangat arif begini “sudah lama aku dengar dan aku baca ada suatu negeri di mana semua orang sama di depan hukum. Tidak seperti di Hindia ini”.

Kalimat itu, bermetamorfosis sampai saat sekarang, hingga belum juga melahirkan sebuah kejujuran dalam lintas kehi­dupan berbangsa dan berne­gara.

Negara masih diperang­kap oleh ketidakjujuran, hing­ga ketidakjujuran itu membuat bangsa ini, tidak sejahtera dibandingkan dengan negara-negara tetangganya. Pada hal, hutannya luas tapi dirampok oleh pemegang ketidakjujuran, sumber daya alam di perut buminya begitu kaya, tetapi dikuasai oleh pemegang keti­dak jujuran, begitulah sete­rusnya ketidak jujuran itu.

Ketidakjujuran itu merambah dan mengendemi kemana-mana.

Tidak saja di ruang penga­dilan, penjara dan sete­rusnya tetapi juga masuk ke dalam lembaga-lembaga ber­ke­­dau­latan. Di perguruan tinggi misalnya, merayap budaya ketidakjujuran berna­ma pla­giat, bernama joki, bernama beli skripsi, tesis dan disertasi atau sejenisnya.  Dimanakah kejujuran itu, tersuruk?

Ketidakjujuran itu, juga diker­jakan berkolektif, berkelompok. Akhirnya, ketidakjujuran itu dibela menjadi sebuah kebena­ran. Terkuburlah sebuah kebenaran. Keterkuburan kebenaran itu dirasakan saat sekarang oleh manusia-manu­sia yang masih menyimpan kejujuran dalam nuraninya, tak terkecuali dirasakan oleh suku Samin di ujung negeri sana, hingga masyarakat suku ini menggelar aksi damai, dengan menulis curahan nurani yang hampir sama dengan apa yang “dicurhatkan” Pramoedya Ananta Toer itu.

Tulisan dalam aksi damai masyarakat Samin itu adalah “Demi Nama Allah Yang Pengasih Yang Penyan­yang, Kembalikan Kejujuran ke Indonesia Sebelum Murka-Nya Datang” tulisan itu ter­pam­­pang di hari Senin (19/3) yang lalu di depan Gedung DPR-RI Jakarta. Dari tulisan yang arif ini, cobalah meng­inprovisasi pikiran ke bela­kang, sambil mengenang kejadian demi kejadian, sambil mengingat murka-murka yang datang silih berganti mener­jang. Jangan-jangan, bencana yang melanda begitu bertubi-tubi itu adalah sebuah murka Tuhan yang datang karena kejujuran terbelenggu.

Jika, kita menonton Indonesia Lawyer Club (ILC) yang dipandu oleh Karni Ilyas di salah satu stasiun televisi swasta terkemuka di negeri ini, maka betapa belajarnya kita menyimak dengan saksa­ma, celah-celah ketidakjujuran itu diungkai, terakhir pada malam Selasa (20/3) memba­has tentang kewajaran kenai­kan bahan bakar minyak (BBM), saya terpaku men­deng­ar paparan Kwik Kian Gie, bahwa pada sebuah laporan anggaran negara yang tebal itu, juga ada diselipkan ketidakjujuran. Laporan ang­garan itu, dimanipulatif de­ngan apik, diakal-akali. (lihat tayangannya sbb)


Selanjutnya, di jalan raya pun ketidakjujuran itu kita lihat. Betapa entengnya peng­guna jalan raya melanggar rambu-rambu lalu lintas. Hidup serba menerobos, serba ingin me­nang sendiri itulah salah satu buah lagi dari ketidakjujuran itu. Kita tak terdidik dengan, kejujuran itu lagi. Hari-hari kita sudah tersuguh dengan perilaku yang tidak jujur, sehingga perilaku tidak jujur itu menjadi kebia­saan yang kita biarkan dan terlakukan.

Ketidakjujuran itu menjadi mashur. Buktinya, semakin tak terbendungnya ketidak­jujuran itu, lembaga pendi­dikan terpaksa membangun pendidikan berkarakter. Pen­didikan moral, pendidikan nurani, pendidikan budi peker­ti, supaya nilai kejujuran itu kita miliki kembali, kita tradisikan kembali, kita hayati kembali.

Di balik semua perilaku ketidakjujuran itu, teringat saya tokoh-tokoh berperilaku jujur. Teringat sudah Hatta, bagi saya. Dalam catatan biografinya terurai sikap-sikap jujur itu. Jujur dalam bertin­dak, jujur dalam berbuat, jujur dalam berkata. Kejujuran itu pula kiranya yang menuntut ia hidup penuh dengan keseha­jaan dan kesederhanaan. Kesederhanaan itu yang pan­tang oleh orang sekarang. Semuanya berpacu untuk ke puncak, dengan apa pun caranya rela mengalahkan kejujuran. Hatta itu pantang sekali mengalahkan kejujuran dalam hidupnya. Jujur sudah menjadi “pakaiannya”. Ba­yang­kanlah betapa teguhnya kejujuran itu dipe­liha­ranya, hingga akhir hayatnya Hatta tak terbelalak matanya oleh suguhan-suguhan yang berten­tang dengan sikap jujur yang dipeliharanya.

Kejujuran itu pula yang mem­buat­nya tidak mau me­man­­faatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi dan ke­luar­ganya, lihatlah betapa tidak maunya Hatta membuat ken­duri anaknya mewah-mewah seperti pejabat-pejabat negara lainnya. Hatta juga tidak meninggalkan warisan-warisan kekayaan layaknya ia sebagai wakil kepala negara pada anak-anaknya, malahan waris­an terbanyak ditinggal­kan Hatta itu adalah, buku. Bukan tanah, bukan emas, bukan perusahaan dan sete­rus­nya.

Seking begitu jujurnya Hatta oleh penyair Taufiq Ismail, ia menciptakan puisi  “Rindu pada Jas Putih dan Pentolan Putih Bung Hatta.”

Saya juga teringat dengan Baharuddin Lopa, jaksa agung teladan dan pendekar hukum. Ia jujur dangan berani dalam menengakkan hukum. Situs tokoh Indonesia.com, menulis tentang Lopa, sebagai berikut.

“Dalam menegakkan hu­kum dan keadilan, Lopa, jaksa yang hampir tidak pernah merasa takut, kecuali kepada Allah. Ia teladan bagi orang yang berani melawan arus kebob­rokan serta pengaruh kapita­lisme dan liberalisme dalam hukum...”Lopa pun, begitu jujurnya ia pernah menolak diskon dari pembe­lian sebuah mobil yang tidak berpatutan dari peng­usaha penjual mobil. Ia rela mencicil untuk melu­nasi mobil yang dikreditnya, tak mau mengam­bil sesuatu dika­renakan oleh jabatan dan kedudukannya.

Terakhir, pertanyaan men­da­sar yang harus kita jawab bersama dengan hati yang jernih adalah, mengapa harus jujur? Jawabannya pasti kita tahu bersama, kita sudah faham bersama. Akar keti­dak­jujuran yang menular itu sudah terbukti dengan nyata yang membuat binasa bangsa ini. Membuat bangsa terca­bik-cabik seperti seka­rang ini. Ya, bergegaslah kata suku Samin untuk mengem­balikan ke juju­ran itu ke Indonesia, sebelum murka-Nya datang. [Sumber : http://harianhaluan.com]

Baca juga artikel/informasi berikut :
Runtuhnya Budaya Jujur 

Tidak ada komentar:

e-Newsletter Pendididkan @ Facebook :

Belanja di Amazon.com :

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.

PANDUAN VERIFIKASI AKUN PAYPAL ANDA KE REKENING BANK ANDA [KLIK DISINI]